Tidak hanya Presiden Jokowi dan sang cucu tercinta Jan Ethes, Ibu Negara Iriana Joko Widodo ternyata bisa viral. Dalam balutan busana adat Simalungun, pada upacara kenegaraan 17 Agustus 2019 di Istana Merdeka, Ibu Negara mengundang perhatian netizen dalam jumlah yang tidak kalah besar dari Presiden Joko Widodo yang mengenakan busana adat Bali khas Klungkung. Bulang, aksesori penghias rambut Ibu Negara, dan kain ulos bersulam emas yang serasi dengan kebaya merah tosca itu, mengundang beribu-ribu cuitan.
Seorang netizen lantas mencuit. @Dinata_Franky: Ibu iriana pakai baju adat daerah saya Simalungun, sangat bangga. Yang lain menambahkan, @ellenmanroe: Salfok sama baju adat Bu Iriana, pakaian adat Batak Simalungun. Proud to be Bataknesse. Maka, hari itu bulang, selendang, dan terutama ulos sempat menjadi trending topic.
Ulos adalah identitas budaya Batak, Sumatra Utara. Kain tenun ini juga ada di semuasubetnis Batak, baik Karo, Toba, Mandailing , Angkola, Pakpak, serta Simalungun. Dalam bahasa asalnya “Ulos” berarti kain selimut. Nenek moyang Suku Batak adalah orang gunung. Terdorong dinginnya hawa pegunungan, tetua suku merajut lembar kain spesial sebagai kain sarung, selimut, selendang, untuk orang-orang yang disayangi.
Lambat-laun Ulos menyatu dalam budaya, tradisi, bahkan religi Batak. Ada pemaknaan di setiap motif, warna, pun cara pemakaiannyas. Ia hadir dalam upacara pernikahan, kelahiran, bahkan kematian, Ulos tak sekadar dipakai sebagai bagian dari busana. Ia bisa menjadi simbol sebuah doa untuk mendapatkan berkah, yang kadang dirapalkan dalam iringan tarian tor-tor.
Dalam budaya Batak ada tradisi mangulosi, yakni proses mengalungkan kain Ulos ke pundak orang lain. Dirunut dari sejarahnya, mangulosi punya makna memberi perlindungan dari segala gangguan. Tradisi mangulosi dilakukan orang yang dituakan kepada kerabat yang memiliki partuturan, kedudukan yang lebih rendah seecara adat, seperti orang tua pada anak. Dalam upacara pernikahan Batak, ada tradisi mangulosi dari tulang (Paman) kepada kedua pengantin, hal yang menunjukkan kekhasan relasi dalam keluarga Batak.
Setiap jenis Ulos punya kegunaan masing-masing. Ulos bolean sunting dipakai sebagai selendang pada acara kematian. Ulos ragi hotang biasa menjadi kado pengantin, dan ulos ragi huting yang digunakan gadis Batak dengan cara dililitkan di dada, atau dikalungkan di leher oleh para orang tua yang sedang dalam perjalanan.
Dalam perkembangannya, bentuk dan fungsi ulos juga makin beragam. Setiap sub-suku Batak memiliki pandangan yang tidak sepenuhnya sama tentang ulos. Maka, ulos berkembang dalam bentuk, ukuran, dan motif yang lebih kaya. Ulos juga telah lama menjadi produk budaya yang punya nilai ekonomi. Toh, persamaan yang masih kental dalam hal ulos adalah teknik tenun tangannya yang relatif tak berubah
Produksi ulos pada dasarnya tak berbeda dengan tenun biasa. Yang membedakan adalah mutu bahan baku, disain dan pengerjaannya. Untuk mendapatkan los bermutu tinggi, perlu penanganan saksama mulai dari proses membuat benang hingga menjadi kain.
Pembuatan benang:
Teknik pemintalan kapas menjadi benang sudah ratusan tahun dikenal oleh orang Batak. Pekerjaan itu disebut mamipis dengan alat yang dinamai Sorha. Sebelumnya kapas perlu diurai supaya mengembang dan memudahkan memintal benang menjadi berukuran seragam. Dulu, seorang memintal dan seorang memutar sorha. Dengan mengadopsi teknik tenun Jepang, yang diperkenalkan oleh serdadu Nippon di masa pendudukan, Sorha dibuat lebih mekanistik sehingga pemintalan bisa dikerjakan oleh satu orang saja.
Setelah benang siap, tahap berikutnya ialah gatip, yakni proses penguntaian benang dalam pembuatan rangkaian grafis untuk membentuk motif pada kain. Untaian ini disebut Humpalan. Satuan penggunaan benang disebut sang humpal, dua humpal dan seterusnya. Tahap ini sebelum pewarnaan pada benang. Khusus benang putih gulungannya dipegang oleh gagang yang terbuat dari serai atau daun serai.
Pewarnaan:
Benang hasil pemintalan berwarna putih. Untuk Ulos yang autentik, pewarnaannya dengan zat pewarna alami yang terbuat dari dedaunan. Bahan pewarna ini disebut “Itom”. Pewarna merah disebut Manubar, sedangkan pewarna hitam disebut Mansop. Kini, teknik pewarnaan Ulos sering menggunakan pewarna kimia.
Pada awalnya warna ulos hanya sebatas merah, hitam, dan warna-warna gelap lainnya. Ulos kini hadir warna-warni. Pewarnaan sintesis mempersingkat pembuatan Ulos yang dulu dalam hitungan bulan kini cukup seminggu dengan tenun tangan.
Untuk membuat mutu Ulos lebih prima, benang yang telah diwarnai perlu digosok lipatan ijuk. Proses ini disebut unggas. Sebelumnya, benang yang sudah kering dari proses pewarnaan dilumuri dengan adonan nasi, baru kemudian digosok. Selain memberikan benang yang lebih kenyal, proses ini membuat warna benang lebih terang setelah dijemur.
Ani dan Sirat
Benang yang sudah selesai diunggas kemudian diuntai dan digulung berbentuk bola. Proses ini disebut mangani. Alat yang dibutuhkan adalah Anian, berupa sepotong balok kayu yang di atasnya ditancapkan tongkat pendek sesuai ukuran ulos yang dikehendaki. Kepiawaian dalam proses ini akan menentukan keindahan ulos. Perlu perhitungan khusus dalam menyesuaikan ukuran, jumlah untaian benang, serta komposisi warna untuk mendapatkan bentuk terbaik.
Setelah segala perhitungan selesai, maka benang ditenun menjadi ulos. Juru tenunnya disebut tonum. Selesai? Belum. Perlu satu tahap lagi: finishing. Perlu ada pemasangan sirat, hiasan pengikat ulos yang biasanya bermotif gorga, motif khas Batak yang sering pula diitemukan dalam ukiran Batak.
Nafas Kehidupan Bapak
Hingga saat ini, produksi Ulos masih kuat di Tanah Batak. Di Kabupaten Tapanuli Utara, misalnya, tidak kurang dari 3.000 orang bekerja sebagai pengrajinya. Setidaknya, orang Batak memerlukannya sebagai pusaka adat. Sebagian produk budaya, ulos juga dikenal luas. Pelancong seperti tidak punya bukti yang sah pernah mendatangi ke Danau Toba bila memiliki barang koleksi sepotong ulos, yang menempel di souvenir berupa dompet, tas, T-shirt atau blus. Sebagian disainer, menyisipkan potongan ulos sebagai aksen etnik pada gaun, blus, bahkan jeans.
Sebagai barang seni, Ulos tergolong produk yang banyak dikoleksi. Kolektornya banyak. Harganya bisa berjuta-juta. Pasarnya pun sampai ke berbagai galeri-galeri seni di berbagai negara. Jadi, mengapa tak terus lanjut memipis, manunggas, dan mangulos untuk menebar kehangatan di antara sesama.
Maka, ulos Ibu Negara tidak cukup diviralkan, pesan kehangatannya dalam relasi sosial sesekali perlu menjadi trending topic. (P-1)