Bermula dari kerja sama peneliti sejarah dan arkeologi Indonesia-Prancis di pertengahan 1999, Claude Guilot dan Ludvik Kalus, bekerja layaknya pemburu makam. Mereka adalah peneliti sejarah Asia Tenggara dari generasi sesudah Denys Lombard. Mereka meneliti catatan-catatan yang tertinggal di makam-makam yang tersebar di tiga wilayah penting Nusantara berkaitan dengan sejarah awal perkembangan Islam di kawasan ini.
Wilayah pertama yang diteliti adalah bagian utara Sumatra, yang meliputi Pasai, Barus, Lamuri, Pidie, Aceh, dan Aru. Wilayah kedua meliputi Semenanjung Melayu, mulai dari Patani, menuju Malaka-Johor dan menyeberang ke Brunei. Dan wilayah ketiga adalah pantai utara Pulau Jawa mulai dari Banten hingga Pasuruan.
Studi sejarah dengan meneliti catatan-catatan makam di Indonesia awalnya digagas oleh Snouck Hurgronje. Dia adalah orientalis pada masanya yang memelopori penelitian makam-makam yang tersebar di seluruh nusantara sebagai dasar untuk menyusun historiografi Hindia Belanda.
Gagasan itu kemudian dijalankan pemerintah kolonial. Pada 1906 hingga 1908, HL Leydie Melvilla membuat dokumentasi fotografi beberapa makam yang ada di Pasai. Pertengahan 20-an JJ de Vink mengumpulkan sekitar 1.500 foto yang keberadaannya tersebar di Jakarta dan Leiden.
Peneliti selanjutnya yang meneruskan pekerjaan ini adalah Hoesein Djajadiningrat. Setelah itu muncul nama Jean Pierre Moquette yang fokus pada sejarah Pasai. Setelah perang dunia kedua upaya itu dilanjutkan Louis Charles Damais, Goerge Coedes, dan murid mereka Denys Lombard.
Detektif Kuburan
Bulan Oktober 1999, Guillot dan Kalus bersama tim melakukan penelitian di situs Barus, Sumatra Utara. Hasilnya mereka mendapatkan petunjuk untuk membaca catatan-catatan (inskripsi) yang didapat dari sekitar empat puluh nisan yang berhasil didata.
Nisan-nisan itu ditulis dalam bahasa Arab, kecuali satu yang ditulis dalam bahasa Persia. Mereka menemukan satu petunjuk menarik. Dari satu nisan terdapat kata "Fansuri" yang bukan merupakan nisbah. Nisbah adalah nama tempat yang biasa diletakkan di belakang nama seseorang.
Ketertarikan mereka pada petunjuk itu berasal dari misteri yang menyelimuti seorang tokoh Nusantara di zaman awal kemunculan Islam, yakni Hamzah Fansuri. Peneliti sastra dan bahasa SOAS asal Moscow Vladimir I Brazinsky dalam satu tulisan di Jurnal Archipel No. 57 (1999) pernah menulis bahwa segala sesuatu tentang Hamzah (selama ini) hanya berupa hipotesis yang beralasan kuat atau lemah. Jika tidak ada sumber baru yang muncul, maka tidak akan ada penjelasan yang lebih kuat di masa depan.
Petunjuk itu berasal dari satu kalimat dalam inskripsi yang berbahasa Arab. Bunyinya "min balad Fansuri" artinya dari negeri Fansuri atau Pancur nama lain dari Barus. Sepulang ke Paris, layaknya detektif mereka kemudian menelusuri kata "Fansuri" di dalam database inskripsi yang berasal dari berbagai wilayah dunia Islam.
Mereka menggunakan pangkalan data yang bernama Thesaurus d'Ephigraphie Islamique, kumpulan petunjuk pernaskahan Islam. Dalam pangkalan itu terdapat sekitar 18.000 catatan berbahasa Arab, Persia, dan Turki bertanggal sebelum tahun 1000 Hijriah. Ternyata mereka menemukan hanya satu catatan yang memperlihatkan kata Fansuri. Ternyata kata itu adalah sebuah nisbah. Lebih menarik lagi karena yang dinisbahkan oleh orang itu adalah Hamzah dari Pancur alias Hamzah Al Fansuri.
Tertulis dalam inskripsi yang disalin dari sebuah makam itu adalah orang bernama Syaikh Hamzah bin Abdullah Al Fansuri. Inskripsi itu disalin dari sebuah nisan yang berada di pekuburan Bab Ma'lah atau Jannatul Mu'allah yang tersohor itu. Tertulis di sana dia meninggal pada tanggal 9 Rajab 933 Hijriyah atau 11 April 1527 Masehi.
Catatan Yang Selamat
Jika salinan catatan dari nisan Hamzah Al Fansuri bisa dipastikan kebenarannya, maka bangsa Indonesia harus berterima kasih pada seseorang yang bernama Hassan Mohammed El Hawary. Dia adalah seorang peneliti dari Museum Seni Arab di Kairo. Pada tahun 1934 Hassan yang bekerja di bawah arahan Gaston Wiet, Direktur Museum, melakukan survei epigrafi di Mekah dan Madinah. Seharusnya dia membuat abklats atau jiplakan. Tetapi karena pemakaman di dua tanah suci itu selalu ramai dengan peziarah terpaksa dia menyalin inskripsi dengan tulisan tangan dan mengambil fotonya. Dengan cara itu dia berhasil mengumpulkan sekitar dua ratus lima puluh inskripsi, sebagian besar di antaranya adalah inskripsi dari nisan kuburan alias epitaf. Sayangnya, Hassan tidak sempat menerbitkan hasil surveinya karena meninggal berapa bulan setelah sampai ke Kairo.
Gaston Wiet sendirilah yang kemudian menyusun data-data yang dibawa oleh para penelitinya. Dia menyusun D'inscriptions de la Mecque atau kumpulan inskripsi Mekah. Tetapi malang sebelum semua naskah selesai disusun, Gaston meninggal pada 1971. Sebelum meninggal, Gaston mewariskan dokumen-dokumen epigrafi miliknya kepada Nikita Elisseeff. Dialah yang mengedit publikasi jilid pertama penelitian yang ambisius itu. Sayangnya Elisseeff pun meninggal pada 1997. Sebelum itu dia sempat mewariskan dokumen yang dia punya kepada Ludvik Kalus.
Dokumen inskripsi yang ada di tangan Ludvik Kalus memiliki beberapa persoalan mendasar. Salinan catatan dari batu nisan Mekah itu disusun dalam bentuk uraian yang seringkali disertai dengan berbagai uraian tambahan oleh Gaston Wiet. Sementara itu, catatan-catatan asli yang dibuat oleh Hawary tertinggal di Kairo. Semakin menambah persoalan karena uraian Gaston tidak disertai foto yang dibuat Hawary sehingga teks salinan itu tidak bisa dipastikan ketepatannya.
Claude Guillot berusaha mengatasi persoalan itu dengan mengajukan permohonan kepada Kedutaan Arab Saudi di Paris untuk mendapatkan salinan foto dari batu-batu nisan yang diteliti. Sayangnya permohonan tersebut membentur tembok dan sampai sekarang tidak ada kelanjutannya. (Y-1)