Menjelang pergantian tahun, pandemi virus SARS-CoV-2 alias Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) belum juga mereda di negeri ini. Data Desember 2020, jumlah kasus terkonfirmasi positif virus Corona sudah menembus angka 700 ribu orang. Adapun pasien Covid-19 meninggal sekitar 20 ribuan.
Upaya Satgas Penanganan Covid-19 bersama pemerintah daerah terus menekan angka penularan dengan memperketat kembali syarat bepergian masyarakat ke luar daerah. Tes usap antigen menjadi kewajiban bagi warga yang mau memakai transportasi umum seperti pesawat, kereta api, bus maupun kapal penumpang. Sementara, tes usap antigen untuk kendaraan pribadi atau logistik yang lalu lalang kawasan episentrum Covid-19 dilakukan secara acak.
Tingginya tingkat positif kasus terjangkitnya SARS-Cov-2 hingga 14,66% dan kasus aktif sebesar 15,53% membuat penuh kapasitas layanan kesehatan maupun tempat isolasi mandiri di sejumlah daerah. Hal ini berdampak pada kesiapsiagaan tenaga kesehatan maupun relawan yang turun tangan menangani pandemi Covid-19 ini. Selama 10 bulan terakhir ini mereka berjibaku untuk melakukan pengetesan hingga perawatan para pasien virus Corona.
Sebagai garda terakhir dalam merawat pasien Covid-19, tenaga kesehatan dan relawan inilah paling rentan terpapar SARS-CoV-2. Belum lagi, kondisi psikologis dan kebugaran mereka terganggu karena mesti berjuang di palagan pandemi nyaris tanpa waktu rehat yang berarti. Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendata terhitung sejak Maret hingga Desember 2020, sebanyak 342 tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan perawat meninggal akibat terinfeksi virus Corona penyebab Covid-19.
Di samping para tenaga kesehatan di faskes rumah sakit, Wisma Atlet dan Puskesmas, ada dukungan dari para relawan. Sejauh ini, sudah 32 ribu relawan penanganan Covid-19 yang direkrut dari pelbagai kalangan baik untuk kebutuhan medis dan non-medis. Sebanyak 6.500 disiapkan untuk membantu upaya penelusuran, pengetesan, dan perawatan di 1.800-an Puskesmas seluruh Indonesia.
Semangat para nakes dan relawan berbulan-bulan terus membantu memutus mata rantai penularan virus Corona adalah pengabdian kepada kemanusiaan. Mereka pejuang-pejuang tangguh yang terus bertahan di tengah situasi pandemi Covid-19. Beberapa di antaranya berkisah di Media Center Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Jakarta, Jumat (04/12/2020).
Pada bulan April 2020, terbersit keinginan dokter Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Jakarta, Aulia Giffarinnisa untuk terjun langsung membantu sesama rekan tenaga kesehatan yang berjuang menangani pasien Covid-19.
"Keputusan jadi relawan itu sudah ada sejak April. Saya sebelumnya bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah di Sulawesi Selatan. Hati saya ingin berkontribusi dan tidak bisa hanya diam di rumah saja. Akhirnya pada Agustus orang tua merestui keinginan saya, setelah sejak April saya meminta restu. Saya mulai bertugas di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet bulan September," ungkap dr Aulia.
Sebetulnya menangani pasien Covid-19 bukan hal mudah, tenaga kesehatan seperti dr Aulia harus terus menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) selama delapan jam setiap hari kala bertugas. Apalagi dr Aulia bertugas di HCU (High Care Unit) yang merawat pasien Covid-19 dengan kondisi memerlukan perhatian khusus. Bekerja dalam pengap dan menahan haus dan lapar sudah jadi risiko pekerjaannya, "Kami bekerja bergiliran selama delapan jam. Biasanya dari pukul enam pagi sampai jam dua siang. Tapi karena memakai APD, kami mulai persiapan dari jam lima pagi, dan harus puasa selama delapan jam itu, karena kami tidak bisa melepaskan APD bahkan untuk ke toilet. Kalau kami minum pasti ingin ke toilet," terangnya.
Kisah inspiratif dari relawan lainnya berasal dari Yusrin Zata Lini, Anggota Relawan Jurnalis Bergerak. Ia dan rekan-rekan jurnalis lainnya menginisiasi gerakan sosial untuk membantu kesulitan ekonomi para pekerja lepas harian. "Mereka lebih khawatir dengan anak mereka nanti makan apa daripada virus yang tidak tampak ini," terangnya. Berangkat dari kegelisahan tersebut, Yusrin Zata menggalang donasi dengan sasaran penerima pekerja lepas harian, "Setidaknya menolong kehidupan mereka yang masih harus bekerja di jalanan ini selama satu atau dua minggu ke depan. Kami memberikan bantuan-bantuan ini dalam bentuk sembako, masker, hand sanitizer, dan flyer edukasi terkait Covid-19".
Gerakan sosial #JurnalisBergerak mulai mengumpulkan donasi melalui platform digital benihbaik.com, dengan target Rp100 juta. Kendati diinisiasi kalangan jurnalis, namun pengumpulan donasi ini terbuka bagi siapa saja yang ingin membantu. Penerimanya adalah pekerja non formal seperti tukang ojek, pemulung, pedagang kecil, sopir angkutan umum, dan masyarakat terdampak lainnya. Dalam waktu satu bulan, Yusrin dan kawan-kawan mampu mengumpulkan donasi sampai Rp106 juta dari 339 donatur. Kemudian dana ini disalurkan ke 600 penerima manfaat yang disalurkan ke lima wilayah administrasi DKI Jakarta.
Relawan seperti dr. Aulia dan Yusrin Zata hanyalah beberapa dari ribuan sukarelawan yang tanpa pamrih mendedikasikan tenaga dan waktu luang mereka selama berbulan-bulan untuk memulihkan pasien Covid-19. Kiprah mereka merupakan salah satu gerakan kemanusiaan yang terus dijalankan secara gotong royong antarelemen masyarakat agar Indonesia bisa keluar dari krisis pandemi SARS-CoV-2.
Peran seperti dokter khusus Covid-19, laboran PCR, tim surveilains atau pemburu Covid-19 di kota-kota, peran RT/RW maupun kepala desa dalam mengelola Kampung Tangguh, kegiatan edukasi protokol oleh para influencer media hingga aktivitas Jogo Tonggo merupakan cermin kesukarelawan masyarakat kita.
Semua bertujuan agar masyarakat sembuh dari sakit, situasi sosial ekonomi masyarakat pun pulih kembali. Orang-orang seperti dokter Aulia dan Yusrin menunjukkan kemanusiaan tanpa batas dan membangun optimisme bahwa pandemi bisa segera berakhir.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Editor: Eri Sutrisno/ Elvira Inda Sari
Redaktur bahasa: Ratna Nuraini