Indonesia.go.id - Sejarah Perjalanan, Bekal Bangsa Hadapi Tantangan Zaman

Sejarah Perjalanan, Bekal Bangsa Hadapi Tantangan Zaman

  • Administrator
  • Senin, 26 Agustus 2019 | 02:59 WIB
REFLEKSI KEMERDEKAAN
  Presiden Joko Widodo berpelukan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Stasiun MRT Senayan, Jakarta, Sabtu (13/7/2019). Foto: Istimewa

Keberhasilan Indonesia mengelola konflik dan sekaligus konsensus ialah bekal utama ke depan. Melalui penguasaan atas dua aspek sosiopolitik ini, Indonesia dipastikan bakal selalu dapat memecahkan seluruh persoalan internal bangsanya dalam konteks dinamika dan situasi tantangan zamannya.

Indonesia ialah bangsa yang liat. Sungguh-sungguh bangsa liat. Bagaimana tidak, mengingat rupa keanekaragaman Indonesia, laksana keajaiban saat menyadari eksistensi Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state) dan produk zaman modern hingga kini masih kukuh berdiri.

Bagaimana tidak ajaib? Bayangkanlah, bentangan alam rangkaian pulau-pulau sebanyak 17 ribu yang menganyam zamrud katulistiwa, dengan ribuan gunung-gemunung dan pesisir-pesisir pantai lautnya, sudah tentu mencipta keragaman ekologi-kulturalnya tersendiri. Ditambah komposisi multietnis, multibudaya, multibahasa, dan multiagama penduduknya, jelas menciptakan kompleksitas yang jauh dari kata sederhana. Belum lagi, di antara etnis-etnis itu memiliki derajat evolusi sosial yang berbeda-beda, sehingga nisbi juga menciptakan langgam gerak sosiokultural yang berbeda satu dengan lainnya.

Namun ternyata 74 tahun sudah Indonesia menapakkan kaki sejarahnya di dalam pintu gerbang kemerdekaan tanpa sekalipun putus ikatan kebangsaan. Tanpa sekalipun Indonesia pernah didera oleh rasa berputus pengharapan dan kehilangan kepercayaan kepada Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Usia 74 tahun Indonesia bukanlah lagi usia kanak-kanak perjalanan bangsa. 74 tahun Indonesia juga belumlah usia tua bagi pembentukan identitas kebangsaan. Namun 74 tahun Indonesia sudahlah cukup memberi hikmah untuk mematangkan karakter kebangsaan sebagai Indonesia dan keindonesiaan. Kini, dan juga nanti.

Menjejak Masa Lalu

Tengoklah kembali ke masa silam. Indonesia pernah menata organisasi tubuh dirinya dalam elan kebangsaan, mengikuti irama politik sebagai panglima. Dari radio dan televisi, ide revolusi belum selesai berkumandang di antero negeri. Orasi Presiden Sorkarno tentang "Indonesia Berdikari" saat itu telah memberikan unsur keseragaman gerak kebangsaan yang dinamis menuju sebuah utopian dan mimpi-mimpi besar Indonesia sebagai bangsa.

Seruan solidaritas kebangsaan dan antarbangsa-bangsa sebagai sesama negeri pascakolonialisme, bergaung jauh melampaui negeri. Dari Bandung, melalui Konferensi Asia-Afrika 1955 suaranya terdengar hingga di negeri-negeri atas angin di seberang lautan, dari semenanjung tanah India, Amerika Latin, dan bahkan hingga benua Afrika. Sedangkan di negeri sendiri suaranya melindas rasa kecil dan kerdil serta kegalauan minder complex sebagai bekas bangsa inlander.

Impresi kebangsaan yang berjejak kuat di tanah air hingga kini ialah, menjadi bangsa Indonesia ialah selalu merupakan hasil proses dialektika sejarah keluar dari cangkang sempit politik identitas, baik atas nama etnis, budaya maupun agama. Tak kecuali menjadi bangsa Indonesia juga berarti harus sanggup menjangkah keluar dari politik sektarianisme apapun, termasuk sektarianisme kelas, sebagai syarat utamanya (sine qua non).

Jauh sebelum memasuki era politik sebagai panglima, pada 1955 Presiden Soekarno pernah berkata: "Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!"

Menyimak pidato ini, tampak jelas bahwa identitas kebangsaan Indonesia selalu merupakan proses menjadi (to be) dan bukan terberi (given) secara taken for granted. Fakta bahwa identitas kebangsaan Indonesia merupakan proses menjadi sudah terlihat pada momen Sumpah Pemuda 1928. Dalam momen ini tampak jelas bagaimana kesadaran kaum pergerakan, yang awalnya berangkat dari kesadaran etnisitas maupun agama secara partikularisme—seperti Jong Java, Jong Soematranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond dan lainnya—kemudian bertransformasi menjadi kesadaran bangsa Indonesia sebagai entitas universalisme.

