Indonesia.go.id - Poros Sriwijaya-Nalanda, Globalisasi Perdagangan Asia Tenggara

Poros Sriwijaya-Nalanda, Globalisasi Perdagangan Asia Tenggara

  • Administrator
  • Senin, 17 Juni 2019 | 17:00 WIB
PERDAGANGAN LAUT
  Replika kapal Majapahit di Museum Angkut Batu Malang. Foto: Dok. Museum Angkut

Di pelabuhan-pelabuhan persilangan penting seperti Aden, Oman,  Basrah, Siraf, Gujarat, Coromandel, Pegu, Ayyuthya, Campa, Pasai, Malaka, hingga Palembang sangat mudah dijumpai berbagai suku bangsa.

Gambar relief perahu bercadik ganda di Candi Borobudur barangkali adalah simbol paling tepat untuk menggambarkan perdagangan laut antarbangsa sebelum zaman pertengahan. Model miniatur perahu ini salah satunya bisa dilihat di Museum Angkut, Malang, Jawa Timur.

Bagi orang awam, miniatur perahu ini mungkin dianggap sama dengan perahu-perahu Cina, Persia, atau Mediterania yang sezaman. Tetapi ada satu hal yang membuat perbedaan mendasar. Perbedaan itu adalah adanya bilik-bilik bagi perempuan.

Periode zaman pertengahan sebenarnya tidak benar-benar pas untuk menggambarkan perkembangan yang terjadi di negeri-negeri yang berada di antara tiga samudera. Negeri-negeri yang oleh sejarawan Prancis  Anthony Reid dinamakan dengan "Negeri Bawah Angin" telah mengalami periode perdagangan global yang lebih lama dibandingkan dengan penjelajah laut dari Mediterania.

Bilik Gundik

Keberadaan bilik-bilik bagi perempuan di perahu-perahu yang berasal dari kepulauan Asia Tenggara semakin diperkuat kesejarahannya dengan temuan-temuan penelitian genetika. Penelitian lembaga mikrobiologi Eijkman, Jakarta, telah mengkonfirmasi adanya leluhur-leluhur perempuan dari orang Madagaskar yang berasal dari Banjar, Kalimantan Selatan.

Perkawinan antara perempuan-perempuan yang berasal dari salah satu wilayah bawahan Kedatuan Sriwijaya dengan laki-laki Madagaskar ini terjadi pada sekitar abad 9 hingga 11 masehi. Bagaimana jejak genetik bisa sampai ke wilayah terjauh di bagian barat Samudera Hindia, jawabannya adalah koloni dagang.

Jared Diamond, peneliti dan penulis sejarah peradaban manusia, mencatat fenomena ini sebagai "fakta tunggal paling memukau dari geografi manusia". Samudera sebagai penghubung perdagangan antara bangsa atau saat ini dikenal dengan istilah globalisasi telah berkembang bahkan sejak sebelum abad pertengahan.

Jika pelaut-pelaut tangguh dari Iberia dilarang untuk membawa perempuan di dalam perahunya karena "berbahaya" bagi pelayaran, pelaut-pelaut Nusantara malah membuat perahu-perahunya lebih besar dan lebih luas untuk membuat bilik-bilik bagi perempuan. Entah perempuan-perempuan itu menjadi teman atau gundik dalam perjalanan, tetapi satu hal yang pasti perempuan-perempuan ini menjadi bagian dari misi perdagangan dan diplomasi.

Komoditas Manusia

Catatan pelaut Persia, Buzurg ibnu Syahriar tentang seribu perahu orang "Waqwaq" di perairan Afrika Timur dijelaskan oleh Denys Lombard dalam magnum opusnya Nusajawa Silang Benua, Jaringan Asia. Perahu-perahu ini dikatakan datang dari jarak yang memerlukan setahun pelayaran.

Barang-barang yang dicari orang-orang "Waqwaq" adalah barang-barang yang berharga bagi mereka dan bernilai tinggi untuk diekspor ke Cina. Barang-barang itu adalah gading, kulit kura-kura, kulit macan tutul, dan batu ambar. Tetapi yang paling berharga adalah budak Zanggi. Orang-orang Zanggi adalah komoditas paling berharga karena menurut ibnu Syahriar, mereka ini dengan mudah menanggung perbudakan, dan (terutama) karena kekuatan fisik mereka.

Sebagai timbal-baliknya apa yang dibawa oleh kapal-kapal Nusantara ini? Ibn Hurdadbeh mencatat berbagai komoditas sangat berharga yang hanya dihasilkan oleh kepulauan-kepulauan tropis seperti lidah buaya, kamper, cendana, gading atau cula, timah, kayu hitam, kayu Brazil (sengon), segala rempah dan bumbu.

Sementara itu, catatan Ptolemeus di zaman Romawi-Mesir, dalam periode yang lebih tua, seperti dijelaskan Patricia Crone, dalam buku Meccan Trade and The Rise of Islam, telah menambahkan lebih dahulu dalam kosa-kata perdagangan rempah-rempah mereka, antara lain, Cinnamon (kayu manis), Sandalwood (gaharu), dan Tarum atau kemenyan yang berasal dari negeri jauh di timur. Kata 'tarum' sendiri adalah kata asal Nusantara yang padanannya tidak ditemukan di kamus Greko-Romawi.

