Beranjangsana ke kompleks makam raja-raja Mataram-Islam di Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, banyak hal menarik. Selain secara arsitektural kompleks bangunan ini mengingatkan kuatnya pengaruh budaya Hindu-Jawa--menyerupai kompleks pura--artefak ini juga menyimpan catatan sejarah maupun antropologi terkait proses keislaman orang Jawa.
Pasarean Imagiri, atau Pajimatan Imagiri, atau nama lengkapnya ialah Pasarean dalem Para Nata Pajimatan Girireja Himagiri. Demikianlah nama kompleks makam raja-raja Mataram-Islam. Dari aspek penamaan saja mudah dilihat, bagaimana signifikansi keberadaan makam dalam semesta pandangan dunia orang Jawa.
Pesarean diambil dari kata “sare” yang artinya tidur dalam bahasa Jawa, mendapat awalan pe dan akhiran an untuk menunjukkan tempat. Pesarean berarti kuburan atau pemakaman. Pajimatan berasal kata “jimat” yang artinya sesuatu yang dianggap berharga atau sakral karena dapat melindungi, dan mendapat dua suku kata yaitu awalan pa dan akhiran an untuk menunjukkan tempat. Pajimatan mengandung arti atau makna sebagai “tempat untuk jimat atau tempat pusaka”.
Sedangkan lmagiri berasaI dari dua kata, yaitu ima atau hima yang berarti berawan atau awan yang meliputi gunung, dan giri berarti gunung. Sehingga Imagiri berarti “gunung berawan atau gunung yang tinggi”. Ya, makam ini terletak di atas perbukitan bernama Bukit Merak, sebuah bukit yang masih satu gugusan dengan Pegunungan Seribu. Karena aspek pelafalan dalam bahasa Jawa yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, istilah himagiri kemudian ditulis sesuai bunyinya, Imogiri.
Merujuk Kompleks Makam Imogiri dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya di Kemendikbud, disebutkan bahwa Pajimatan lmagiri berarti gunung berawan atau gunung tinggi yang merupakan tempat bersemayamnya "jimat atau pusaka bagi Kerajaan Mataram". Dalam konteks inilah, Sultan Agung yang dimakamkan (sumare) pertama di tempat tersebut merupakan leluhur dan pusaka bagi dinasti Kerajaan Mataram.
Setelah Sultan Agung wafat dan dimakamkan pada 1646 M, kemudian para raja penerus wangsa ini, istri, anak, dan keturunannya juga turut dimakamkan di sini. Hingga pasca-Perjanjian Giyanti 1755 M, yang membagi Mataram menjadi Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, maka raja, keluarga, dan kerabat kerajaan dimakamkan di Kompleks Makam lmogiri. Sisi sebelah barat merupakan lokasi makam raja-raja dari Surakarta, sedangkan sisi sebelah timur merupakan lokasi makam raja-raja Yogyakarta.
Ya, makam merupakan tempat yang dianggap suci dan dikeramatkan, terlebih makam tokoh-tokoh penting. Makam sebagai locus suci dan penting bagi orang Jawa tentu tidak terlepas dari adanya ritual ziarah kubur. Ritus ini merupakan tradisi masyarakat Jawa.
Dalam tradisi ziarah kubur ini tidak hanya mewujud sikap hormat orang Jawa kepada leluhurnya. Tapi, seringkali terselip pula ungkapan harapan-harapannya beroleh berkah (pangestu) dari leluhur sebagai bekal mereka menjalani kehidupan. Banyak orang Jawa beranggapan, berziarah ke makam leluhur atau tokoh-tokoh magis tertentu dapat menimbulkan pengaruh positif tertentu. Kisah keistimewaan atau kesaktian tokoh yang dimakamkan menjadi daya tarik bagi tersendiri bagi orang Jawa yang ingin mewujudkan keinginan dan harapannya.
Kita akan kembali pada topik ini nanti. Sebelum melangkah ke sana, ada baiknya di sini disimak terlebih dulu sejarah pembangunan kompleks makam raja-raja Mataram-Islam ini.
Fakta dan Mitos
Konon, raja paling agung dari wangsa Mataram-Islam, Sultan Agung, saking taatnya memeluk Islam, saban minggu dia selalu menyempatkan berkunjung ke Mekah. Tiap jumat tiba, cucu Panembahan Senapati ini selalu sembahyang jumuwah di depan Kabah (baca: Salat Jumat).
Demikianlah, dikisahkan oleh naskah Serat Pengetan Jasan Dalem Para Nata—selanjutnya disingkat SPJDPN—maupun cerita rakyat (folklore) yang diyakini masyarakat di seputar kompleks makam raja-raja ini.
Merujuk artikel Sejarah Berdirinya Makam Imogiri, antara Naskah Serat Pengetan Jasan Dalem Para Nata dengan Cerita Rakyat (Kajian Intertektual) karya Dwi Atma Otarini dkk., berdasarkan studi katalog yang mereka lakukan ternyata teks SPJDPN karya Raden Mas Ngabehi Prajakintaka ini hanya ditemukan di Museum Radya Pustaka di Surakarta. Jenis teks ini berbentuk prosa dengan angka penulisan 1923.
Merujuk artikel itu, disebutkan bahwa awal berdirinya pemakaman Imogiri yaitu tahun 1554 dan selesai tahun 1567. Raja pertama yang dimakamkan yaitu Kanjeng Prabu Anjakrakusuma, atau biasa dipanggil Sultan Agung. Beliau merupakan putra dari Prabu Anjakrawati, sekaligus cucu dari Panembahan Senopati.
Pembangunan makam sebenarnya direncanakan Sultan Agung di Girilaya, namun saat pembangunan sedang berlangsung, pamannya yaitu Kanjeng Panembahan Juminah, yang turut membantu pembangunan makam, jatuh sakit, dan meninggal. Paman Sultan Agung ini kemudian dimakamkan di Girilaya. Karena itulah, makam untuk Sultan Agung dan keturunannya kemudian dipindahkan ke Imogiri.
Menariknya, baik SPJDPN maupun cerita rakyat nisbi memiliki struktur narasi yang tidak jauh berbeda, terkait sejarah pembangunan kompleks pemakaman ini. Pokok soal bermula dari keinginan Sultan Agung, jika nanti beliau meninggal dunia, bisa diizinkan dikuburkan di Tanah Suci Mekah. Permohonan izin dan harapan Sultan Agung ini disampaikan Raden Mas Ransang, demikianlah nama masa muda Sultan Agung, kepada Kyai Imam Safingi.
Namun karena satu atau lain hal, permohonan Sultan Agung itu ditolak. Lantas, Kyai Imam Safingi mempersilakan Sultan Agung mengikuti jalannya tanah yang dikepal-kepal dan dilemparkan ke arah Tanah Jawa. Sultan Agung kemudian mengikuti jalannya lemparan tanah. Sebagian besar tanah itu jatuh di puncak Gunung Merak, sisanya yang kecil terlempar ke bukit Girilaya.
Pada mulanya dibangunlah makam di Girilaya. Namun karena tiba-tiba paman Sultan Agung, yaitu Kanjeng Panembahan Juminah, sakit dan meninggal dunia, maka makam Girilaya itu kemudian digunakan untuk mengubur pamannya tersebut. Lalu sebagai alternatif, kemudian dibangunlah kompleks pemakaman lainnya di Bukit Merak untuk Sultan Agung, anak dan keturunannya.
Yang membedakan antara SPJDPN dan cerita rakyat ialah, pada cerita rakyat ditemukan adanya keterlibatan tokoh Sunan Kalijaga dan sosok gaib penguasa Laut Selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Selain berperan memediasi dialog dengan Kyai Imam Safingi, juga disebutkan Sunan Kalijaga-lah yang melemparkan tanah dari Mekah ke Pulau Jawa.
Sedangkan peran Kanjeng Ratu Kidul ialah memberikan bantuan kepada Sultan Agung, yang ketika itu merasa kecewa dengan sikap penolakan Kyai Imam Safingi. Konon, Ratu Kidul menyuruh patihnya yaitu Nyai Rara Kidul untuk berangkat ke Mekah menyebarkan wabah penyakit. Walhasil, Mekah menjadi kena “pagebluk” dalam istilah bahasa Jawa. Jatuh sakit pagi, sore mati. Jatuh sakit malam, pagi mati.
Dalam analisis intertekstualnya, Dwi Atma Otarini dkk tiba pada suatu kesimpulan: bahwa alur di dalam naskah SPJDPN lebih sempit dibandingkan alur dalam cerita rakyat. Lebih jauh, cerita rakyat makam Imogiri selain isinya lebih luas dan lengkap juga merupakan teks yang lebih tua. Merujuk sumber juru kunci abdi dalam di makam Imogiri, menurut Dwi Atma Otarini dkk kemungkinan cerita rakyat itu telah ada setelah selesainya dibangunnya kompleks pemakaman pada 1554. Sedangkan teks SPJDPN sendiri baru ditulis pada 1932.