Pun sekiranya ekspresi bahasa bisa jadi tolok ukur nasionalisme, maka bisa disimpulkan bahwa karakteristik nasionalisme bangsa Indonesia nisbi bercorak kosmopolitan dan bukan chauvinistik. Bagaimana tidak, Bahasa Indonesia yang berasal dari perkembangan bahasa Melayu lingua franca, dan pada 28 Oktober 1928 dideklarasikan oleh putra-putri Indonesia sebagai bahasa persatuan, sejak awal kelahiran dan pertumbuhannya telah banyak menyerap unsur-unsur asing untuk memperkaya khazanah kebahasaannya.

Artinya, sekiranya ekspresi bahasa dapat menjadi wahana melukiskan kecenderungan kultural bangsa, sebenarnya juga segera bisa disimpulkan bahwa karakteristik bangsa Indonesia ialah bangsa terbuka dan bukan bangsa tertutup. Kecenderungan xenophobia atau sikap antiasing secara berlebih-lebihan, sebenarnya asing bagi Indonesia atau bukanlah karakteristik bangsa ini.

Merujuk Alif Danya Munsyi, atau sohor dengan nama lain Remy Sylado (2003), dikatakan sembilan dari 10 kata dalam Bahasa Indonesia adalah berasal dari bahasa asing. Asing dalam batasan Sylado, berarti bukan saja bahasa-bahasa Eropa, yaitu Belanda, Portugis, Inggris, Perancis, Spayol, Yunani, dan Itali atau bahasa-bahasa Asia, seperti Sanskerta, Arab, Tionghoa, Tamil, Persia, Ibrani. Melainkan juga, bahasa-bahasa daerah di Indonesia sendiri seperti Jawa, Minangkabau, Betawi, Sunda, Bugis-Makasar, Batak, dan lain-lain. Dari sini setidaknya bisa disimpulkan, jelas bukanlah perilaku yang asing bagi bangsa Indonesia untuk mengadopsi dan membaurkan bahasa-bahasa asing ke dalam khazanah kata atau lema dalam Bahasa Indonesia.

Namun sayang seribu sayang, mewujudkan mimpi besar bukanlah kerja membalik telapak tangan. Terlebih adanya konstelasi Perang Dingin secara global, membuat proyek ambisius perihal visi membangun kemandirian nasional segera saja mengalami kegagalan dan berbuntut peristiwa kelam 1965.

Tengoklah kembali ke masa silam. Presiden Soeharto mengambil sisi sebaliknya, yaitu ekonomi sebagai panglima. Atas nama pembangunan, Presiden Kedua ini mengintroduksi pendekatan keamanan untuk menciptakan stabilitas tatanan politik. Trilogi Pembangunan yang terdiri dari stabilitas, pembangunan dan pemerataan menjadi skema model kebijakan di sepanjang 32 tahun kekuasaannya.

Hasilnya sungguh spektakuler. Mulai 1967 hingga Mei 1998, ekonomi Indonesia rata-rata tumbuh 5,98%. Bahkan pernah mencatat level tertingginya hingga 10,92% pada 1968. Namun sayangnya, kekuasaan yang tersentralisasi sebegitu rupa di tangan eksekutif ini bermuara pada munculnya penyakit KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang kronis.

Walhasil, di penghujung kekuasaan orde baru, ekonomi nasional terpuruk dengan mencatat pertumbuhan negatif (kontraksi) sedalam 13,13%. Jika capaian tertinggi pertumbuhan ekonomi tercatat berhasil ditorehkan oleh Orde Baru, maka kontraksi ekonomi terburuk di dalam sejarah Indonesia juga nisbi ditorehkan oleh rezim yang sama.

Tentu, tak semua terkait periodesasi kekuasaan Presiden Soeharto ini serta-merta buruk pada semua sisi. Lihatlah kembali kebijakan implementasi ideologi Pancasila, misalnya, sekalipun terkait pelembagaan tafsirannya cenderung dipraktikan secara top down, bersifat indoktrinasi, dan tidak dibangun berdasarkan komunikasi rasional atau dialog. Namun toh demikian keseriusan pemerintah Soeharto membumikan nilai-nilai Pancasila terlihat intens dilakukan.

Bicara perihal penguatan kebudayaan lokal juga terlihat menjadi warna kebijakan di era itu. Lihatlah berbagai tengara (landmark) yang dibangun di masa kuasa Pak Harto—demikian ia biasa dipanggil—dan cobalah dibandingkan dengan berbagai tengara yang dibangun di era Bung Karno. Desain arsitektur pelbagai tengara yang dibangun di era Bung Karno, kecuali Tugu Monas yang terinspirasi Lingga-Yoni atau ajaran Hinduisme, boleh dicatat dari Hotel Indonesia, Tugu Selamat Datang, Masjid Istiqlal, Gelora Bung Karno, Gedung DPR/MPR hingga Toserba Sarinah, secara arsitektural bercorak modernisme.

