Berada di ketinggian 700-800 meter di atas permukaan laut, Desa Patemon berhawa sejuk dengan alam yang indah. Letaknya di kaki Gunung Merbabu, hanya sekitar 8 km dari Kota Salatiga Provinsi Jawa Tengah. Di tengah musim hujan Desember 2020, warna hijau segar menghampar di sekeliling desa yang terletak di KecamatanTengaran, Kabupaten Semarang itu. Desa Patemon terkenal sebagai penghasil sayur-mayur dan empon-empon yang ditanam di kebun-kebun berlereng. Minimnya air dan kontur perbukitan membuat Patemon nyaris tak punya lahan sawah. Toh, buah dan sayur bisa menjadi sandaran ekonomi yang penting, di samping banyak warga desa yang menjadi pedagang dan pekerja industri.
Produksi hasil pertanian Desa Patemon meningkat. Kualitasnya mencuat. Kuncinya, ada di manajemen air. Gerakan konservasi air sejak 2014 terbukti mengatrol jumlah dan kualitas sayuran. Parit-parit desa yang dulu kering setiap kali memasuki akhir penghujan kini basah berair hingga memasuki puncak kemarau pada Agustus-September. Dengan curah hujan 2.000--2.200 mm per tahun, Patemon dan desa-desa di sekelilingnya tergolong daerah yang cukup basah.
Namun, bentang alam yang berlereng dan tanah yang terbuka membuat curah hujan tak punya banyak kesempatan untuk masuk dan tersimpan ke dalam tanah. Air hujan yang terhempas hanya membasahi tanah permukaan, selebihnya hanyut menjadi air limpasan dan menghilang di hilir. Bukan hanya lahan pertanian yang kesulitan air. Setiap kali memasuki kemarau, warga desa yang berjumlah 2.900 jiwa, tersebar di 10 dusun, juga kesulitan air bersih.
Sumur Resapan
Bu Kades Puji Rahayu memutar otak mencari solusi. Ia berembuk dengan para tokoh desa, pejabat di kantor Pemerintah Kabupaten Semarang, dan banyak pihak lainnya. Maka, atas dukungan warga, Bu Kades pun memulai pembuatan sumur resapan. Beberapa unit sumur resapan itu dibangun. Satu di antaranya di pekarangan rumah Joko Waluyo, seorang tokoh masyarakat setempat.
‘’Sumur resapan itu berukuran 2 meter lebar, panjang 2 meter, dan dalamnya 2 meter juga,’’ kata Joko seperti terekam pada video “Sumur Resapan Patemon” di sebuah kanal Youtube yang diunggah media 2020. Sisi-sisi sumur ditembok dengan batu bata, dan bagian dasarnya untuk jalan resapan air. Di atas lantai sumur itu ditempatkan batu kerikil setebal 30 cm dan yang ditutup oleh tumpukan ijuk. Bibir sumur resapan itu ditutup dengan besi beton, agar lahan di atasnya dapat digunakan sebagai ruang terbuka. Ada pintu akses pada penutup sumur itu, terbuat dari beton cetak, untuk keperluan pemeliharaan. Air hujan masuk lewat selokan khusus, yang dilewatkan ke sebuah bak kontrol, untuk menyaring sampah dan mengendapkan lumpur.
Beberapa puluh sumur resapan itu segera terbangun. Ada bantuan dari Pemkab Semarang, ada pula dari swasta lewat jalur corporate social responsibility (CSR), sumbangan jaringan lembaga swadaya masyarakat (LSM), ada pula bantuan pemerintah pusat lewat program sanitasi dan air bersih. Warga segera merasakan manfaatnya, karena air tanah naik dan sejumlah sumur meningkat cadangan airnya.
Atas dukungan warga, Bu Kades Puji Rahayu pun membuat Perdes (Peraturan Desa) 2015, yang mewajibkan warga yang punya tanah pekarangan menggali sumur resapan. Mereka yang hendak mendirikan rumah baru diminta melengkapinya dengan sumur resapan. Bagi bangunan komersial, semisal pabrik tahu atau industri pengolahan buah-buahan, sumur resapan berukuran 20 m3. Belakangan, sebagian dana desa juga dialokasikan untuk membuat minimum 2 unit sumur resapan per tahunnya. Tak pelak lagi, sampai akhir 2020 , di Desa Patemon, ada 320 unit sumur resapan.
