Berkait dengan revisi rancangan undang-undang kitab undang-undang hukum pidana (RUU KUHP) yang memicu banyak kontroversi di masyarakat, banyak yang mengatakan bahwa KUHP saat ini masih merupakan produk kolonial sehingga perlu revisi agar sesuai dengan jati diri bangsa. Padahal jika orang mau membaca kembali sejarah penyusunan undang-undang di masa kolonial Belanda, pada kurun pertengahan abad 18, misalnya, jelas terlihat upaya VOC, membuat undang-undang dengan legitimasi yang kuat. Caranya adalah dengan merekayasa penyusunan kitab undang-undang yang dinyatakan disusun atas dasar hukum lokal yang berkembang.
Mahmood Kooria (40), adalah peneliti sejarah asal Kerala India. Dia banyak melakukan kajian sejarah negara-negara yang berada di sekitar samudera Hindia di masa kolonial. Artikel Mahmood berjudul The Dutch Mogharaer, Arabic Muharrar, and Javanese Law Books: A VOC Ekperiment with Muslim Law in Java, 1747-1767, menceritakan berbagai hal yang menarik. Mahmood mencermati klaim yang menyatakan bahwa VOC telah berhasil membuat kodifikasi hukum bagi VOC terhadap wilayah kekuasaan terbesar di luar Batavia. Pada pertengahan abad 18 wilayah itu adalah pantai utara Jawa Tengah yang beribu kota di Semarang.
VOC memang sudah cukup lama mempelajari hukum-hukum lokal selama satu abad. Mereka menghimpun berbagai produk hukum yang berasal dari pemeluk Islam dan sebagian golongan Cina. Dalam proses itu penguasa VOC menyatakan menyusun kodifikasi berdasarkan kajian hukum fiqih Islam yang berlaku dengan masukan dari berbagai "tokoh" Islam.
Tetapi, Mahmood menilai lain. Judul kodifikasi VOC memang mirip dengan Kitab Muharrar, karangan Abdul Karim Ar Rafii (meninggal 1226). Dengan mengambil nama Kitab Mogharaer, VOC memang terlihat seperti mengakomodasi hukum lokal yang umum dilakukan kyai-kyai dan santri yang berada di wilayah kekuasaan VOC waktu itu. Tetapi benarkah klaim itu?
Mahmood menyangsikan klaim VOC. Kitab Mogharaer memang sengaja dimirip-miripkan dengan Kitab Muharrar. "Gimmick" itu hanyalah cara VOC mendapatkan legitimasi sebesar-besarnya dari masyarakat jajahan. Cuplikan atau redaksional teks Mazhab Syafii yang diadaptasi oleh VOC hanya dipilih bagian-bagian yang paling efektif melegitimasi kekuasaan VOC saja. Salah satu yang paling menonjol adalah menguatkan dalil memberikan hukuman yang sangat berat bagi pemberontak atau siapa saja yang mengobarkan perlawanan terhadap penguasa.
Kitab Ringkas Mazhab Syafi'i yang Dicomot
VOC mengklaim mereka membuat kitab undang-undang berbau lokal berdasarkan Kitab Muharrar. Kitab ini dalam khazanah Islam Mazhab Syafi'i memang cukup dikenal. Walaupun sebenarnya dalam catatan Mahmood Kooria, kitab ini tidak lagi banyak dipakai pada waktu itu. Kitab ini, adalah bentuk ringkasan dari Minhaj AtTalibin karangan Yahya Al Nawawi atau Imam Nawawi (meninggal 1277).
VOC tentu saja melakukan "tebang pilih". Hanya formula-formula yang cocok saja yang didorong menjadi kodifikasi hukum masyarakat kolonial. Mahmood Kooria, sebelumnya adalah peneliti sejarah perkembangan mazhab Islam yang berkembang di sekitar samudera Hindia. Dengan penelitian sejarah kolonial, dia mencoba menelusuri sejauh mana klaim VOC bisa diverifikasi. Bagaimana klaim itu berbanding lurus dengan kepentingan kekuasaan kolonial.
