Dalam perspektif sosiologi klasik, demokrasi dan sekularisasi ialah satu tarikan nafas. Demokrasi nir-sekularisme bisa jadi bukanlah demokrasi, meski hal sebaliknya tak selalu demikian.
Akar ide sekularisme berasal dari rahim sejarah abad pertengahan di masyarakat Barat. Saat itu langkah-langkah pemisahan, antara persoalan agama dan nonagama, mulai terjadi.
Ya, sejarah hubungan gereja dan ilmu, dogma dan kebebasan berpikir, memang tak selalu mesra. Tak jarang malah kelam dan menakutkan. Banyak catatan, persekutuan agama dan negara tak sekali dua telah memunculkan rezim despotik, tiran. Tak hanya antiilmu pengetahuan melainkan juga merepresi kebebasan berpikir. Fakta ini bukanlah monopoli sejarah bangsa Barat, tetapi juga Timur.
Tapi, pada sejarah masyarakat Eropa naga-naganya telah muncul trauma kuat. Dari konteks itulah ide sekularisme lahir. Bagi borjuasi Eropa, jelas bahwa gereja pernah dianggap bersalah besar karena pernah menghantar masyarakat abad pertengahan tenggelam dalam kejumudan pikiran, memusuhi kemajuan ilmu pengetahuan, serta menolak kemerdekaan berpikir.
Bahkan sejak Revolusi Perancis (1789), pengertian sekulerisme kemudian lebih diartikan bahwa kekuasaan gereja tidak berhak campur tangan terkait bidang politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan.
Laïcité, demikianlah konsep sekularisme di Perancis. Digagas oleh Ferdinand Buisson (1841-1932) pada masa Republik ke III. Laïcité didefinisikan sebagai sekularisasi lembaga-lembaga politik negara. Di sini negara tak lagi didasarkan pada suatu agama resmi tertentu dan pemerintah juga tidak dianggap sebagai pengejawantahan Tuhan.
Sederhananya, sekularisme itu berarti membuat separasi antara peran agama dari negara, dan secara esensial juga berarti bahwa negara tidak akan turut mencampuri urusan keyakinan masyarakatnya. Lebih jauh, agama pun didorong masuk ke ranah individual dan menjadi perkara privat. Ya, dua kata kunci muncul dari gerakan sekularisme: separasi dan privatisasi.
Pascarevolusi, Perancis tegas memisahkan diri dari konsep negara tradisional. Sepenuhnya menjangkah keluar dari gagasan negara teokrasi. Di luar negara berpaham komunis, di Perancis sanalah ekspresi keagamaan di ruang publik benar-benar dilarang tanpa kompromi. Tak aneh Perancis hingga hari ini masih konsisten dan tegas mendeklarasikan diri sebagai negara sekuler. Negara juga terus-menerus melarang pemakaian atribut dan simbol-simbol keagamaan pada berbagai acara formal. Apapun itu agamanya, tanpa kecuali.
Tapi, sekularisme sendiri mengambil banyak bentuk. Sejalan proyek kolonialisme Eropa, ide sekularisme pun menyebar ke seantero dunia.
Turki, misalnya. Negara ini mengikuti jejak Perancis. Negara benar-benar dipisahkan dari agama. Bahkan Kekhalifahan Islam yang notabene pernah membawa Turki ke puncak peradaban dunia juga tak ragu dihapuskan, dan segera diganti dengan model negara sekular.
Lain lagi, Amerika. Negeri ini, meskipun tentu juga negara sekuler, tapi Paman Sam tidaklah pernah bersikap antiagama dan tidak menganut sekulerisme secara militan seperti Perancis. Menurut sosiolog Robert N Bellah, di Amerika pemisahan antara agama dan negara tak serta-merta mengingkari dimensi keagamaan di bidang politik.
Simaklah, momen pelantikan Presiden Donald Trump dulu. Acara kenegaraan itu secara seremonial masih menisbatkan kedaulatan tertinggi kepada Tuhan, sekalipun secara konstitusional Amerika jelas mengakui sumber kedaulatan di tangan rakyat.
Menurut Bellah, di Amerika memang hidup sebuah “agama sipil” (civil religion) yang tertata dan terlembagakan dengan baik, berjalan seiring dengan, namun juga dapat dibedakan dari, gereja. Keberadaan agama sipil ini, masih seturut Bellah, tercermin pada makna motto ‘In God we trust’, atau dimasukkannya kalimat ’under God’ dalam prosesi penghormatan bendera.
Apa yang patut kita catat, yang digunakan pada momen seremonial kenegeraan itu bukan kata “Jesus” sebagai representasi agama mayoritas di Amerika tapi justru kata “Tuhan” (God), yang tentu memiliki makna universal dan inklusif bagi semua agama.
Antara Tafsir Sekularisme dan Teokrasi
Secara historis, sejak awal kelahiran Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state) telah muncul gerakan ganda (doubled movement), antara kelompok yang menghendaki sekularisasi di satu sisi dan kelompok islamisasi di sisi lain. Upaya kompromi dari dua arus sejarah itu menjadikan Indonesia memiliki bentuk negara yang khas.
