Masyarakat Sasak, sebutan bagi orang-orang yang berasal dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, memiliki tradisi kesusastraan yang tinggi. Pulau ini dalam catatan Dick van der Meij, peneliti naskah nusantara dari Leiden, memiliki jumlah naskah yang banyak sekali. Jauh lebih banyak ketimbang tempat-tempat lain di Indonesia.
Tradisi tulis Sasak berdasarkan data-data arkeologis membentang sangat lama. Catatan Jamaluddin, peneliti naskah dari UIN Mataram, memperlihatkan jejak tradisi tulis telah ada sejak abad ke-9 Masehi. Tradisi tulis itu kemudian tumbuh pesat terutama di masa Kerajaan Majapahit.
Pada masa itulah hubungan kebudayaan antara pulau-pulau Sunda Kecil dengan pusat kekuasaan di Trowulan terjalin kuat. Salah satu buktinya adalah naskah Negarakertagama yang mencatat perjalanan Hayam Wuruk di beberapa tempat penting di sekitar wilayah kekuasaannya di Jawa Timur pada abad 14, berasal dari Cakranegara, Lombok.
Tradisi menulis di atas daun lontar diperkirakan berasal dari tradisi yang ada di Jawa dan Bali. Naskah-naskah sasak yang berhasil dikumpulkan hingga saat ini, salinan-salinan yang tertua berasal dari abad 19.
Belanda adalah negara yang paling banyak memiliki naskah-naskah Sasak. Untuk bisa melihat perbendaharaan naskah ini, orang bisa mencari di perpustakaan Bali, Jakarta, Leiden, dan Canberra.
Museum Mataram tentu saja memiliki beberapa naskah, sisanya dimiliki oleh individu dan keluarga-keluarga di Lombok yang menyimpannya sebagai pusaka yang akan diwariskan dari generasi ke generasi.
Salinan Kertas
Sejak 70-an telah banyak dilakukan penyalinan naskah-naskah Sasak ke media kertas. Salinan-salinan ini kemudian dipublikasikan untuk dipelajari, dipertunjukkan, dan dijualbelikan. Naskah yang menyangkut sejarah kerajaan Sasak , seperti Babad Lombok, dan Babad Selaparang adalah naskah yang populer. Sayangnya, menurut Dijk van der Meij, penelitian terhadap tradisi kesusatraan Lombok masih sangat sedikit.
Naskah Lontar Lombok atau Sasak, umumnya ditulis dalam bahasa Kawi dan bahasa Sasak atau campuran antara keduanya yang disebut sebagai Aksare Sasak. Seperti juga aksara Jawa, aksara ini diperkirakan berasal dari pengaruh peradaban di India Selatan.
Aksara ini disebut juga sebagai “hanacarake” berbeda penyebutan di akhir dengan di Jawa. Jumlahnya 18 aksara, hanya berkurang dua konsonan dari aksara Jawa. Yakni, konsonan “dha” dan “tha”. Berkurangnya dua konsonan ini sepertinya menyesuaikan dengan lisan orang Sasak yang tidak mengenal konsonan ini.
Naskah-naskah Sasak sebagian besar merupakan salinan dari naskah-naskah yang ada di Jawa dan Bali. Tetapi beberapa naskah juga berasal dari tradisi Sasak sendiri. Tradisi lisan yang ditulis adalah sumber-sumber yang paling banyak melahirkan variasi dalam perbendaharaan naskah Sasak.
Lontar-lontar berbahasa Kawi dan berbahasa Sasak mengikuti aturan penulisan dan persajakan yang baku. Mirip dengan yang ada di Jawa dan Bali, tetapi dengan variasi yang terbatas. Naskah Sasak mengenal Pupuh (lagu) Asmarandana, Sinom, Maskumambang, Durma, Pangkur, dan Dangdanggula.
Naskah Pusaka
Masyarakat Sasak mempunyai tradisi membaca naskah pusaka yang dilakukan dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Pembacaan naskah itu dilakukan untuk memperingati atau menyambut peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan. Kelahiran, potong rambut bayu, khitanan, pernikahan, bersih desa, sedekah bumi, sedekah laut, ruwatan, hingga acara kematian.
Peter K Austin, peneliti dari Australia (ANU), secara khusus meneliti tradisi membaca naskah yang ada di Sasak. Dia melakukan penelitian dalam beberapa waktu yang berbeda. Yang pertama dia lakukan pada 2002, di Desa Penujak. Yang kedua dia lakukan di Desa Lenek pada 2012. Saat meneliti Peter dibantu beberapa orang konsultan, seniman, dan sastrawan Sasak yang mampu membaca dan mengartikan naskah-naskah pusaka itu. (Y-1)