Mbah Moen "seda" di Mekah. Bagi penutur bahasa Jawa menyebutkan kata 'wafat' atau 'meninggal' bagi seorang yang sangat dihormati barangkali masih terasa kurang sopan. Mbah Moen memiliki kharisma itu.
Entah kebetulan entah tidak, sejak sepuluh tahun terakhir, gambaran kyai sepuh dengan raut wajah tirus penuh "welas asih" selalu hadir dalam jangkauan. Berbagai berita tentang kiprahnya selalu mampu menampilkan wajah bijak dengan alis tebal yang melengkung rendah. Senyum selalu hadir indah dan menyejukkan. Sosoknya seperti memenuhi imaji semua orang tentang seorang kakek yang akan selalu mencintai cucu-cucunya, apapun yang terjadi.
Kyai Haji Maimun Zubair, yang biasa dipanggil dengan panggilan kesayangan Mbah Moen, lahir 90 tahun yang lalu yang diperkirakan berdekatan dengan tanggal bersejarah, 28 Oktober 1928. Dalam beberapa dokumen pendidikannya tanggal itu yang selalu dia gunakan. Mengenai tepat hari kelahirannya, Mbah Moen biasanya lebih memilih tersenyum dan mengatakan kalau tanggal itu hanya sebagai ancer-ancer saja.
Kharisma Kyai Tradisi
Jika sempat menonton situs video berbagi Youtube carilah ceramah-ceramah Mbah Moen yang lumayan banyak. Di antara puluhan ustad-ustad populer yang berebut perhatian umat, Mbah Moen hadir dengan wejangan yang otentik. Gaya bicara yang mengalir tenang, sedikit demi sedikit dia sertakan ilmu agama atau fikih yang kuat. Saat ruang bicara semakin terbuka dia tambahkan dengan sejarah ulama terdahulu yang selalu bersandar pada tradisi keilmuan yang berkembang sesuai zaman.
Ulil Abshar Abd'ala, salah satu dari sedikit pemikir Islam yang serius, telah menulis betapa aura dan kharisma sepuh Mbah Moen memang begitu "cemlorot". Auranya memancar alami dengan bahasa tubuh yang menumbuhkan empati. Tetapi yang belum ada tandingannya dari Mbah Moen adalah kemampuan komunikasinya yang "par excellence".
Sebagai teman duduk, dia mampu menembus segala lapisan masyarakat. Dari Kyai "khos", politisi, jenderal TNI, wartawan, ibu-ibu pengajian, sampai murid-murid tsanawiyah. Sebagai penceramah dia adalah sumber ilmu yang berlimpah. Kisah-kisah dan cara bertuturnya mampu menjadi jembatan dari hal yang enteng sampai yang berat. Dari pertengkaran suami istri sampai sejarah sistem khilafah.
Kecerdikan Sang Kyai
Pada suatu ketika, Mbah Moen muda sedang berada di Arafah, 20 kilometer sebelah timur Mekah. Saat itu bertepatan dengan ibadah Wukuf atau berkumpul di padang terbuka. Malang tak dapat ditolak, entah karena sakit atau apa salah seorang anggota rombongan yang dekat dengan Mbah Moen meninggal dunia. Sesuai dengan tradisi di tanah suci prosesi pemakaman harus disegerakan. Karena dianggap sebagai orang terdekat Mbah Moen harus memimpin salat jenazah. Masalahnya, waktu itu Mbah Moen lupa salah satu rukun salat jenazah, yakni berapa bacaan takbir.
Di depan anggota rombongan yang beberapa di antara adalah orang setempat, tentu akan jatuh harga diri Mbah Moen kalau mengaku lupa. Tak kurang akal Mbah Moen melihat ke sekitar. Ternyata dia melihat seorang kuli penggali kubur sedang menyiapkan galiannya. Mbah Moen menghampiri dan bertanya (dalam bahasa Arab),
"Hai, kau orang Islam atau bukan?" hardik Mbah Moen.
Tentu saja orang itu marah-marah
"Hei jangan sembarangan, nuduh-nuduh orang bukan Islam, kamu yang kafir!" jawab dia marah.
"Jangan marah dulu kawan, aku cuma ingin menguji kalau kau benar-benar orang Islam?" kata Mbah Moen
"Terserah, apa maumu?" Jawab dia, masih kesal
"Begini ya, kalau kau bener-bener Islam tentu kamu tahu berapa takbir salat jenazah?" tanya Mbah Moen
" Empatlah," jawab dia sambil bersungut
Begitu mendengar itu Mbah Moen pun pamit dan segera kembali untuk menyalatkan jenazah.
Kisah itu disampaikan Mbah Moen dalam sebuah ceramah pada tahun 2008 bertempat di Pondok Pesantren Sendang Senori, Tuban Jawa Timur.
Dia Telah Memilih Mekah
Kecintaan Mbah Moen pada Mekah telah tumbuh sejak usia muda. Menurut beberapa sumber pertama kali Mbah Moen berangkat ke Mekah saat dia berumur 21 tahun, atau sekitar tahun 1950. Meneruskan tradisi "Santri Lelono" atau santri pengembara yang belajar dari satu tempat ke tempat lain, Mbah Moen melanjutkan tradisi ulama Nusantara yang mencari ilmu sampai ke Haramain. Di sanalah dia bertemu dengan Sayyid ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, sampai Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani. Pada masa itu merekalah yang bertindak sebagai Imam Masjidil Haram, Qadi atau penasihat Masjidil Haram, pengajar di berbagai Halqah yang masih ada di Masjidil Haram dan pengajar Madrasah yang ada di sekitar Mekah.
Konon para pengajar Mbah Moen inilah yang menjadi sosok-sosok terkasih yang dicintai Mbah Moen. Sampai-sampai hampir tiap musim haji tiap kali ada kesempatan Mbah Moen selalu berkenan pergi haji walaupun dalam kondisi yang sangat darurat. Pernah menurut riwayat dari Yahya Cholil Staquf, anggota Wantimpres saat ini, yang dia tulis di situs alif.id, Mbah Moen harus berangkat dengan visa turis bahkan dengan visa TKI. Untuk yang terakhir bahkan ada riwayatnya tersendiri.
Konon Mbah Moen, di depan petugas Imigrasi tertahan lama. Petugas imigrasi tidak percaya ada seorang setua itu datang sebaga tenaga kerja. Saat itu dia menjelang umur 90 tahun.
Dia ditanya macam-macam dalam bahasa Arab. Tetapi tentu saja Mbah Moen memilih pura-pura tak mengerti karena kalau dia menjawab dengan bahasa yang fasih malah akan menambah kecurigaan. Alhasil dia tertahan hingga berjam-jam.
Sampai kemudian salah seorang penjemputnya, salah seorang santri dari Sayyid Muhammad bin Alawy al Maliki atau anak dari Sayyid Alawi terdahulu harus menerobos imigrasi untuk menjemputnya.
Karena aksi itu giliran sang penjemput ditanya petugas.
"Apa benar dia ini tenaga kerja?"
"Iya"
"Masa?"
"Berani Sumpah Demi Allah!"
"Setua ini?"
"Memang nggak boleh?"
"Kerja di mana?"
"Di rumah makan,"
"Orang setua begini mau kerja apa?"
"Icip-iciplah!"
Mendengar ini loloslah Mbah Moen untuk kesekian kalinya berhaji dengan visa darurat, kali ini dengan visa TKI untuk kerja di rumah makan bagian mencicipi masakan. (Y-1)