William E Shepard, misalnya, menyebutnya sebagai fenomena negara “secularism religious,” di mana proses sekularisasi harus bernegosiasi dengan proses religiusasi. Sementara Yudi Latif, contoh lain, melihat hubungan agama dan negara di Indonesia sebenarnya memiliki kemiripan dengan yang terjadi di Amerika, yaitu mengambil model sebagai “agama sipil” (civil religion).
Jika sejarah sekularisme Perancis hanya memberi dua kata kunci yaitu separasi dan privatisasi, maka untuk memahami konteks di Indonesia, seturut pandangan Yudi Latif maka dibutuhkan kata kunci ketiga, yaitu “diferensiasi”. Maknanya ialah, agama tidak dipisahkan secara serta-merta tetapi juga dapat dibedakan dari negara.
Mengutip Ruslan Abdulgani, Yudi Latif memaparkan bahwa di Indonesia “negara secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara dan mengembangkan agama”, khususnya melalui kementerian atau departemen agama. Namun begitu juga tidak serta-merta berarti agama telah menyatu dengan negara, negara pun tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan pada salah salah satu agama.
“Karena itulah bentuk negara di Indonesia lazim dikatakan sebagai bukanlah negara sekuler, namun juga bukanlah negara agama,” ujar Yudi Latif.
Indonesia bukan “negara agama” dan bukan “negara sekuler” tampak sejalan dengan apa yang sering disebut orang sebagai ‘twin tolerantions’, sebuah gagasan dari Alfred C Stepan. Lebih jauh, banyak orang kemudian juga melihat pentingnya twin tolerantions yang bersifat timbal-balik, di mana otoritas agama dan negara memiliki toleransi terhadap fungsi kelembagaannya masing-masing dan menyadari batas-batas otoritasnya.
Namun membangun struktur toleransi kembar itu ternyata tak semudah yang dibayangkan. Fenomena yang menonjol di sepanjang pasca-Orde Baru justru ditandai oleh penguatan ‘politik identitas’ melalui agama sebagai gejala menafsirkan realitas politik kenegaraan, namum perspektif ini sebenarnya telah bertentangan dengan atau keluar dari kerangka Pancasila itu sendiri.
Ambil contoh misalnya HTI, atau juga kelompok yang masih romantis ingin menambahkan kembali “tujuh kata” dalam sila pertama Pancasila, juga mereka yang belakangan mengintroduksi ide “NKRI Bersyariah”.
Sekalipun dalam arti tertentu, semua gerakan itu sering mengklaim sebagai tafsiran atas ideologi Pancasila, sesungguhnya yang mendasari ide atau gagasan itu sendiri bukanlah Pancasila. Pasalnya, yang mendasari tafsiran mereka ialah syariat Islam, yang pada perspektif kebangsaan (nation-state) sebenarnya justru telah bertentangan dengan Pancasila itu sendiri.
Apa pasalnya? Ada anggapan umum yang melatarbelakangi ide atau gagasan di balik penambahan syariah Islam, yaitu bahwa ideologi Pancasila dianggap sebagai tidak mencukupi (not sufficient), karena ia masih memerlukan ideologi lain untuk mengimplementasikan makna atau nilai-nilainya. Dalam konteks inilah, seturut logika mereka syariah Islam menjadi perspektif utama untuk memberi tafsiran makna atau nilai-nilai Pancasila.
Sesat pikir jelas terjadi di sini. Jika prinsip Ketuhanan yang Maha Esa merupakan bentuk kemampuan transformasi kesadaran warga negara, yaitu keluar dari cangkang sempit partikularisme agama menjadi universalisme agama-agama, maka penambahan syariah Islam justru membalik arah perspektif kebangsaan dari universalisme menjadi partikularisme. Dari universalisme agama-agama kembali menjadi sikap egoistik keagamaan dalam format satu agama secara sektarianistik. Inilah salah satu bentuk sesat pikir utamanya.
Pada titik ini, Pancasila harus kembali mengemuka. Pancasila jelas bukanlah obat bagi segala macam penyakit. Akan tetapi setidaknya, Pancasila dapat menjadi asas dan rambu-rambu aturan main kenegaraan dalam menyelesaikan masalah bangsa. Sebagai ideologi dan falsafah negara, ia perlu diaplikasikan dalam seluruh kegiatan pemerintahan dan kehidupan masyarakat.
Sementara bicara salah satu kerangka kerja Pancasila sudah tentu adalah perspektif pluralisme atau multikulturalisme, yang tersimpul dalam istilah “Bhinneka Tunggal Ika.” Dalam kerangka inilah, Dawam Rahardjo bahkan berulang-ulang mengingatkan, terdapat tiga kata kunci yang harus terus dikembangkan di Indonesia dalam kerangka mengelola kemajemukan.
Tiga kata kunci utama ini ialah yaitu sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Tanpa itu, seturut logika Dawam, pluralitas Indonesia nisbi akan terancam darurat. (W-1)