Indonesia.go.id - Digitalisasi Aksara Nusantara agar Lestari

Digitalisasi Aksara Nusantara agar Lestari

  • Administrator
  • Sabtu, 19 Desember 2020 | 00:30 WIB
KEBUDAYAAN
  Seorang murid menulis aksara Jawa yang diwarnai dengan krayon di SD Katolik Frateran II, Kota Kediri, Jawa Timur, Sabtu (5/9/2020). Foto: Antara /Prasetia Fauzan

Sebanyak tujuh aksara daerah di Indonesia telah terdaftar pada Unicode. Artinya sudah dapat digunakan untuk berkomunikasi pada platform media sosial.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai keberagaman budaya, termasuk bahasa dan aksara. Bahkan setiap daerah memiliki bahasa dan aksara berbeda, satu dengan lainnya. Jika ditelusuri lebih lanjut di balik keberagaman bahasa daerah tersebut ditemukan adanya berbagai kesamaan, misalnya dalam hal kosakata. Bahasa daerah tersebut tidak hanya menyimpan kekayaan fitur-fitur kebahasaan tetapi juga kearifan lokal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia.  

Berdasarkan data yang ditampilkan pada laman situs Laboratorium Kebinekaan Bahasa dan Sastra pada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB), tercatat ada 718 bahasa daerah di tanah air. Jumlah tersebut merupakan hasil verifikasi berdasarkan penelitian dan pemetaan bahasa daerah yang dirintis sejak 1992 hingga 2019 oleh BPPB, lembaga yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dari data yang ditampilkan pada laman situs tersebut bisa dilihat bagaimana kayanya bangsa Indonesia dengan keragaman budaya berupa bahasa daerah. Di Pulau Papua saja, berdasarkan verifikasi tadi terdapat 428 bahasa daerah yang dituturkan oleh masyarakat setempat. Salah satu unsur dalam bahasa daerah tadi adalah dialek dan aksara untuk penulisan kosakata. Aksara yang dihasilkan dari unsur tulisan tradisional bahasa-bahasa daerah dikenal juga sebagai aksara Nusantara.

Aksara Nusantara umumnya digunakan untuk merujuk kepada aksara-aksara segmental yang didasarkan pada konsonan dengan notasi vokal yang diwajibkan tetapi bersifat sekunder.  Bukti tertua mengenai keberadaan aksara Nusantara yaitu adanya penemuan tujuh buah yupa atau tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarman, Raja Kutai, Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta dan diperkirakan berasal dari abad ke-4 dan penemuan sejumlah prasasti dari Kerajaan Tarumanagara tahun 450 Masehi.

Sejak abad 15, aksara Nusantara berkembang pesat ditandai dengan beragamnya aksara untuk menuliskan berbagai bahasa daerah hingga kemudian peranannya mulai tergeser oleh abjad Arab dan alfabet Latin. Penggunaan aksara Nusantara mengalami penurunan pada pertengahan abad 20 dan hanya diterapkan dalam konteks terbatas.

Menghadapi situasi ini, beberapa pemerintah daerah berupaya untuk tetap melestarikan aksara Nusantara. Seperti membuat peraturan daerah mengenai penulisan aksara daerah pada plang nama jalan, nama tempat, atau menjadikannya sebagai muatan lokal pelajaran di bangku-bangku sekolah.

 

Digitalisasi Aksara Nusantara

Saat ini terdapat 12 aksara daerah yang merupakan bagian dari kekayaan kesusastraan dan budaya Indonesia. Ke-12 aksara lokal tersebut adalah aksara Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis atau Lontara, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci (Rencong atau Incung).

Uniknya, meski di Papua terdapat 428 bahasa daerah, pada kenyataannya nyaris tidak dijumpai aksara lokal di sana. Sebuah upaya dilakukan dengan menyusun sistem aksara dengan bahasa Tobati yang digunakan oleh masyarakat di sekitar Jayapura. Pihak Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB) pun ikut meluncurkan buku Sistem Aksara Bahasa Tobati pada 2016. Proses penentuan sistem aksara ini melibatkan penutur yang menyampaikan lambang untuk sesuatu yang diungkapkan dengan bahasa Tobati. Kemudian, bahasa lisan itu ditulis dengan huruf Latin.

