Indonesia.go.id - Etika Kepemimpinan Jawa

Etika Kepemimpinan Jawa

  • Administrator
  • Selasa, 20 Agustus 2019 | 22:50 WIB
BUDAYA
  Pandawa Lima. Foto: Istimewa

Demikianlah, menjadi seorang raja dalam konstruksi etika kepemimpinan dalam budaya Jawa dituntut memiliki delapan laku, atau delapan sifat, atau delapan watak, yang bersifat keillahian dengan merujuk kepada keberadaan delapan dewa, yakni Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, dan Brahma (Agni).

Kekuasaan dan kepemimpinan tentu bisa ditinjau dari aneka sudut pandang. Sebutlah Koentjaraningrat, misalnya, pernah berpendapat bahwa unsur budaya merupakan variabel penting dan utama untuk memahami perkembangan politik suatu bangsa. Pasalnya budaya politik suatu bangsa atau masyarakat tak bisa dipisahkan atau setidaknya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat atau bangsa tersebut.

Artinya, bukan saja budaya seringkali membentuk perilaku (behavioural) politik masyarakatnya, melainkan turut menentukan warna corak warna kepemimpinan yang ada. Kepemimpinan butuh pemahaman budaya masyarakat yang dipimpinnya ketika berhadapan dengan perkembangan politik. Namun khasanah budaya juga sering memberi inspirasi dalam proses kepemipinan.

Bicara kepemimpinan Jawa, selalu menarik. Pasalnya di sana bakal ditemui banyak selubung mitos dan sistem simbolik. Seperti telah diulas dalam tulisan sebelumnya, Tafsir Jawa atas Kuasa dan Kekuasaan, kuasa raja selain didasarkan pada konsepsi wahyu sebagai penompang legitimasi kepemimpinannya, juga meyakini adanya hubungan mistis antara raja dan daya-daya kosmis, seperti para leluhur dan juga pusaka-pusaka.

Demikianlah, pandangan kosmologis Jawa. Ada keyakinan kuat perihal kesejajaran antara makrokosmos (jagat gede) dan mikrokosmos (jagat cilik). Dalam perspektif itu, raja bukan hanya berada di puncak tangga hirarki sosial. Raja juga berada di puncak kepemimpinan supranatural. Keyakinan ini tercermin dalam konsepsi Dewa-Raja atau sering disebut dalam bahasa Jawa, Ratu-Binanthara, sebuah konsepsi yang dipengaruhi oleh tradisi Hindu dan berkembang di Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Merujuk Soeratman, yang mengutip karya G Mudjanto, dalam The Concept of Power in Javanese Culture, konsep ratu-binanthara barulah akan bermakna lengkap jika ditambah kata "gung binanthara bau dhendha nyakrawati, ber budi bawa le(k)sana ambek adil para marta”.

Dua makna pertama berarti raja besar seperti dewa (gung binanthara), yang memiliki kekuatan (bau dhendha), sebagai penguasa dunia (nyakrawati). Sedangkan dua makna lainnya ialah perihal bagaimana seorang raja harus melaksanakan kekuasaannya. Raja harus ber budi, yang artinya budi baiknya seolah-olah mengalir karena penuhnya (luber), bawa le(k)sana berarti sanggup memegang teguh kata-katanya, dan ambek adil paramarta berarti mampu bersikap adil serta murah hati.

Raja dalam konsepsi "gung binanthara bau dhendha nyakrawati, ber budi bawa le(k)sana ambek adil para marta” dipersepsikan sebagai perwujudan individu yang mampu menghimpun dan mengorganisir daya-daya kosmis, sebagai kekuatan supranatural atau kasekten. Dengan begitu raja dipersepsikan mengemban fungsi sebagai penghubung antara dunia kedewaan dan manusia, atau bahkan dikultuskan sebagai titisan dewa itu sendiri.

Sebutlah Kertanegara, misalnya, Kitab Pararaton mencatat raja Kerajaan Singosari ini dicandikan sebagai manifestasi Syiwa. Atau contoh lainnya, Rajasanagara, Kitab Negarakertagama mencatat raja terbesar dari Kerajaan Majapahit ini sebagai perwujudan Batara Girinata. Sementara, dari era yang lebih muda yaitu Kerajaan Mataram-Islam, Kitab Babad Tanah Jawa mendalilkan raja-raja Mataram memiliki garis genealogi dari nabi-nabi Islam maupun dewa dan tokoh pewayangan dari India.

Genealogi Astabrata

Kesanggupan raja mengharmoniskan keseluruhan tatanan sosial dan sekaligus daya-daya kosmis alam semesta, ialah kata kunci dari keberhasilan kepemimpinannya untuk menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Untuk itu pribadi seorang raja dituntut berperan sebagai penjaga keselarasan untuk mencapai tatatentreming praja. Ini bukan hanya menuntut kesanggupan raja menjaga keselarasan antara manusia (mikrokosmos) dan alam (makrokosmos), melainkan juga keselarasan antara elemen sosiopolitik kawula atau masyarakat (mikrokosmos) dan Gusti/Raja (makrokosmos).

Dalam kontruksi kepemimpinan ala Jawa inilah, bicara etik kepemimpian raja Jawa, tidak bisa tidak, di sini patut dikemukakan adanya konsepsi Astabrata. Diskursus ini bisa dikata merupakan bagian dari sistem pengetahuan, ide, gagasan, dan sumber nilai-nilai (virtue) mengenai model ideal seorang pemimpin dan kepemimpinan dalam budaya masyarakat Jawa.

Sudah tentu bukan hanya Astabrata. Sebutlah Serat Wulang Reh, Serat Nitisastra, atau Serat Witaradya, misalnya, juga merupakan sumber acuan etis perihal bagaimana seorang pemimpin harus memimpin.

Namun demikian Astabrata, bagaimanapun merupakan sumber rujukan paling klasik dan sekaligus paling utama. Astabrata diyakini sebagai ajaran etis kepemimpinan sejak dulu dan bahkan hingga kini. Bukan saja sangat populer dalam kehidupan masyarakat Jawa, lebih dari itu tampaknya tak sedikit orang yang masih menempatkan ajaran ini sebagai sumber rujukan menilai karakteristik keberhasilan seorang pemimpin. Astabrata dikenali masyarakat melalui tradisi tulis dan lisan.

Merujuk Nur Fatah Abidin dkk. (2016) dalam artikel Dari Keselarasan Menuju Kekuasaan: Jelajah Genealogi Astabrata dalam Masyarakat Jawa mencatat, terminologi Astabrata tidak pernah ditemukan dalam narasi kontemporer India ataupun Asia Tenggara. Namun demikian secara substansial Astabrata memiliki keserupaan denga nisi teks Saptadewawrtti dalam narasi fable India, Tantri Kamandaka.

Bicara pesan moral dalam Astabrata maupun Saptadewawrtti berisi nasihat agar raja mengikuti dan menyamakan tugas dan perilaku kepemimpinannya sesuai dengan sifat-sifat dewa-dewa Lokapala. Menariknya, masih merujuk artikel di atas, jika Astabrata merujuk pada sifat delapan dewa, maka pada Saptadewawrtti hanya merujuk tujuh dewa, minus Dewa Agni.

Merujuk Pardi Suratno (2006) dalam karyanya Sang Pemimpin Menurut Astabrata, Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma Raja, istilah ‘astabrata’ berasal dari bahasa Jawa Kuno. Asta berasal dari bahasa Sanskerta, astha berarti “delapan”. Kata asta juga berarti membawa atau memegang. Dari kata asta bisa dibentuk menjadi ngasta artinya memegang.

Sedangkan, brata merupakan kosa kata baru dari bahasa Jawa kuno, yang berarti “laku”. Kata “laku” bisa juga disejajarkan dengan sikap, tindakan, atau sejenisnya. Kata laku dapat juga disejajarkan dengan kata watak atau sifat.

Demikianlah, Astabrata bisa dimaknai sebagai “delapan laku” atau “delapan watak” atau “delapan sifat”. Astabrata, bisa juga berarti tindakan atau laku memegang; di mana yang dipegang ialah negara. Jadi, Astabrata bisa diartikan sebagai delapan syarat dalam memegang negara atau pemerintahan

Merujuk Abidin dkk., yang merujuk HH Juynboll dalam “Vertaling van Sagra XXIV, XXV, en XXVI (slot) van het Oud-Javaansche Ramayana (1936), Astabrata bersumber dari Kakawin Ramayana. Teks tertua ditemukan berasal dari abad 8 – 9. Sedangkan merujuk Suratno, pada periode lebih muda teks ini direproduksi kembali ke dalam naskah-naskah lain, seperti Serat Rama, Pakem Makutharama, atau Kitab Babad Sangkala, dan lainnya. Sementara, dalam tradisi lisan, Astabrata dikenali melalui naskah pakem wayang dan pementasan wayang kulit.

Berangkat dari nasihat Sri Ramawijaya sebagai titisan Dewa Wisnu kepada Arya Wibisana, yang tengah dirundung duka karena kematian saudara-saudara kandungnya pascapeperangan, Kakawin Ramayana mencatat:

“Hyang Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, Agni nahan wolu, Sirata ma angga sang Bhupati, Matang nira ninisthi Astabrata”

(Hyang Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, dan Brahma (Agni), yaitu namanya dewa delapan. Dewa delapan itu jikalau menyatu dalam pribadi seorang raja, maka dewa itu disebut Astabrata).

Masih merujuk Suratno, Serat Nitisuri, sebuah naskah sastra yang berasal dari zaman Jawa Pertengahan, mencatat perihal Astabra sebagai berikut:

“Salwir bawane kang sinung wadi  // Ing naya mong jagad jaga-jaga // Arjuning rat saestine // Astagina ginelung // kang ginulang-gulang ing pangling // reh Sang Ramawijaya // wijiling pamuwus // warah ring Sang Wibisana // sananing Astaguna guniteng sari // sarehning Astabrata"

 

(Semua yang telah diberi pelajaran // Diberi tahu pengetahuan rahasia menjaga dunia // Agar mulia dan sejahtera // Yang selalu diinginkan hati adalah delapan hal //  Maka selalu dipelajari dan dibicarakan setiap hari // Apakah yang disebut delapan hal itu? // Yaitu nasihat pelajaran Sri Ramawijaya // Kepada Arya Wibisana // Tentang tata cara menjalankan negara // Yaitulah yang disebut ajaran Astabrata)

Demikianlah, menjadi seorang raja dalam konstruksi etika kepemimpinan dalam budaya Jawa dituntut memiliki delapan laku, atau delapan sifat, atau delapan watak. Delapan karekter kebijaksanaan yang bersifat keillahian ini merujuk kepada keberadaan delapan Dewa: Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, dan Brahma (Agni). (W-1)

Berita Populer