Apa yang menarik dicatat ialah, kuatnya aspek anakronistik dalam tuturan cerita itu. Kyai Imam Safingi sebagai otoritas penguasa di Mekah itu tentu merujuk pada Imam Syafi’i. Dia seorang mufti besar Islam-Suni sekaligus juga pendiri mazhab Syafi’i. Menilik waktu historis Imam Syafi’i hidup antara pertengahan abad ke-8 hingga awal abad ke-9, jelas sangat mustahil Sultan Agung yang lahir di akhir abad ke-16 ini pernah bertemu sosok itu.
Tak kecuali, Sunan Kalijaga. Wali kharismatis dari Kadilangu ini, oleh banyak sejarawan ditaksir hidup pada kisaran abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Sosok yang berjasa menetapkan arah kiblat Masjid Agung Demak ini, konon juga merupakan guru dari Panembahan Senapati, yaitu kakek Sultan Agung.
Sejarawan Belanda, HJ De Graaf mengemukakan hal menarik. Menurutnya gelar sultan bukanlah gelar yang sejak awal telah digunakan oleh cucu Panembahan Senapati itu. Awalnya ia menggunakan gelar sunan atau susuhunan. Menurut Anthony Reid (1999), gelar ini dikenakan sejak 1624 setelah berhasil menaklukan Jawa lebih luas dari penguasa sebelumnya. Gelar ini menandaskan, secara spiritual ia sebagai raja sejajar dengan para wali.
Namun setelah Raja Banten beroleh gelar sultan dari Mekah pada 1638, semenjak itulah segala daya dan upaya dilakukan oleh Raden Mas Rangsang untuk memperoleh atribut gelar itu. Dalam catatan De Graaf, disebutkan Raja Mataram itu meminta bantuan Inggris untuk bisa membawa utusannya meminta gelar sultan ke Arab, dan pada 1641 berhasil dipersembahkan gelar sultan tersebut.
Yang menarik dari catatan De Graaf, dikatakan Sultan Agung pernah ingin menunaikan ibadah haji. Namun karena Sultan Agung tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berangkat sendiri, maka Sultan Agung mengirim 18 orang Jawa sebagai pengganti proses ziarahnya ke Mekah.
Namun sialnya perjalanan ini mengalami kegagalan. Bukan karena ditolak oleh otoritas di Mekah sebagaimana dicatat oleh SPJDPN maupun cerita tutur setempat. Menurut De Graaf, kegagalan ini terjadi karena kapal Inggris itu diserang oleh orang Belanda. Kapal Inggris, Reformation, dicegat oleh kapal Belanda di sebelah barat Pulau Onrust pada 11 Juli 1642. Tercatat 15 dari 18 orang Jawa yang sedianya hendak mewakili Sultan Agung menunaikan ibadah haji itu, mati terbunuh.
Artinya, mengikuti catatan De Graaf, Sultan Agung sendiri selama hayatnya belum pernah ke Mekah. Fakta historis ini memantik sebuah pertanyaan tersendiri. Pertanyaannya ialah, mengapa historiografi Jawa, baik SPJDPN maupun cerita rakyat justru menceritakan sisi sebaliknya?
Susah dicari jawabannya secara pasti. Tapi, sekiranya menyimak warna Islam-Jawa berbeda dari Islam di Timur Tengah, bukan mustahil di balik narasi ini sebenarnya terjadi proses negoisasi antara unsur budaya yang-global atau dominan berhadap-hadapan dengan unsur budaya yang-lokal. Sebuah upaya membangun tafsiran lokal budaya Jawa terhadap ajaran Islam, supaya menjadi selaras dengan nilai-nilai dan karakteristik orang Jawa sendiri.
Kembali pada pemaknaan ritual ziarah kubur orang Jawa. Bagi masyarakat Jawa khususnya varian abangan, ziarah kubur ke makam raja-raja di Imogiri memiliki nilai sebagai pengganti ibadah haji. Merujuk Michael F Laffan (2003), Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The umma Below the Winds disebutkan, ziarah ke kompleks makam raja-raja di Imogiri dalam hitungan tertentu, empat puluh kali ziarah, misalnya, bernilai setara dengan ibadah haji ke Mekah.
Makna demikian tentu bukan hanya monopoli kompleks makam raja-raja Imogiri. Laffan juga mencatat, bagi orang Jawa lainnya tujuh kali ziarah ke Masjid Demak, sebuah situs bekas Kerajaan Islam dan sekaligus masjid pertama di Tanah Jawa, juga diberi nilai yang sama dengan ibadah haji ke Mekah. (W-1)