Dari total 17.504 pulau di Indonesia, sejak 2017, pemerintah telah mencatatkan secara formal sebanyak 16.056 pulau bernama ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dari sekian ribu pulau-pulau Nusantara banyak yang bernama unik. Ada yang berdasarkan nama hewan, suku, sejarah, budaya lokal, atau memang sengaja dikembangkan sebagai objek pariwisata. Seperti Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur, Pulau Burung di Bangka Belitung, Pulau Tikus di Bengkulu, hingga Pulau Pari dan Macan di Kepulauan Seribu, Jakarta.
Hal lain, pernahkah Anda merasa bingung soal penamaan sebuah tempat? Misalnya, sebuah kabupaten di selatan Jawa Barat itu bernama Pelabuhan Ratu atau Palabuhanratu? Begitu pula nama Ibu Kota Kalimantan Tengah, Palangka Raya atau Palangkaraya? Untuk itulah, ada standardisasi dalam penamaan suatu daerah.
Penamaan pulau, daerah, sungai, danau, teluk di pelbagai wilayah suatu negara ini disebut juga rupabumi. Ilmu ini dikenal pula dengan nama geografi atau toponimi. Toponimi adalah nama yang diberikan pada unsur rupabumi, baik unsur alami maupun unsur buatan dan kebutuhan administrasi negara.
Penyediaan nama rupabumi dibakukan secara nasional oleh National Names Authority (NNA) atau Badan Informasi Geospasial (BIG). Sejumlah nama rupabumi tersebut dikemas dalam gazeter nasional (daftar nama rupabumi) sebagai amanat dan rekomendasi dari resolusi United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN), yang merupakan kelompok pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang nama geografi.
Sejak 2011, urusan tentang toponim dipegang oleh BIG yang sebelumnya bernama Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional). BIG ialah lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang informasi geospasial. Selanjutnya melalui Perpres nomor 116 tahun 2016, posisi BIG ialah menjadi national names autorithy dari Indonesia. Posisi ini menggantikan keberadaan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang dibentuk berdasarkan Perpres nomor 112 tahun 2006.
Pekerjaan BIG tentu tidaklah mudah. Pasalnya Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki 17.504 pulau, dihuni oleh ribuan etnis, dan menurut Summer Institute of Linguistics AS diestimasi memiliki 731 bahasa. Kondisi ini tentu bakal berdampak pada potensi rancunya penyebutan dan penulisan nama-nama tempat atau lokasi sebagai representasi nama nasional secara baku. Prestasi terbesar BIG pada 2017 adalah menyetor 16.056 pulau bernama ke UNGEGN.
Nah, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada 6 Januari 2021 telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 2 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi (PP PNR). Peraturan ini diterbitkan untuk melindungi kedaulatan dan keamanan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, melestarikan nilai-nilai budaya, sejarah, dan adat istiadat, serta mewujudkan tertib administrasi pemerintahan.
Pengaturan pada PP PNR ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam PNR serta pengguna nama rupabumi. Terdapat 10 prinsip nama rupabumi dalam PP PNR yang disusun berdasarkan pada peraturan yang telah ada sebelumnya, termasuk pedoman umum dan resolusi UNGEGN.
Prinsip utama nama rupabumi tersebut adalah wajib menggunakan bahasa Indonesia. Walau begitu, bahasa daerah atau bahasa asing dapat digunakan apabila unsur rupabumi memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan. Selain itu, menggunakan abjad romawi dan menggunakan satu nama untuk satu unsur rupabumi.
Selanjutnya, unsur nama rupabumi harus menghormati keberadaan suku, agama, ras, dan golongan. Lalu menggunakan paling banyak tiga kata, menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup, dan dapat menggunakan nama orang yang sudah meninggal dunia paling singkat lima tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal dunia. Selanjutnya, penamaan menghindari penggunaan nama instansi/lembaga, penggunaan nama yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan/atau daerah, serta memenuhi kaidah penulisan nama rupabumi dan kaidah spasial.
Satu hal, PP itu menyebutkan prinsip nama rupabumi terkait kebahasaan disusun sesuai dengan Undang-Undang nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. PP PNR juga mengamanatkan penyusunan Gazeter Republik Indonesia (GRI), yang merupakan daftar yang memuat nama rupabumi baku, nama daerah, nama wilayah administrasi, dan nama ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
GRI ini nantinya dapat diakses oleh publik pada Sistem Informasi Nama Rupabumi yang disiapkan dan dikelola oleh BIG. GRI diharapkan menjadi acuan nasional dalam pelaksanaan tugas pemerintahan maupun keperluan lainnya terkait penggunaan nama rupabumi baku di Indonesia. Untuk kemudian, nama rupabumi baku yang telah dicantumkan dalam GRI disebarluaskan secara internasional sebagai bagian dari penyelenggaraan pembakuan nama rupabumi di dunia internasional melalui forum UNGEGN.
Kehadiran PP PNR diharapkan mencegah munculnya problem penamaan tempat atau lokasi di dalam negeri maupun tingkat global. Tak jarang terjadi sengketa klaim perihal batasan teritorial antarnegara, akibat dipicu soal nama sebagai salah satu sumbernya. Jadi, sekarang ini menamakan suatu pulau atau sungai tidak segampang seperti zaman dulu. Pasalnya, kesamaan nama objek alami atau buatan akan membuat bingung pencitraan satelit.
Salah memasukkan data geospasial berakibat fatal bagi suatu negara atau pelaku usaha di era yang semakin bertumpu pada mahadata (big data).
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Editor: Eri Sutrisno/ Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini