Naskah kuno, I La Galigo berkali-kali menyebutkan tentang suatu tempat bernama Cina. Banyak orang ketika membaca naskah ini, termasuk penulis, mengira nama Cina ini terkait dengan Tiongkok di daratan Asia. Padahal itu keliru.
Kedatuan Cina, untuk mudahnya, sebut saja sebagai wilayah kerajaan Bugis Kuno. Saat Kedatuan Cina ini jaya (eksis), istilah suku Bugis belum ada. Mengapa itu bisa terjadi?
Karena, sumber-sumber sejarah yang selama ini menjadi rujukan, dikatakan Ian Caldwell, peneliti dari Belanda, dalam jurnal keluaran KITLV Nomor: 173 (2017), nyaris tak mencatatnya. Tetapi sebaliknya, sumber-sumber sastra banyak menyebutkannya.
Paradigma Baru
Ian Caldwell dengan rekannya Kathryn Wellen mencoba meneliti sejarah awal mula kerajaan-kerajaan di Pulau Sulawesi bagian selatan dalam perspektif yang lebih luas. Mereka memberi judul penelitiannya “Finding Cina: A New Paradigm for Early Bugis History”. Terjemahan bahasa Indonesia bagi penelitian mereka dikerjakan oleh Nurhady Sirimorok.
Penelitian ini mencoba mencari jejak leluhur orang Bugis sejak 1200 hingga 1600 masehi. Hal itu penting untuk dilakukan. Sebab, catatan-catatan sejarah kepulauan Sulawesi rata-rata ditulis pada masa yang relatif modern, sekitar abad 17 masehi.
Pulau Sulawesi dalam sejarahnya adalah penghasil beras nomor dua setelah Jawa. Sebagaimana Jawa, keterikatan orang-orang Sulawesi dengan hasil pertanian, yang tecermin dalam karya sastranya, begitu kuat.
Ian Caldwell menyebut orang Bugis sebagai suku bangsa terbesar di kawasan tengah jazirah Sulawesi Selatan (merujuk pada pembagian provinsi modern). Secara historis, mereka terbagi dalam beberapa kerajaan. Istilah kerajaan (kingdom) memang tidak begitu tepat. Pasalnya, sebagaimana bentuk kerajaan di Nusantara yang lain, tidak pernah ada pemusatan kekuasaan yang kuat seperti di benua lain. Slamet Mulyana pun lebih suka menyebutnya sebagai kedatuan.
Para arkeolog menyebut bentuk ‘negara’ leluhur orang Bugis sebagai sebuah perkauman yang kompleks (complex chiefdom). Kedatuan Cina adalah tahap awal perkembangan kehidupan politik yang kompleks. Pada zaman ini, bahkan masih terasa hingga sekarang, kekerabatan adalah aspek yang sangat penting dalam kehidupan politik.
Sebelum tercatat dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis pada abad 17 dan sesudahnya, kerajaan-kerajaan ‘leluhur’ sudah berkembang setidaknya empat abad dan mempunyai batas-batas yang mirip dengan perkembangan kabupaten yang ada pada masa kini.
Naskah I La Galigo-lah yang menjadi rujukan utama untuk mengenal kerajaan-kerajaan terdahulu. Tradisi puisi lisan La Galigo adalah serial panjang yang merentang hingga tujuh generasi yang ditulis dalam berbagai aksara yang ada di jazirah Sulawesi.
Bagian awal La Galigo bercerita tentang dua kerajaan utama, yakni Luwu dan Cina. Sampai dua dekade terakhir, lokasi dua kerajaan ini masih belum diketahui. Proyek OXIS (The Origin of Complex Society in South Sulawesi) tahun 1997-2000 menemukan bahwa Luwu pada masa pra-Islam bukan berada di Kota Palopo. Letaknya di pantai utara Teluk Bone. Istana pusat Luwu di Malangke didirikan oleh pendatang dari gunung. Kawasan pertanian ini terletak di sekitar danau-danau besar di kawasan tengah semenanjung.
Luwu sudah lama dianggap sebagai kerajaan paling tua dan berpengaruh di Sulawesi Selatan bahkan Sulawesi Tengah. Sumber-sumber umum merujuk pada kerajaan Luwu sebagai tanah asal peradaban Bugis. Walaupun setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa, Luwu tidak lagi dominan, tetapi sisa-sianya masih ada hingga sekarang. Sementara itu, leluhur setaranya, Kedatuan Cina, seperti lenyap dari sejarah.
Ian Caldwell berpendapat, lenyapnya Kedatuan Cina, sekitar abad 16, disebabkan oleh munculnya dominasi-dominasi kedatuan lain yang sebagian juga disebabkan oleh kolonialisme. Kasus seperti ini mungkin mirip dengan melemahnya Kerajaan Cirebon, saat Mataram dan Banten menguat di abad 18.
Enam Keluarga Terkemuka Hulu Lembah Cenrana
Sumber-sumber yang menjadi bahan penelitian Ian Caldwell dan kawan-kawannya adalah naskah-naskah yang menceritakan riwayat enam silsilah keluarga terkemuka. Caldwell menamai naskah-naskah ini sebagai Silsilah Istana Cina. Dalam perjalanan kemudian naskah ini diberinama Silsilah Lembah Cenrana (SLC) untuk mengurangi kekeliruan. Secara kolektif, silsilah ini memuat hampir 200 nama kerabat yang merentang sampai 16 generasi. Dari pendahulu mitologis sampai penguasa-penguasa di abad ke-17.
Garis besar naskah ini mencatat daftar 20 sampai 22 nama penguasa Kedatuan Cina. Seperti naskah Babat di Jawa, tiga penguasa pertama dalam silsilah adalah sosok mistis. Namanya Tomanurung Simpurusia, dengan anak dan cucunya. Tomanurung artinya orang yang turun ke bumi.
Selanjutnya, ada empat penguasa dengan beberapa nama. Masa hidupnya sulit untuk diketahui kapan berlangsungnya. Masa mereka diperkirakan berada pada masa saat tradisi tulis belum ada. Perkiraannya sebelum abad 15. Hanya tradisi lisan yang membuat nama-nama mereka disebutkan.
Penguasa ketiga, cucu ‘orang langit’, La Balaonyi disebut sebagai orang pertama yang mempunya pedang pusaka Pammana. Sesudahnya terdapat nama La Pottoanging, La Pasangkadi dan La Padasajati yang berkuasa di Wawolonrong, Pammanda dan Tetewatu yang diperkirakan ada pada abad ke-15.
Generasi selanjutnya cukup terbukti kesejarahannya hingga generasi terakhir pada nama La Sangaji Pammana. Dialah orang yang menurut Zainal Abidin, peneliti sejarah Bugis, meminta agar nama kerajaan itu diganti dari Cina menjadi Pammana sebelum mangkat.
Upaya untuk melacak Kedatuan Cina, dilakukan dengan mencatat perkawinan-perkawinan yang terjadi di antara beberapa wilayah penyebaran keturunan Lembah Cenrana. Diaspora berbasis keturunan itu membentang secara geopolitis dari pusatnya di Sengkang menuju Soppeng di Barat, Bone di Barat Daya dan Tenggara, hingga Wajo di belahan utara.
Diaspora Cina “Tiongkok” Di Barat Danau Tempe
Apakah penamaan Cina tidak berkaitan dengan ‘Cina-Tiongkok’ hal itu bisa menjadi perdebatan tersendiri. Yang jelas di pusat Kedatuan Cina yang ada di Sengkang, Wajo, di bagian barat Danau Tempe ditemukan berbagai penemuan arkeologis yang merujuk ke daratan besar di utara.
Di tempat yang bernama Sarapao, Desa We Cudai (nama putri Cina di La Galigo), terdapat tanda-tana pemukiman yang membentang sampai empat ratus tahun keluarga terkemuka. Temuan-temuan keramik yang ada di sana menunjukkan kelas kebangsawanan yang lebih tinggi dibandingkan temuan di bekas istana yang lain. Pecahan guci Chizu yang terkenal dari dinasti Yuan juga ditemukan di beberapa tempat di sana. (Y-1)