Poros Sriwijaya-Nalanda

Periode abad ke-10 hingga abad 13 masehi dalam catatan Momoki Shiro, peneliti sejarah dari Universitas Osaka, Jepang adalah zaman merebaknya perdagangan lintas samudera di Asia. Momoki Shiro mengajukan tesis tentang poros Sriwijaya-Nalanda. Dalam buku Offshore Asia, Momoki bersama Anthony Reid dan beberapa peneliti lain menulis tentang strategisnya peran Sriwijaya sebagai penghubung perdagangan antara Laut Hindia dengan Laut Cina Selatan, dan Nalanda melalui Cola di India Selatan sebagai penghubung antara Pantai Timur Afrika hingga Teluk Persia.

Ciri khas periode ini adalah munculnya kerajaan-kerajaan dengan sistem Mandala.  Sistem Mandala adalah sistem kerajaan yang kekuasaannya tidak terpusat. Kekuasaan terdistribusi ke dalam wilayah-wilayah yang relatif otonom.

Wilayah-wilayah itu hanya berkewajiban untuk memberikan upeti kepada pusat kekuasaan atau mengikuti satu sistem kekerabatan politik dari perkawinan yang mempunyai keterwakilan di pusat kekuasaan. Kerajaan-kerajaan Nusantara dari Sriwijaya, Majapahit, hingga Mataram mempunyai cetak biru yang sama. Denys Lombard menyebutnya sebagai Kerajaan-kerajaan Konsentris.

Sementara itu data-data sejarah tentang kerajaan Nalanda di India tidak sebanyak kerajaan-kerajaan Nusantara. Dalam periode merebaknya perdagangan samudera di Asia, sezaman dengan kekuasaan Sriwijaya di Kepulauan Melayu, Selat Malaka, hanya terdapat nama kerajaan Cola di India Selatan.

Istilah mandala menempel pada kerajaan Cola yang membuat dia dikenal sebagai Cola Mandala. Nama inilah yang kemudian diserap dalam perbendaharaan pelaut-pelaut Portugis yang menguasai Goa dan Srilangka sebagai Coromandel. Kerajaan Cola ini pula yang dalam catatan arkeologis dikatakan pernah menyerbu salah satu wilayah kekuasaan Sriwijaya di Kadaram atau Tanah Kedah. Cambridge Shorter History of India, bahkan menyebutkan serangan kerajaan Cola ke Bihar pada abad ke-11 masehi. 

Jika sistem Mandala, diandaikan berlaku di antara dua poros Nalanda dan Sriwijaya, bisa jadi peperangan yang terjadi antara kerajaan Cola dan Kadaram hanyalah perebutan wilayah-wilayah semi otonom. Catatan I-tsing atau Yi-Jing, peziarah dari dinasti Tang di abad ke-7, bahkan mencatat jaringan peziarah yang belajar Buddha yang singgah di Sriwijaya sebelum melanjutkan ke Nalanda yang letaknya ada di kaki pegunungan India bagian barat laut.

Samudera Kosmopolitan

Periode "perdagangan bebas" di sekitar Samudera Hindia adalah tempat bertemunya bangsa-bangsa pedagang. Di pelabuhan-pelabuhan persilangan penting seperti Aden, Oman,  Basrah, Siraf, Gujarat, Coromandel, Pegu, Ayyuthya, Campa, Pasai, Malaka, hingga Palembang sangat mudah dijumpai berbagai suku bangsa.

Orang Yahudi dari Aden, bisa bertemu dengan Arab dari Oman, berlayar bersama dengan orang-orang Persia yang menyebar dari Basrah hingga Gujarat. Bertukar barang-barang dengan orang-orang Kaling di Coromandel. Membeli beras dan air dari Pegu. Masuk ke bandar besar Ayyuthya dan Campa, atau mendapatkan hasil-hasil hutan terbaik dari Pasai, Malaka, dan Palembang.

Di setiap zaman komoditas-komoditas yang diperdagangkan berkembang sedemikian rupa. Jika di masa sebelum Islam, rempah-rempah hasil hutan bisa menjadi barang yang paling mahal. Setelah kemunculan Islam rempah-rempah hasil hutan mulai bergeser menjadi rempah-rempah yang bisa bernilai pengobatan.

Sumber paling utama adalah kepulauan Nusantara bagian timur. Setelah masuknya bangsa Eropa ke bandar-bandar Asia Tenggara, kembali rempah-rempah bernilai tinggi menjadi komoditas utama. Perbedaannya pada periode ini rempah-rempah sudah menjadi hasil pertanian dan perkebunan. Lada, cabai, pala, dan cengkeh adalah sumbang saham antar berbagai kawasan. Periode berikutnya tembakau, kopi, candu, hingga tebu adalah pengantar menuju zaman kolonial. (Y-1)

Berita Populer