Mengapa kekuasaan Imperial Belanda memilih kitab Muharrar? Padahal, banyak kitab lain dari perbendaharaan mazhab yang sama, bisa dipakai. Mahmood mencoba menyelidiki sejauh mana penyusunan kitab hukum yang dikatakan dibuat berdasarkan Mazhab Syafi'i itu mampu menguatkan legitimasi politik kekuasaan mereka.
Riwayat Kodifikasi
Tanggal 22 Desember 1747, pemerintah Belanda di Batavia memerintahkan administrasi VOC di Semarang untuk berkonsultasi dengan para kyai dan tokoh-tokoh masyarakat untuk menyusun sebuah kompendium atau rancangan kitab undang-undang. Seminggu kemudian tanggal 31 Desember Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Van Imhoff (1705-1750), menjelaskan kepada direktur VOC di Amsterdam niatnya untuk menyiapkan rancangan naskah undang-undang Jawa beserta hukum adat dan lokalnya. Dia menulis, naskah itu dibuat agar tidak terjadi "ketidakadilan dan ketidaknyamanan" jika masyarakat Jawa tidak diatur dengan hukum yang berkembang di tempat mereka. Van Imhoff hanya mengatakan bahwa naskah kecil itu adalah kumpulan naskah hukum pidana.
VOC memerlukan dua tahun untuk menyiapkan kitab undang-undang itu. Tercatat pada tanggal 10 April 1750 pemerintah Belanda menerima masukan dari VOC di Semarang. Dinyatakan pada 31 Desember 1750 pemerintah Belanda mengesahkan naskah itu setelah menghapuskan berbagai "ketidakjelasan" dan "kekaburan". Selanjutnya 150 salinan dikirimkan ke penguasa hukum Semarang pada 31 Juli 1751. Kitab itu kemudian dikenal dengan nama Mogharaer Code dan ditulis dalam bahasa Belanda. Salinan naskah ini sekarang ada di Universitas Leiden Belanda.
Kitab ini bagian terbesar adalah kitab hukum pidana. Persoalan pidana menjadi perhatian utama VOC di tempat mereka melakukan investasi terbesarnya. Walau demikian di dalamnya juga ada hukum tentang perkawinan dan waris. Kitab ini juga memberikan kewenangan terhadap penegak hukum, petugas urusan agama, carik dan jaksa. Kitab ini terdiri dari 18 (delapan belas) bagian. Bagian pertama adalah bagian Blasphemy atau Penistaan Agama. Bagian kedua adalah Lese Majeste atau Penghinaan Kepada Kepala Negara. Bagian ketiga adalah Tugas dan Kewajiban. Keempat Perampokan. Kelima Penghinaan terhadap Kuburan. Keenam Pembunuhan dan Pembantaian. Ketujuh Perzinaan. Kedelapan Perkawinan. Kesembilan Pencurian. Kesepuluh Pemalsuan. Kesebelas Kesaksian. Kedua Belas Waris. Ketigabelas Jual Beli. Keempatbelas Utang-piutang. Kelimabelas Landraad Semarang. Keenambelas Aturan bagi Petugas Urusan Agama. Ketujuhbelas Aturan Bagi Pengambil Sumpah dan Juru Tulis. Kedelapanbelas Perintah bagi Jaksa untuk mematuhi kewenangan VOC.
Kitab ini menjadi sangat dikenal karena memuat aturan-aturan tentang penghianatan, penghasutan, dan pembangkangan kepada pemerintah yang sah. Terlihat dalam bagian kedua dan bagian kesepuluh. Dalam bagian keempat juga terdapat aturan tentang itu yang ditujukan kepada ulama dan kyai agar tidak melakukan tiga hal tersebut di atas. Dalam bagian ketiga juga terdapat aturan untuk patuh pada undang-undang, hak dan kewajiban terhadap negara.
