Indonesia.go.id - Menelusuri Jejak Sufi Pertama, Tuan Mas'ud dari Jawi

Menelusuri Jejak Sufi Pertama, Tuan Mas'ud dari Jawi

  • Administrator
  • Senin, 26 Agustus 2019 | 04:55 WIB
SEJARAH
  Cover Naskah Sufi Scents Across the Indian Ocean. Foto: Archipel

Salah satu kunci untuk mendapatkan asal-usul seseorang dalam catatan-catatan lama berbahasa Arab adalah dengan menelusuri nisbah atau nama belakang seseorang yang menyebutkan tempat asal.

Jika bukan karena penelusuran nama Hamzah Al Fansuri dalam database naskah-naskah kuno yang didapat dari Hijaz, barangkali riwayat Tuan Mas'ud dari Jawi tidak akan segera ditemukan. Dalam tulisan terdahulu telah ditulis tentang penelusuran naskah kuno dari salinan nisan pemakaman Al Ma'lah yang menyebutkan nama Tuan Hamzah dari Pancur. Salah satu kunci untuk mendapatkan asal-usul seseorang dalam catatan-catatan lama berbahasa Arab adalah dengan menelusuri nisbah atau nama belakang seseorang yang menyebutkan tempat asal.

Dua peneliti dari Leiden, Michael Feener dan Michael Laffan menulis dalam jurnal Archipel  nomor  70 tahun 2005, tentang penelitian mereka terhadap naskah-naskah lama di Yaman yang memperlihatkan jejak pembelajar Sufi yang paling awal dari Nusantara. Tulisan itu berjudul Sufi Scents Across the Indian Ocean: Yemeni Hagiography and the Earliest HIstory of Southeast Asian Islam.

Salah satu nisbah yang paling dikenal dalam naskah-naskah kuno yang memperlihatkan asal-usul adalah nisbah "Al-Jawi". Penggunaan nisbah ini pada masanya sangat lazim bagi orang-orang asal Nusantara yang belajar di Haramain. Misalnya, nama Syekh Nawawi al Bantani al Jawi. Nisbah itu artinya kurang lebih adalah "Tuan Nawawi dari Banten dan dari Jawi". Jawi yang dimaksud bukan Pulau Jawa, tetapi merupakan sebutan bagi pembelajar atau haji yang berasal dari wilayah Asia Tenggara. Contoh lainnya adalah nama Syaikh Abdullah al Fattani al Jawi, yang terjemahannya kurang lebih Tuan Abdullah dari Fattani (sekarang Thailand) yang berasal dari Jawi (Nusantara).

Para peneliti sungguh tidak menyangka bahwa penemuan terdahulu, yakni penemuan nama nisbah al Fansuri bisa ditemukan dari salinan nisan yang berasal dari pekuburan Mekah. Konon nisan itu berdiri tidak terganggu dan tidak tergores selama empat ratus tahun. Ironisnya, saat ini mungkin semua peninggalan arkeologis, kecuali yang disukai oleh penguasa Saudi Arabia, sudah tidak berbekas sama sekali.

Biografi Para Sufi

Terdorong oleh penemuan nisbah Al Fansur, Michael Feener mencoba menelusuri nisbah yang Al-Jawi yang digunakan oleh Hamzah Al Fansuri dalam naskah-naskah puisi karyanya ke dalam sumber-sumber lain yang diduga memiliki keterkaitan. Dan kerja keras itu pun terbayar ketika di menemukan nisbah Al-Jawi di dalam naskah koleksi biografi para Sufi yang berasal dari abad ke-15. Naskah itu berjudul Tabaqat Al-Khawashsh yang ditulis oleh Shihab Al-Din Ahmad Al-Sharji yang diperkirakan hidup pada 1410--1488 Masehi.

Naskah biografi itu menyebutkan seseorang bernama Abu Abd Allah Mas'ud bin Muhammad all-Jawi dengan keterangan sebagai berikut,

“Abu Abd Allah Mas'ud bin Muhammad Al-Jawi, dengan huruf Jim dan kasrah yang didahului waw, pada suatu ketika adalah seorang yang hebat dan terkenal sebagi tuan di kota Aden dan sekitarnya. Dia adalah salah satu dari yang terbaik, seorang tuan dan Qadi dari orang-orang Uwaja. Dia adalah kolegia dari Qadi besar Isma'il Al-Hadrami, yang mulia, dan baju kebesarannya menjadi berkah bagi nyawanya. Dia (Al-Jawi) adalah seseorang master yang berkarakter dan maju.

