Edisi terbaru majalah Archipel Nomor 97 Tahun 2019 memuat beberapa hal menarik tentang sejarah Borneo. Studi yang dilakukan Annabel Teh Gallop, kurator dan peneliti British Library, terhadap salinan manuskrip yang dia dapat dari koleksi Sir Hugh Low yang mengungkap beberapa temuan yang belum pernah dikemukakan sebelumnya.
Studi itu berjudul, “Silsilah Raja-raja Brunei; The Manuscript of Pengiran Kesuma Muhammad Hasyim". Sesuai dengan judulnya manuskrip itu adalah salinan manuskrip pusaka kerajaan Brunei yang diberikan kepada Sir Hugh Low. Dia adalah pejabat Sekretaris Negara Sarawak yang merupakan Koloni Kerajaan Inggris.
Salinan manuskrip itu dibuat pada paruh akhir abad 19. Low sendiri telah mempublikasikan manuskrip itu pada 1880. Manuskrip-manuskrip sebelumnya tentang subjek sama yang dipublikasikan Amin Sweeney pada 1968.
Brunei, disebut juga Bruni atau Berunai dalam catatan Melayu, adalah salah satu kerajaan besar di pesisir utara Pulau Kalimantan. Sebutan Kalimantan adalah nama modern pulau ini. Sebelum bangsa-bangsa Eropa sampai ke Asia Tenggara, Kerajaan Bruni wilayahnya lebih luas dari yang kemudian menjadi Negara Brunei Darussalam.
Catatan Cina zaman Dinasti Song pada 977 menyebut pulau besar itu dengan nama Bo-ni atau Pu-ni.
Di zaman kerajaan Sriwijaya yang kekuasaannya membentuk mandala dari Selat Malaka hingga Kepulauan Sulu, beberapa pemukiman yang ada di Teluk Brunei disebut juga sebagai Vijayanegara. Negarakretagama, yang ditulis di masa kerajaan Majapahit pada 1365 menyebutnya sebagai Buruneng. Sedangkan sebutan bagi pulau nomor tiga terbesar di dunia itu adalah Nusa Tanjungnagara. Kata ini pulalah yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Tanjungpura yang berkembang di bagian barat pulau.
Setelah Perang Saudara
Satu peristiwa penting yang didapat dari studi manuskrip di atas adalah terbaginya Kerajaan Brunei menjadi dua kalangan setelah perang saudara. Kematian Sultan Muhammad Ali di akhir abad 17, menandai perpecahan Brunei. Kalangan pertama disebut sebagai keturunan Raja Pulau, sedangkan kalangan kedua disebut sebagai keturunan Raja Brunei. Sir Hugh Low mencatat perpecahan ini masih terasa hingga dua ratus tahun kemudian.
Sir Hugh Low (1824-1905) tinggal di Pulau Borneo selama lebih dari tiga puluh tahun. Dia pertama kali datang di Sarawak antara 1843 atau 1844. Dua tahun pertamanya dihabiskan untuk mengumpulkan spesimen-spesimen hewan dan tumbuhan. Low adalah pendukung James Brooke, yang menjadi Gubernur Koloni Inggris di Labuan. Pada 1848, Low menjabat sebagai sekretaris negara hingga 1877. Setelah itu dia pindah ke Semenanjung Melayu untuk menjadi Residen Inggris untuk Perak. Dia berada di sana hingga pensiun pada 1889. Low meninggal di Italy pada 1905.
Low adalah seorang naturalis dan penjelajah Borneo yang disegani. Namanya tercatat sebagai pendaki Gunung Kinabalu yang pertama pada 1851. Puncak tertinggi hingga lembah terdalam Kinabalu dicatat atas namanya. Low juga sangat tertarik dengan sejarah dan kebudayaan Melayu. Saat dia lama berada di Labuan, Low berhasil mengumpulkan salinan naskah-naskah kuno Kerajaan Brunei. Setelah dia pindah ke Perak pada 1880, naskah-naskah itu baru dia publikasikan.
Ada lima kumpulan naskah yang dipublikasikan oleh Low. Yang pertama adalah terjemahan Inggris atas Silsilah Raja-raja Brunei. Disusul yang kedua, Catatan atas Sejarah Sultan-sultan Brunei dan keturunannya dari Sultan Abdul Kahar hingga Sultan Abdul Jalil-ul-Jebar. Yang ketiga dan keempat adalah, Daftar Penguasa Islam (Mohamedan) Brunei beserta referensinya. Sedangkan yang kelima adalah Terjemahan dan Transkripsi Prasasti Sejarah.
Prasasti yang diterjemahkan Low adalah Batu Tarsilah yang berada di makam Sultan Jamalul Alam di Makam Damit atau makam kecil yang berada di Bukit Panggal. Karena sesuatu dan lain hal, Low tidak mengungkapkan siapa sumber utama naskah-naskah yang dia publikasikan. Walaupun demikian berdasarkan perbandingan catatan kaki dari berbagai referensi yang ada di dokumen itu muncul nama Pengiran Kasuma, yakni orang yang memberikan naskah "Silsilah" kepada Low.
Untuk waktu yang cukup lama, sumber utama berbahasa Melayu tentang Silsilah Raja-raja Brunei tidak dipublikasikan. Baru pada 1968, Amin Sweeney mempublkasikan dua manuskrip yang berada di London. Naskah yang pertama berkode MS 25032 yang dimiliki oleh School of Oriental Studies (SOAS). Naskah kedua berkode MS 123 yang dimiliki oleh the Royal Asiatic Society (RAS).
Upeti Tuak Aren
Profesor Ooi Keat Gin, sejarawan dari University Science of Malaysia, menulis di bukunya Brunei, History, Islam, Society, and Contemporary Issues (2015) tentang dua naskah awal "Silsilah ..." . Salah satu hal yang menarik dari naskah kuno ini adalah penjelasan tentang leluhur kesultanan Brunei tanpa menyertakan hal-hal mitologis.
Sebagai contoh penjelasan tentang raja pertama Brunei yang bernama Awang Alak Betatar. " ..... yang pertama menjadi raja Berunai adalah Awang Khalak Betatar. Gelarnya Sultan Muhammad. Dialah pembawa syariat Islam dari Nabi Muhammad SAW. Yang mulia mempunyai seorang anak dari permaisurinya. Permaisurinya adalah saudara perempuan Kaisar Cina yang berasal dari Kinabatangan. Saat pertama kali dia menjadi menjadi raja, dia belum bertuhan. Saat itu kerajaan adalah koloni dari Betara Majapahit dan Patih Gajah Mada. Setiap tahun kerajaan harus memberikan upeti berupa satu drum minuman yang dibuat dari pohon aren muda. Saat Majapahit runtuh, dia tidak lagi memberikan upeti, saat itulah kerajaan berdaulat dan dia menjadi penguasa."
Tidak adanya hal-hal mitologis dalam naskah-naskah silsilah kerajaan Brunei salah satunya adalah karena perkembangan Islam. Ooi Keat Gin mengaitkan konteks penulisan naskah silsilah sezaman dengan penulisan sejarah pada kurun yang sama di Aceh. Saat itu ortodoksi Nurrudin ArRaniri menghasilkan naskah Bustanus Salatin. Penulis naskah "Silsilah .." dicatat oleh Ooi Keat Gin sebagai Datuk Imam Yakub yang menulis pada 1148 H atau 1735 M. Naskah direvisi Khatib Abdul Latif pada 1221 H atau 1807 M. Naskah kemudian diteruskan Haji Abdul Ghafar bin Mu'min pada 1355 H atau 1936 M.
Ooi Kiat Gin, di buku Early Modern Southeast Asia (2015) memberikan petunjuk tentang perkawinan pendiri Kerajaan Brunei. Petunjuk itu adalah awal mula pendirian koloni orang Cina di sekitar muara sungai Kinabatangan pada tahun 1375 M. Daerah muara yang ada di ujung Timur Laut Pulau Kalimantan ini adalah pemukiman pedagang-pedagang Cina untuk mengatur disribusi komoditas berharga dari pedalaman. Salah satu yang paling berharga dari wilayah ini adalah getah kamper yang sama bernilainya dengan yang berasal dari Baros. (Y-1)