Sebaliknya Pak Harto, dari tengara Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Masjid At-Tien, Patung Kuda Arjuna Wijaya hingga renovasi Toserba Sarinah, misalnya, bisa dikata secara arsitektural memasukkan warna regional atau lokalisme pada desain kontruksinya.

Konsep ambisius di balik pembangunan TMII ialah membuat rangkuman kebudayaan bangsa Indonesia yang sangat beragam. Selain ditampilkan berbagai rumah bergaya arsitektur tradisional dari seluruh provinsi, di sana juga diperkenalkan seluruh aneka busana, tarian, dan tradisi daerah. Tak keculi pengembangan kain batik sebagai pakaian nasional yang kini telah jadi tren juga berawal pada masa Presiden Soeharto.

Hanya saja sayangnya, penguatan aspek budaya lokal ini hanya cenderung dilakukan sebatas pada etnis Jawa dan tidak terhadap semua etnis lainnya. Selain itu, tafsiran kuasa dalam perspektif budaya Jawa sebagai back ground kehidupan Pak Harto juga turut mewarnai kebijakannya. Walhasil, yang terjadi bukan hanya dominasi dan hegemoni budaya Jawa pada etnis non-Jawa, melainkan lebih dari itu secara simultan juga terjadi fenomena jawanisasi.

Walhasil, pasca-Soeharto, muncullah fenomena penguatan etnopolitik dan religiopolitik di masa awal mula era Reformasi. Seolah-olah setback memasuki era prapergerakan nasional, Indonesia sempat mengalami penguatan nasionalisme berbasis etnis atau agama maupun kombinasi antara keduanya. Pada 1999 Indonesia sempat mencatat konflik primordial berbasis agama di Ambon, dan pada 2001 muncul kembali konflik primordial berbasis etnis di Sampit, Kalimantan.

Ya, mengingat dan mengenang kembali, babak sejarah di tahun-tahun awal era reformasi dulu, harus diakui sempat muncul pesimisme dan kekhawatiran kuat, bangsa Indonesia akan mengalami fenomena disintegrasi. Namun demikian simpton itu kini bisa dikata telah berlalu. Bangsa Indonesia kini bisa mendaku telah berhasil melewati fase genting itu. Fase konsolidasi demokrasi di Indonesia tidak serta-merta memunculkan gejala fragmentasi sosiopolitik yang antagonistik dan nisbi tidak terpecahkan. Keindonesiaan dan nasionalisme Indonesia juga tak seringkih yang diduga semula.

Sekalipun belum sepenuhnya berhasil mewujudkan demokrasi dalam arti substantif, setidaknya proses pelembagaan kuasa dalam prosedur demokrasi kini mulai terlihat mapan dan stabil. Menyimak perjalanan orde demokrasi di sepanjang dua dekade ini, bangsa Indonesia patut berbangga hati. Terlebih Indonesia baru saja berhasil melewati momen Pilpres 2018 secara damai, sebuah ajang rivalitas dan kompetisi politik yang dinilai banyak kalangan bukan hanya sangat panas melainkan juga membelah bangsa.

Apa yang patut dicatat di sini, menyimak dinamika yang muncul mengemuka belakangan, Indonesia jelas bukan hanya terlihat piawai mengelola “konflik”, yaitu dalam arti membangun rivalitas dan kompetisi politik antarelemen-elemen masyarakat sebagai keniscayaan dari iklim, kredo, dan prosedur demokrasi. Lebih dari itu, Indonesia juga teruji dan terbukti sangat piawai untuk membangun “konsensus” antareleman-elemen yang berkompetisi dan berivalitas politik, pascaritual politik lima tahunan itu selesai.

Pengalaman keberhasilan Indonesia mengelola konflik dan sekaligus merumuskan konsensus ialah bekal utama bagi Indonesia ke depan. Bekal ini terang bakal menghindarkan Indonesia dari potensi dan situasi antagonistik yang seolah-olah tiada pemecahan dan jalan keluar.

Ya, melalui penguasaan dua aspek sosiopolitik ini, yaitu konflik dan konsensus, Indonesia dipastikan bakal selalu bisa memecahkan seluruh persoalan internal bangsanya dalam konteks situasi dinamika dan tantangan zamannya. Bekal ini tentu membuat bangsa Indonesia boleh selalu merasa optimistis untuk menatap masa depannya. (W-1)

Berita Populer