Kontradiksi Muharrar dengan Mogharaer
Mahmood Kooria membandingkan antara Kitab Muharrar yang ada di kalangan Sunni Muslim dan Mogharaer ala VOC. Dalam penyelidikannya di kalangan Sunni Muslim sebenarnya ada tiga kitab yang berjudul Muharrar. Yang pertama adalah karangan Ar-Rafii, yang kedua adalah karangan Abdussalam Ibn Taimiyah, dan yang ketiga adalah kitab kumpulan hadits karangan Ibn Al Hadi. Jika dilakukan perbandingan dari ketiga kitab itu hanya yang pertama yang merupakan kitab hukum Mazhab Syafi'i. Sisanya adalah kitab Mazhab Hambali.
Pasalnya pada saat kodifikasi waktu itu Muharrar karya ArRafii sudah sejak abad ketiga belas kitab itu tidak banyak menjadi rujukan.Munculnya Minhaj At Talibin empat puluh tahun sesudahnya menjadikan Muharrar tidak lagi banyak dirujuk. Dalam pandangan Mahmood Kooria, sangat aneh jika ulama di Semarang waktu iu merujuk pada kitab yang sudah lama tidak digunakan. Yang pasti Muharrar tidak pernah menjadi rujukan utama bagi ulama, hakim, atau ustad. Faktanya menurut Mahmood Kooria, sejak abad keempat belas Muharrar tidak pernah lagi menjadi sumber bagi hukum Mazhab Syafi'i. Kalaupun dibandingkan dengan isi yang ada di ketiga Muharrar yang lain isi Mogharaer VOC sangat jauh berbeda. Kitab Belanda hanya terlihat seperti Mazhab Syafii dengan memberikan peran kepada Petugas Urusan Agama yang menyerupai peran Muhtasib dalam hukum Mazhab Syafi'i.
Contoh lain adalah aturan untuk memotong lidah penista agama. Dalam kitab Muharrar karangan manapun tidak ada hukuman itu. Sedangkan mengenai hukuman bagi pemberontak atau pembangkangan kitab Muharrar Rafi'i maupun Ibn Taymiyyah malah mengatur serangkaian aturan negara untuk mengedepankan negosiasi dan menghindari peperangan. Pada intinya kode buatan VOC menghilangkan semua prasyarat dan ketentuan hukum Islam dan prosedur perundingan yang banyak terdapat di dalamnya. Kitab VOC malah menunjukkan hukuman mati, potong kaki atau tangan, perampasan, dan pembuangan bagi pemberontak berdasarkan tingkat pembangkangan dan penghasutan yang sama sekali tidak ada dalam kitab Muharrar manapun juga.
Dalam penghujung artikelnya Mahmood menilai bahwa isi di dalam Mogharaer sangat kontradiktif dengan kitab Muharrar. Rancangan VOC ini tidak berdasar sama sekali dengan kitab fikih manapun. Sangat mungkin kitab kodifikasi VOC berasal dari aturan-aturan lokal tidak terlulis yang dirumuskan entah oleh siapa dengan mengklaim konsultasi dengan kyai, penghulu, jaksa, ulama, atau bupati lokal.
VOC sebenarnya merumuskan berbagai aturan baru yang dibuat seolah-olah berasal dari hukum Fiqih Mazhab Syafi'i. Mahmood menilai VOC sebenarnya sedang melakukan strategi Ekonomi Politik Kolonial dengan merumuskan bentuk kitab hukum pidana yang baru. Hal yang paling mencolok terlihat dalam kodifikasi itu dalam bagian pertama dan terakhirnya.
Aturan-aturan tentang pembangkangan yang dikaitkan dengan perintah bagi aparat negara beserta juklak perintahnya. Hukuman yang luar biasa kejam bernuansa Eropa zaman Victoria adalah refleksi peran kekuasaan VOC untuk menguatkan kekuasaannya selepas krisis akibat perang berkepanjangan. Dalam sejarah Nusantara para pemeluk Islam seperti Diponegoro di Jawa, atau Peto Syarif di Bonjol telah mengobarkan pemberontakan yang hampir membangkrutkan penguasa kolonial. (Y-1)