‘’Saya ingin ada 1.000 sumur di desa ini, dan itu sudah menjadi tekad para warga,’’ kata Joko Waluyo, tokoh yang membawa Kelompok Tani Desa Patemon menjadi Juara 3 (tingkat nasional) dalam kontes Program Desa Tanaman Obat Keluarga.
Gerakan sumur resapan itu rupanya tidak hanya di Patemon. Beberapa desa tetangganya, seperti Desa Tingkir, Kedungduren, dan Jethak, pun melakukan hal yang sama. Alhasil, di kawasan itu kini telah terbangun sekitar 870 sumur resapan. Tidak hanya di pekarangan, sumur resapan itu digali di kebun-kebun di lereng bukit. Ukurannya, sekitar 1 kali 1 meter dengan kedalaman 1 meter. Tanpa tutup.
Konservasi Air
Kepala Urusan/Kaur Pemerintahan Desa Patemon Sukiman Budiono mengungkapkan, dulu ada mitos, tak ada yang akan bisa membuat sumur karena air tanahnya terlalu kecil. Namun, Budiono menabraknya. Hasilnya, air baru keluar di kedalaman 36 meter. Debitnya pun hanya 300 liter per hari dan tinggal separuhnya di musim kemarau. Sumur itu hanya mampu melayani kebutuhan keluarganya.
Berkat sumur resapan itu, sumur-sumur warga pun makin terjamin airnya. Budiono bahkan menyebut, pada musim basah sumurnya bisa menghasilkan 24 meter kubik air tiap harinya. ‘’Bisa untuk 20 keluarga,’’ ujarnya. Budiono membagikan berkah air sumurnya kepada para tetangga.
Di kebun-kebun warga di luar desa, yang sebagian kini ditanami empon-empon, permukaan air tanah juga naik, sehingga tanaman budi daya lebih terjamin kebutuhan airnya. Sejumlah lereng kembali basah berlumut dan mengalirkan airnya melalui parit di bawahnya. Air bening itu dimanfaatkan untuk menyiram tanaman. Di pinggiran area kebun berbagai jenis pohon tumbuh rimbun, dan ikut memberi kontribusi bagi konservasi tanah serta air.
Bukan hanya untuk kepentingan warga setempat, gerakan sumur resapan dan konservasi air itu ternyata telah memperbaiki kualitas tata air di daerah aliran sungai setempat (DAS). Air limpasan berkurang, air tanah meningkat. Fungsi kawasan itu sebagai area tangkapan hujan (catchment area) semakin meningkat.
"Dulu pada setiap musim kemarau kami selalu minta bantuan air bersih dari PDAM. Sekarang air bersih cukup berlimpah," kata Kepala Desa (Kades) Patemon Puji Rahayu di Desa Patemon.
Terletak sedikit di bawah bentang alam Desa Patemon, Tingkir, Kedungduren, Butuh, dan beberapa desa lainnya, ada mata air Senjoyo. Pada 1990-an, dalam catatan PDAM Kota Salatiga, debit dari mata air Senjoyo itu masih stabil pada kisaran 1.150 liter per detik pada musim. Namun, aliran cepat menyusut dan tinggal menjadi 800 liter per detik pada 2012, dan berkurang sepertiganya pada musim kemarau.
Gerakan konservasi air di desa-desa lereng Utara Gunung Merbabu itu ternyata menolong nasib mata air Senjoyo. Secara bertahap debit air gunung itu meningkat lagi dan mencapai 1.100 liter per detik ada 2018. Airnya digunakan sebagian besar untuk irigasi, dan sebagian untuk PDAM. Namun, sebelum dialirkan ke saluran irigasi, air gunung itu dimanfaatkan dulu untuk kolam renang dan kolam rekreasi bagi warga Salatiga dan sekitarnya.
Penulis : Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini