Bali Aga atau Bali Mula, demikianlah komunitas ini sering disebut. Bali Aga berarti “Orang Bali Pegunungan”, sedangkan Bali Mula berarti “Bali Asli”. Demikianlah sebutan untuk merujuk komunitas Terunyan atau lebih popular di sebut Trunyan. Sebuah desa yang berada di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.
Desa Trunyan berada di sebuah kawasan nisbi terisolir. Persisnya terletak di tepi sebuah danau bekas kepundan gunung berapi purba yang pernah meletus beberapa ribu tahun lalu. Popular dengan nama Danau Batur, di sebelah baratnya kini tumbuh anak gunung berapi setinggi 1.717 meter yaitu Gunung Batur. Lokasi desa itu sendiri berada di ketinggian 1.038 meter.
Merujuk hasil penelitian etnografi James Danandjaja (1989), dalam Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali, terungkap masyarakat Trunyan tidak suka disebut dengan nama Bali Aga. Istilah ini memiliki konotasi dan stereotipe negatif. Orang gunung yang bodoh. Oleh masyarakat Hindu Bali sebagai populasi mayoritas, istilah Bali Aga juga berarti penduduk asli Bali yang sejak mula beragama Hindu, namun tidak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa, sehingga mereka cenderung dianggap kasar dan tidak beradab.
Sedangkan bagi komunitas adat Trunyan sendiri, mereka lebih senang disebut sebagai Bali Mula. Istilah Mula bagi mereka tentu bermakna penduduk asli Pulau Bali, sedangkan orang Bali Hindu bukan. Masyarakat Bali Hindu, seturut anggapannya ialah mereka yang dulu datang dari Jawa dengan berjalan kaki. Mereka menyebutnya Bali Suku, istilah suku memiliki makna kaki. Dengan demikian istilah Bali Suku menurut mereka menjadi pengingat kesejarahan mayoritas penduduk Bali datang dari Jawa dengan berjalan kaki.
Lebih suka disebut dengan nama Bali Mula, komunitas Trunyan akan berterimakasih jikalau mereka disebut sebagai Bali Turunan. Apa pasalnya? Masih merujuk Danandjaja, orang Trunyan sangat suka disebut Bali Turunan, karena mereka mempercayai leluhur mereka “turun” dari langit ke Bumi Trunyan. Jadi nama Bali Turunan berarti orang Bali yang langsung turun dari langit ke Bali.
Ya, penduduk Trunyan memang memiliki folklore, atau lebih tepatnya mite, tentang asal usul mereka. Konon, leluhur perempuan dari komunitas Trunyan ialah seorang Dewi. Terpikat oleh harum wangi dari suatu pohon taru menyan, Dewi itu turun ke suatu tempat di bumi dan memutuskan tinggal di sana. Sejak itulah lokasi ini dinamakan Trunyan, yang berasal dari kata taru dan menyan.
Mirip kisah lahirnya Adipati Karno, buah perkawinan antara Dewi Kunti dan Dewa Surya, konon Sang Dewi inipun memiliki kisah demikian. Hamil dibuahi oleh Sang Surya, Dewi itu melahirkan sepasang anak kembar. Yang satu ialah anak perempuan, satunya lagi ialah transgender. Setelah melahirkan, Sang Dewi itu kembali ke khayangan. Sedangkan anak perempuannya dikisahkan kemudian menikah dengan seorang pangeran, anak raja di Jawa. Pemuda yang berasal dari Dalem Solo ini datang ke Trunyan juga karena tertarik oleh bau wangi dari pohon taru menyan.
Hasil pernikahan keduanya melahirkan anak keturunan hingga akhirnya berkembang menjadi satu kerajaan kecil dengan Ratu Sakti Pancering Jagat sebagai rajanya. Sedangkan Dewi itu kemudian menjadi permaisuri dengan gelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar. Dua sosok inilah kemudian menjadi nenek moyang penduduk Trunyan seperti yang dikenal sekarang. Demikianlah mite atau legenda, yang diyakini makna kebenarannya secara historis oleh penduduk Trunyan hingga kini.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1562827343_Batu_Pura_Pancering_Jagat.jpg" />Batu Pura Pancering Jagat. Foto: Dok. Kemendikbud
Dewa-Dewi Hindu-Trunyan
Menarik dicatat di sini, jikalau fenomena keagamaan Hindu di Bali, oleh banyak antropolog disebut sebagai fenomena alkulturasi lokal sehingga menciptakan model Hindu-Bali atau kadang juga disebut Shiva-Budha, di Trunyan juga muncul fenomena yang sama. Fenomena Hindu di Trunyan pun memunculkan fenomena lokalisasi keagamaan tersendiri. Tak kalah uniknya.
Sebutlah itu Hindu-Trunyan, bukan saja terlihat berbeda secara konsepsi teologis, namun juga berbeda dalam bentuk-bentuk ritualnya dengan Hindu-Bali. Walaupun demikian, seturut Danandjaja ini bukan berarti bahwa kebudayaan Trunyan yang dikenal sekarang ialah benar-benar imun dari pengaruh Hindu-Jawa Majapahit, apalagi Hindu-Bali, tentu saja.
Danandjaja dalam desertasinya setebal lebih dari 700-an halaman itu mencatat, sejak 833 Saka atau 912 Masehi, sebenarnya Desa Trunyan telah berada di bawah pengaruh kebudayaan Hindu-Jawa Majapahit. Kerajaan Gelgel tercatat pernah mengirimkan representasi kuasanya di Trunyan. Jejak itu kini masih terlihat dari adanya kasta Banjar Jero sebagai kaum aristokrat di sana, sedangkan Gelgel sendiri ialah vasal Majapahit. Merujuk R Goris, Danandjaja menyebutkan bahwa dulu di prasasti-prasasti yang tertemu di sana tertera nama sebuah desa yang bernama Turunan.
Namun demikian, lanjut Danandjaja, pengaruh dari kedua daerah itu yaitu Jawa dan Bali di bidang keagamaan tampaknya masih berupa sentuhan di permukaan atau kulitnya saja. Lebih jauh, Danandjaja menempatkan Hindu-Trunyan sebagai varian dari Hindu-Bali. Lantas, pertanyaannya ialah apakah yang membedakan antara praktik keagamaan Hindu-Trunyan dan Hindu-Bali?
Benar, bahwa liturgi Hindu-Bali sudah menjadi liturgi Hindu-Trunyan. Tak kecuali, arsitektur kuil atau pura di Trunyan pun sudah mengadopsi seni arsitektur Hindu-Bali, yang berciri adanya pelinggih-pelinggih dan meru sebagai atribut utamanya. Tapi unik dan menariknya, semua itu digunakan bukan untuk memuja Siwa, Wisnu, dan Brahma, melainkan untuk memuja Dewa-Dewi asli Trunyan, yang asal mulanya ialah leluhur masyarakat Trunyan.
Masih merujuk penelian etnografi yang sangat kaya data dan informasi dari Danandjaja, disebutkan bahwa pura utama di Trunyan bernama "Bali Desa Pancering Jagat Bali". Di sana, bersemayam Raja Dewa yaitu Ratu Sakti Pancering Jagat. Pun di sana bersemayam sang permasuri, atau Sang Dewi yang turun dari langit (Khayangan) itu, yaitu Ratu Pingit Dalam Dasar.
Di pura utama itu juga bersemayam dewa-dewi lainnya, yang termasuk dalam kategori hubungan kekerabatan dengan dewa utama bagi orang Trunyan. Dewa-dewi itu antara lain, seperti Ratu Gede Dalam Dasar yaitu anak tertua dari perkawinan antara Sang Dewi dan Pangeran dari Jawa; juga ada Ratu Ayu Mekulem yang ialah istri lainnya dari Raja Dewa; dan lain sebagainya.
Menarik dicatat di sini, di Desa Trunyan saat ini masih terdapat sebuah patung batu raksasa, peninggalan zaman Megalitikum. Menurut keyakinan dan sumber mite setempat, patung batu raksasa ini bukanlah karya manusia, melainkan piturun, yang artinya diturunkan dari langit oleh Dewa. Patung setinggi 4 meter ini kini disemayamkan di dalam bangunan suci berbentuk pagoda beratap ijuk tujuh tingkat yang disebut Meru Tumpang Pitu.
Sudah tentu patung raksasa ini sarat dengan mitos. Dari cerita tutur dikerahui, ketika ditemukan pertama oleh salah satu warga yang tengah berburu rusa di huran, konon patung ini tingginya hanya 9 cm. Namun patung itu sangat berat, seolah tertancap sangat kuat di tanah. Akhirnya si pemburu meninggalkan patung itu, setelah terlebih dahulu menutupinya dengan sebuah saab, yaitu semacam tudung saji yang digunakan untuk menutup sajian upacara.
Keesokan harinya si pemburu dan masyarak berduyun-duyun menengok temuan patung itu. Magisnya, ternyata patung itu tumbuh menjadi besar. Demikianlah, setiap hari patung itu tumbuh terus dan terus hingga barulah berhenti ketika mencapai ukurannya yang seperti sekarang.
Di sekitar tempat penemuan patung itulah kemudian dibangun kompleks bangunan-bangunan suci, yang kini tersohor sebagai Pura Desa Pancering Jagat Bali. Patung batu raksasa inilah yang jadi pelinggih bagi dewa tertinggi komunitas Hindu-Trunyan, yaitu Ratu Sakti Pancering Jagat.
Berbeda dari masyarakat Hindu-Bali pada umumnya, yang menempatkan 'Pedanda' sebagai pemimpin agama, maka dalam Hindu-Trunyan posisi Pedanda tidaklah diakui. Dalam masyarakat Hindu-Truyan gelar pemimpin agama tertinggi ialah seorang 'Pemangku'. (W-1)