Pelestarian aksara Nusantara tak cukup hanya sampai di situ. Seiring berkembangnya zaman, aksara-aksara dari bahasa daerah yang ada pun tak luput dari sentuhan kemajuan teknologi informasi saat ini. Satu upaya juga dilakukan oleh Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) untuk melestarikan aksara Nusantara dengan cara mendigitalisasinya. PANDI sendiri merupakan organisasi nirlaba yang ditugaskan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), salah satunya untuk merumuskan kebijakan dan bidang pengelolaan nama domain tingkat tinggi Indonesia berkode ".id". Hal itu sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Kominfo nomor 23 tahun 2013 tentang Pengelolaan Nama Domain.

Menurut Ketua PANDI Yudho Giri Sucahyo, saat ini baru tujuh aksara Nusantara yang telah digitalisasi dan terdaftar di dalam Unicode di mana lembaga tersebut juga ikut menjadi anggotanya (associate members). Ketujuh aksara itu adalah Jawa, Sunda Kuno, Bugis (lontara), Rejang, Batak, dan aksara Pegon. Sedangkan aksara Unicode sendiri adalah suatu standar teknis pengkodean internasional mengenai teks dan simbol dari sistem tulisan di dunia untuk ditampilkan pada komputer, laptop, atau ponsel. Standar yang digunakan adalah Universal Character Set. Ini artinya jika sudah terdaftar pada Unicode, maka aksara Nusantara itu bisa didaftarkan ke lembaga internet dunia, Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN).

Pendaftaran aksara daerah di Unicode penting supaya aksara-aksara daerah bisa masuk ke format internationalize domain name (IDN), sehingga aksara-aksara itu bisa diakses dan digunakan di internet. IDN merupakan nama domain untuk bahasa lokal atau aksara setiap daerah atau negara. Oleh karena nama domain ini bersifat khusus, maka tidak menggunakan huruf latin dengan karakter selain a hingga z atau angka 0 hingga 9 yang merupakan kode American Standard Code for Information Interchange (ASCII).

Hanya saja, tidak mudah untuk mendaftarkan aksara daerah ke Unicode, karena mereka melihat Indonesia masih di level limited usage dari aksara-aksara daerahnya. Maksudnya, aksara daerah baru digunakan untuk nama-nama gedung. Bila ingin menambah jumlah aksara daerah di daftar Unicode, maka Indonesia mesti meningkatkan levelnya dari level limited usage saat ini. Untuk kepentingan tersebut, PANDI mendapat dukungan penuh Badan Pendidikan dan Kebudayaan Dunia, UNESCO guna menyiapkan sebuah laman khusus demi pelestarian aksara Nusantara.

Laman tersebut adalah www.merajutindonesia.id dan bersifat open source sehingga seluruh kalangan khususnya pegiat aksara bisa berpartisipasi dan berkontribusi menuliskan aksara daerahnya. "Kita harus membuktikan kepada Unicode pada 2021 bahwa memang aksara daerah kita ada penuturnya.

PANDI juga sedang berupaya mendapatkan ISO 10646 untuk daftar aksara Nusantara. Ini sebagai acuan bagi produsen pembuat papan ketik komputer (keyboard) agar dapat menampilkan aksara Nusantara yang terdaftar dalam Unicode ke dalam perangkat keyboard mereka," kata Yudho, saat peluncuran laman tersebut di Jakarta, Sabtu (12/12/2020).

PANDI juga menjalin kemitraan dengan berbagai pihak seperti komunitas, lembaga-lembaga akademis dan nonakademis serta pemerintah daerah untuk pelestarian aksara Nusantara. Salah satunya dengan Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan mendukung apa yang dilakukan PANDI. Ia menyebut, digitalisasi ini adalah hal tepat sebagai bentuk transformasi digital mengingat pertumbuhan pengguna internet yang makin pesat sekarang ini. Ia juga menambahkan, untuk membangun karakter bangsa maka perlu lebih mengenal budaya dan nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa tersebut termasuk di dalamnya kekayaan budaya berbentuk aksara Nusantara.

Sementara itu, Wakil Dewan Pembina Yayasan Aksara Lontara Nusantara Andi Mallarangeng dalam keterangan tertulisnya mendukung langkah digitalisasi ini untuk menyelamatkan aksara-aksara Nusantara dari kepunahan. Dengan terdaftarnya aksara-aksara Nusantara ke dalam Unicode, menurut Andi, masyarakat sudah dapat memanfaatkannya untuk berkomunikasi menggunakan platform media sosial WhatsApp, Line, Messenger, Telegram, dan sejenisnya pada perangkat gawai mereka.

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini