Indonesia.go.id - Semerbak Wangi Seduhan Kopi

Semerbak Wangi Seduhan Kopi

  • Administrator
  • Kamis, 13 September 2018 | 12:50 WIB
  Sumber foto: Antara Foto

Jalur ekspor kopi eksklusif memberikan harga lebih tinggi. Didukung konsumsi domestic yang tinggi, prospek kopi masih tetap wangi.

Budaya minum kopi terus menguat di segala kalangan dan di segala kelas sosial di Indonesia. Acara minum kopi pun identik dengan agenda gaul , hang out, silaturahmi, rembuk bisnis, reuni atau urusan lain di luar rumah dengan suasana santai. Tak heran bila gerai kopi tumbuh di mana-mana. Di Jakarta  dan sekitarnya kini tercatat ada 1.500 gerai kopi resmi , dan  dalam beberapa tahun terakhir  tumbuh 10 persen per tahun. Di Bandung, Medan, Surabaya, Bali, angka pertumbuhannya 6-7%.

Dalam kedai-kedai kopi itu tersaji berbagai jenis hidangan: Cappuccino, Café latte, Macciato, Expresso, Americano, long black, atau kopi  tubruk biasa. Jenis kopinya bisa pilih, ada special Arabica Gayo, Mandailing, Bandung, Kintamani, Arabica Manggarai, Toraja dan seterusnya. Anak-anak muda barista pun antusias mendemontrasikan ketrampilan mereka meracik  untuk para pelanggan. Aroma kopi menyeruak.

Kopi adalah produk  andalan Indonesia. Dengan luas areal kebun kopi 1,3 juta ha, Indonesia adalah penghasil kopi terbesar keempat dunia setelah Brasilia, Vietnam, dan Columbia. Tahun 2017 produksi kopi nasional sekitar 700 ribu ton, 73% jenis  Robusta dan 27%  Arabika.  Ekspor Indonesia tercatat 464 ribu ton tahun lalu,  dengan nilai US$ 1,2 Milyar (sekitar Rp. 17,5 Trilyun).  Belakangan, memang tarikan ekspor kopi melambat, tapi konsumsi dalam negeri meningkat 7% per tahun.

Biji kopi adalah komoditas penting bagi Indonesia, karena 95% produksi nasional dihasilkan dari kebun rakyat, dibudidayakan oleh 1,87 juta keluarga petani. Mengikuti trend permintaan pasar dunia, tanaman kopi Arabika di Indonesia pun terus bertambah, meski hanya di daerah pegunungan di atas 1000 meter dari permukaan laut (dpl). Di iklim tropis Indonesia, jenis Arabika ini beradaptasi dengan baik di dataran tinggi.

Permintaan pasar ekspor untuk kopi selalu berfluktuasi, situasi yang membuat  harga kopi tidak stabil. Produksi dunia terus  bertambah,  namun tingkat konsumsi dalam lima  tahun terakhir melandai dengan pertumbuhan hanya 1,5 – 2 persen saja. International Coffee Council (ICC), pada pertemuannya di Meksiko Maret  2018 lalu, mencatat bahwa trend penurunan harga masih terus berlansung sejak harga kopi mencapai angka puncak akhir 2016 lalu.

Ketika itu kopi Arabika atau yang sering disebut jenis mild harganya hampir menyentuh US$ 2,00  per pound  atau di atas US$ 4,00 per kg, dan sekitar US$ 110,00 cent per pound untuk robusta. Pada Maret 2018, harga kopi milld ini jatuh di bawah US$ 1,60 dan robusta di bawah US$ 90.00 cent per per pound.

Namun, ICP mencatat pula bahwa pasar kopi utama masih kuat, yakni Uni Eropa, Amerika Serikat dann Jepang. Warga Skandinavia tercatat sebagai peminum kopi yang fanatik. Secara rata-rata orang Finlandia mengkonsumsi rata-rata 12 kg kopi per tahun, orang Norwegia 9,9 kg/ tahun. Sementara di Eropa daratan, kopi juga banyak penggemarnya. Orang Belanda konsumsinya 8,4 kg per kapita per tahun, orang Inggris sedikit di bawahnya, sementara orang Perancis, Jerman, serta Italia antara 5-6 kg per kapita per tahun.

Di Inggris, menurut The Independent yang mengutip sebuah survei, gaya hidup minum kopi itu mengakar. Setiap hari warga  Inggris mengonsumsi 90 juta cup kopi, meningkat tajam dari 2008 yang tercatat baru 70 juta cup per hari. Umumnya, mereka menyerutup kopi di rumah (65%), dan 25% lainnya di tempat kerja atau di lingkungan kampus. Hanya 20% yang menikmatinya di kafe, bar atau lounge. Yang lebih doyan ngopi adalah generasi senior, yang berusia 53 tahun ke atas dengan dosis rata-rata 2,2 cangkir per hari. Generasi X yang lebih muda (38-52 tahun) 2,1 cup perhari, dan generasi Y (20-37 tahun) 1,3 cup per hari, sementara anak-anak milenial di bawah 20 tahun hanya mengonsumsi rata-rata 0,5 cup per hari. Di Inggris setidaknya kini ada 14 ribu gerai kopi.

Kecenderungan itu agaknya tidak diabaikan oleh pengelola gerai kopi raksasa Starbuck, yang dikendalikan dari Seattle, Negara Bagian Washington, Amerika Serikat. Hingga saat ini ada sekitar 28 ribu gerai kopi berbendera Starbuck di seluruh dunia. Tak  bisa dipungkiri pula, bahwa Starbuck ikut mendorong booming ngopi sebagai life style sejak jaringan gerai kopi  ini melakukan ekspansi besar-besaran di pertengahan decade 1990an. Kini Starbuck sedang mengembangkan cita rasa kopi baru agar lebih sesuai dengan selera setempat dan untuk segala usia termasuk kalangan milenial.

Para barista Indonesia juga tak mau ketinggalkan.  Memanfaatkan variasi cita rasa dari kopi-kopi khas Indonesia, mereka menyaiapkan beraneka rupa racikan  dengan mengandalkan kekhasan kopi lokal atau mengombinasikannya. Paling tidak ada puluhan jenis kopi yang berbeda cita rasanya karena masing-masing tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi ekologis yang sah. Sebut saja, Aceh punya Kopi Ulee Kareng, Meulaboh, Gayo. Di Sumatera Utara ada Kopi  Sidikalang, Sipirok,  Lintong, Mandailing, Kerinci ,  dan yang sudah lebih seabad punya nama kondang adalah Sumatera Robusta – kopi robusta asal Lampung serta Sumatera Selatan.

Masih banyak nama lain yang bisa disebut seperti Kopi Kintamani (Bali), Toraja (Sulsel) lalu Bajawa dan Manggarai, yang keduanya jenis Arabika dari Flores. Kopi-kopi lokal ini bisa  jadi brand sendiri untuk diekspor sebagai kopi eksklusif. Kabupaten Bandung yang memiliki sekitar 10 ribu ha kebun kopi juga membangun brand sendiri. Koperasi Margamulya pun menghimpun petani kopi di sekitar Gunung Tilu, Pengalengan, Kabupaten Bandung.

Setiap bulan Koperasi Margamulya itu menampung sekitar 10 ton biji kopi petani setempat. Berkat citarasa yang khas, kopi Pangalengan itu punya pembeli dari Jepang, yang mau membeli biji kopi dari lereng  Gunung Tilu ini dengan harga Rp. 62.500 bersih. Tingkat harga itu jauh melampaui harga jual biji kopi sebagai produk massal. Bukan hanya Kopi Bandung. Melalui jejaring online, para petani kopi Aceh, Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, NTT, Sulsel, mencari celah penjualan kopi lewat jalur eksklusif untuk meaih harga yang lebih tinggi.

Di pasar global, menurut International Coffee Counci (ICC),  tingkat  produksi dan konsumsi  telah mencapai keseimbangan baru tahun 2018 ini. Meski secara aktual masih  dipengaruhi stok di tangan para pedagang besar, pada tahap berikutnya harga akan lebih stabil. Tekanan kepada fihak produsen tidak akan terlalu keras. Dengan adanya skema ekspor kopi eksklusif,  tingkat  konsumsi domestic yang tumbuh kuat, dan ekspor regular yang akan bakal lebih stabil, sepertinya usaha kopi petani akan lebih menggairahkan. Semerbak wangi seperti aroma seduhan kopi.

Ngupi yuk…