Indonesia.go.id - Ketika Platform Menelan Semua Konten

Ketika Platform Menelan Semua Konten

  • Administrator
  • Kamis, 11 Februari 2021 | 15:07 WIB
DISRUPSI DIGITAL
  Presiden Joko Widodo hadir secara virtual pada Puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2021 dari Istana Negara, Jakarta. Foto: SETPRES

Dalam situasi pandemi, pengguna konten media siber terkerek 40 persen, tapi revenue terpangkas 30--40 persen. Sebagai pendistribusi konten, platform menguasai kue iklan.

Situasi pandemi membuat orang lebih banyak tinggal di rumah, ada yang work from home (WFH) atau sekolah online. Yang harus bekerja keluar rumah pun setelah pulang umumnya segan ke mana-mana. Mereka menonton televisi, buka laptop, atau asyik bermain dengan layar gadget masing-masing.

Konsumsi berita pun meningkat setelah Covid-19 merebak dan mobilitas orang menyusut. Penonton program berita  di layar TV, menurut  lembaga survey AC Nielsen, meningkat 25 persen per Maret 2020. Begitu halnya dengan program-program hiburan, pendidikan, dan rohani. Secara umum, diperkirakan penonton TV meningkat 50 persen sepanjang 2020.

Bisnis televisi masih cukup kokoh. Bukan hanya jumlahnya yang meningkat, durasi pemirsa  menonton TV pun semakin panjang. Hary Tanoesoedibjo, Founder dan sekaligus Executive Chaiman MNC Group, dalam acara Hari Pers Nasional (HPN) menyebutkan, secara rata-rata durasi menonton TV itu meningkat 12 persen dan mencapai 5 jam 46 menit per hari.

Kenaikan konsumsi berita online, menurut Hary Tanoe, juga terdongkrak 40 persen selama pandemi. Banyak yang mengakses langsung ke akun media pers, namun tak kurang juga yang mengakses melalui agregator,semacam Yahoo dan Google, atau mengunduhnya lewat platform media sosial. 

Tak berarti bisnis pers berkibar-kibar. Di tengah lonjakan minat audience itu, penerimaan iklan media justru terpuruk akibat pandemi yang memukul sektor industri, perdagangan, pariwisata, konstruksi, properti, dan banyak sektor bisnis lainnya. “Belanja iklan nasional turun drastis antara 30--40 persen,” kata Hary Tanoe, Senin (8/2/2021).   

Fakta-fakta itu disampaikan Harry Tanoe dalam acara Konvensi Media Massa, yang digelar secara virtual sebagai satu acara dalam rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) 2021. Pandemi Covid-19 ini jelas memukul seluruh bisnis media dan pers, tentu dengan keparahan yang berbeda.

Volume kue iklan itu sendiri, pada 2019 nilainya Rp168 triliun (gross), mengacu price list resmi yang pada prakteknya sering didiskon 25--35 persen, pada 2019. Namun, angka itu masih sangat  besar. Dari jumlah itu,78 persen masuk ke iklan TV, 12 persen diserap oleh media online, dan selebihnya untuk media cetak, radio,dan media luar ruangan (outdoor).

Situasi sontak berubah di 2020. Industri televisi, menurut Hary Tanoe, masih menangguk yang terbesar 72 persen. Media online menyedot 20 persen dan selebihnya untuk media cetak, radio, dan outdoor. Bagi media cetak situasi ini tentu seperti pukulan bertubi-tubi, yakni karena pembacanya menyusut, kue iklan nasional mengecil, dan porsi untuk media cetak pun menciut. Tak heran bila sejumlah media cetak hijrah total ke online.

Namun, hijrahnya sejumlah media cetak ke online juga harus disertai perjuangan baru lagi. Hary Tanoe mengingatkan, kue iklan yang mengalir ke media internet (online) terus meningkat, tapi tak berarti mengucur ke perusahaan media pers sebagai penghasil konten. “Sebagian besar iklan, 70 sampai 80 persen, dikuasai platform asing semacam Google atau Facebook,” kata Hary Tanoe. Ia bahkan yakin, platform akan terus menguat dan mampu menggaet di atas 50 persen iklan dalam 10 tahun ke depan.

Situasi  itulah yang dirasakan kalangan media online di Indonesia, seperti yang  disampaikan Pengurus Pusat Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Anthony Wonsono. Berbicara setelah Hary Tanoe, dalam Konvensi Nasional Media, dalam rangka menyambut HPN 2021, Anthony berkata, “Di masa pandemi ini, penonton kami meningat sekitar 40 persen, tapi revenue kami turun drastis. Di sinilah, mau tak mau, ada satu hal yang harus kita lakukan bersama-sama terkait disrupsi digital ini.”

Anthony mengatakan, media pers adalah produsen kontennya, tapi distribusinya dikuasai secara keseluruhan atau setidaknya secara mayoritas oleh platform. Walhasil, perusahaan-perusahaan media siber tak mampu bertahan secara bisnis.

“Dari Mei 2020, banyak perusahaan yang melakukan PHK, dan kini sudah lebih 50 persen yang terdampak,”ujar Anthony. Ia mengakui pendapatan perusahaan media siber anjlok  30--40% selama pandemi. Banyak perusahaan anggota AMSI yang melakukan PHK, dan ada  sebagian lainnya sudah menunda-nunda gaji karyawannya.

Dampak yang muncul dari dominasi platform itu, kata Anthony, juga merambat ke soal moral dan etik. Sebagai penguasa distribusi, platform menelan semuanya, tanpa melakukan seleksi atas akuntabilitas, kredibilitas, dan kualitas konten. Karya jurnalistik berhadapan dengan omelan warganet atau konten lain yang dibikin tanpa melewati proses jurnalistik. 

“Konten jurnalistik dan konten abal-abal dianggap sama derajatnya. Sayangnya, harus diakui, masyarakat tak terbiasa membedakan konten yang bermutu dengan konten yang tak ada basisnya,” Anthony menambahkan.

Gayung pun bersambut. Ketidaksetaraan posisi antara platform besar dan pers nasional, seperti yang disampaikan Hary Tanoesoedibjo dan Anthony, juga telah menjadi agenda perjuangan PWI dan kelompok pers lainnya. Di depan Presiden Joko Widodo, dalam acara puncak HPN di Istana Merdeka, Ketua PWI Atal S Depari meminta pemerintah menerbitkan regulasi yang secara transparan bisa menjamin kesetaraan dan keadilan relasi antara platform dan pers nasional.

Presiden Jokowi mendukungnya dan akan mendorong munculnya arena yang adil dan setara bagi semua pihak. Maka, Presiden meminta semua pemangku kepentingan ikut memberikan masukan pada rancangan PP tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran yang kini digodok oleh pemerintah. PP itu diharapkan untuk mengatur permainan yang adil. 
 

 

 

Penulis: Putut Tri Husodo
Redaktur: Ratna Nuraini/ Elvira Inda Sari