Pengaruhnya memberikan berkah bagi orang-orang hebat lainnya, termasuk di antaranya adalah tuan Abdullah bin As'ad  Al Yafii dan lainnya. Al Yafii menyebutkan peran besar Al Jawi bagi perkembangan dirinya, dia katakan kalau dia adalah wali yang terkenal, baik dari pembawaannya, dan berkah yang dipancarkan. Kemampuan yang luar biasa dan integritasnya yang tinggi. Di bagian lain Al Yafi'i menyebutkan kalau Al Jawi adalah orang yang pertama kali mengenakan jubah kebesaran (Khirqa) padanya setelah satu firasat yang sebelumnya dia terima. Firasat itu dia terima saat aku dan dia pergi ke makam orang Salih terdahulu. Aku tahu dari dia bahwa salah seorang dari wali yang dikubur di sana telah berbicara dengannya dari dalam kubur.”

Sejak terlihat pertama kali, naskah ini ingin menegaskan bahwa kata Al-Jawi yang tidak begitu dikenal pada saat itu bagaimana cara membacanya. Barangkali nisbah itu memang sesuatu yang baru. Dalam karya-karya periode sebelumnya nisbah itu memang tidak ditemukan. Nisbah Al-Jawi dalam konteks abad ke-15 memunculkan sejumlah pertanyaan tentang bagaimana hubungan orang ini dengan Asia Tenggara. Apakah dia atau ayahnya yang berasal dari sana atau dia pernah lahir di sana dengan ibu orang lokal.

Sezaman dengan Mamluk Keempat

Carool Kersten, peneliti sejarah dari SOAS University of London, dalam bukunya A History of Islam in Indonesia, Unity in Diversity (2017), menilai bahwa hasil yang didapatkan dari temuan dua nama asal Asia Tenggara dalam catatan arkeologi di Hijaz dan naskah kuno Yaman telah berhasil memberikan pijakan baru terhadap studi tentang sejarah awal masuknya Islam di Indonesia.

Seperti telah dikaji dalam penelitian sebelumnya ada beberapa ahli yang mengemukakan teori gerakan tarekat atau sufisme mempunyai peranan penting dalam perkembangan Islam awal di Nusantara. Azyumardi Azra, Hussein Alatas, dan Anthony John adalah para peneliti yang berpijak pada teori ini. Anthony John menolak teori yang mengatakan kalangan pedagang sebagai pihak yang berperan penting dalam penyebaran islam. Bagi John, dunia para pelaut dan pedagang bukanlah dunianya para pendakwah. Mungkin yang lebih tepat adalah beberapa pedagang tergabung dalam kelompok atau komunitas tertentu yang memliki pada seorang yang dianggap alim atau sufi terpandang.

Martin Van Bruinessen adalah peneliti yang kritis terhadap teori sufi ini. Karena dalam penelitian Bruinessen, naskah-naskah lama yang merangkum banyak literatur sufi paling tua berasal dari kurun abad ke-16. Dengan ditemukannya penemuan-penemuan dari Claudie Guilot dan Ludvik Kallus yang diteruskan oleh Feener dan Laffan, maka kritik Bruinessen telah berhasil dimentahkan.

Penentuan masa hidup Tuan Mas'ud dari Jawi, dilakukan oleh Feener dan Laffan dengan melakukan penelusuran terhadap catatan-catatan ziarah yang dilakukan oleh Al Yafi'i. Pada satu perjalanan Al Yafi'i harus menyambangi sepuluh wali yang ada di tanah Yaman. Dari sepuluh wali yang harus dia sambangi lima masih hidup dan lima sisanya meninggal. Di antara wali yang meninggal ada nama Isma'il Al Hadrami yang meninggal pada 1277. Padahal dalam catatan sebelumnya terdapat catatan bahwa Tuan Mas'ud dari Jawi adalah salah seorang kolega dari Isma'il Al Hadrami.

Kesimpulannya, biografi Al Yafi'i yang namanya disebutkan dalam catatan al Sharji, telah menyebutkan tanggal meninggalnya kolega Tuan Mas'ud dari Jawi. Tanggal itu bertepatan dengan meninggalnya sultan keempat Dinasti Mamluk di Mesir Juli 1277. Maka tidak berlebihan jika orang Nusantara pertama bernama Tuan Mas'ud dari Jawi pernah hidup di Uwaja, Yaman, dan meninggal di Mekah pada paruh akhir abad 13 Masehi. (Y-1)

Berita Populer