Indonesia.go.id - Mendorong Inovasi Mi Berbahan Lokal

Mendorong Inovasi Mi Berbahan Lokal

  • Administrator
  • Senin, 11 Juli 2022 | 08:53 WIB
INOVASI
  Mi produksi Perum Bulog yang diproduksi untuk mengurangi impor gandum. BULOG
Melepas ketergantungan impor, terutama untuk bahan pangan, relatif menjadi pekerjaan rumah. Pangan siap saji berbahan lokal pun kini mulai dikembangkan.

Mi instan merupakan makanan paling digemari masyarakat di Indonesia. Apalagi ada beragam varian mi tersedia di pasaran, seperti mi goreng dan mi rebus, dengan aneka rasa yang gurih dan lezat. Keunggulan produk pabrikan itu terdapat pada karakternya yang dapat disimpan dalam waktu lama dan hanya perlu pengolahan beberapa menit sebelum disantap.

Hasil survei Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2021, menunjukkan bahwa penduduk Indonesia sangat suka mi. Buktinya, dalam setahun tingkat konsumsi mi mencapai 48 bungkus atau jika ditotal berjumlah 13,2 miliar bungkus mi dengan berat rata-rata 80 gram pada 2021.

Jika dipukul rata, pengeluaran tiap orang untuk membeli mi instan yaitu Rp2.286 per bungkus, maka untuk membeli 48 bungkus mi diperlukan dana Rp109.728 dalam setahun. Oleh sebab itu World Instant Noodles Association pada 2020 menempatkan Indonesia sebagai negara kedua terbanyak di dunia dalam hal konsumsi mi.

Jumlahnya sangat banyak, yaitu 12,64 miliar bungkus. Tapi ini masih kalah dari tingkat konsumsi mi masyarakat Tiongkok dan Hong Kong yang menyentuh 46,35 miliar bungkus atau terbanyak di dunia.

Terlepas dari urusan tingkat konsumsi itu, sampai hari ini bahan baku pembuatan mi yaitu gandum masih diimpor. Data Kementerian Perdagangan menyebutkan, impor gandum baik dalam bentuk bulir atau tepung (meslin) sepanjang 2019 saja sebesar 11,3 juta ton.

Melihat situasi itu, Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mengoptimalkan riset pengembangan bahan lokal untuk kebutuhan ketahanan pangan. Penelitian ini juga mencakup diversifikasi produk pangan dan teknologi pengolahannya.

"Hal ini untuk meningkatkan nilai gizi dan keekonomisan pangan serta sebagai upaya untuk mengurangi impor gandum," kata Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN, Puji Lestari pada webinar betajuk Teknologi Proses Pangan di Jakarta, Rabu (22/6/2022).

Salah satu yang ingin dikembangkan adalah produk mi instan berbahan baku pangan lokal seperti jagung, sagu, dan singkong modifikasi atau mocaf. Mi sagu pada 2018 pernah dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi bersama Perum Bulog. Memakai merek dagang Sagoo Mee, produk ini merupakan mi sagu pertama di Indonesia yang didistribusikan melalui Pasar Mitra Tani dan mendapat sambutan baik di pasaran.

Pemilihan bahan baku sagu dikarenakan Indonesia mempunyai 5,43 juta hektare lahan sagu, terluas di dunia. Selain itu nilai plus sagu karena punya karakter mirip terigu, tapi bebas gluten sehingga lebih sehat dan bergizi karena kaya serat. Menurut peneliti teknologi pangan fungsional nabati PRTPP BRIN R Cecep Erwan, mi dari gandum punya kandungan gluten tinggi dan membuat teksturnya elastis sehingga dapat diterima oleh pasar.

Hal ini yang menjadi tantangan pihaknya untuk menciptakan produk sejenis dari bahan lokal dan diterima pasar. Apalagi jika menilik Sagoo Mee, diklaim bebas gluten, rendah Glycemic Index (GI), non-Genetyc Modified Organism (GMO), tinggi serat dan rasanya tidak berbeda jauh dengan mi instan berbahan gandum.

Cecep menyebutkan, telah mengembangkan bahan baku mi dari umbi suweg (Amorphophallus campanulatus) yang diolah menjadi pati suweg dengan teknik modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT). Lewat metode modifikasi pati secara fisik dengan cara memberikan perlakuan panas di atas suhu gelatinisasi yaitu 80--120 derajat Celcius dengan kondisi kadar air terbatas atau di bawah 35 persen. “Pati suweg diolah dengan teknik modifikasi HMT agar dapat mengubah sifat psikokimia, sifat fungsional, dan karakteristik pasta pati suweg sebagai bahan baku pembuatan mi,” ungkap Cecep.

Sementara itu, periset dari Pusat Riset Teknologi Tepat Guna (PRTTG) BRIN Satya Andika Putra menyampaikan, selama ini terdapat permasalahan dalam memproduksi mi nongandum. Salah satu kendalanya adalah pada proses pengeringan, karena tepung nongandum memiliki karakteristik yang berbeda. Karenanya ia mengembangkan teknologi mesin pembuat mi nongandum.

Sejumlah inovasi dilakukan terhadap alat ini. Terutama pada tahap proses pengeringan yang dapat memancarkan inframerah. Setelah itu pada tahap penepungan umbi-umbian dan serealia. Inovasi lainnya adalah mengembangkan mesin pencetakan mi agar proses produksi pangan berbahan lokal ini semakin mudah.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari