Indonesia.go.id - Ekspor Furnitur, Riwayatmu Kini

Ekspor Furnitur, Riwayatmu Kini

  • Administrator
  • Jumat, 28 September 2018 | 05:53 WIB
PEMBIAYAAN USAHA

Saat rupiah melemah terhadap dolar Amerika, saat itulah waktu yang tepat untuk bisnis ekspor. Kiat ini banyak dilakukan pengusaha kecil menengah Indonesia pada paruh akhir 90-an.

Dengan biaya produksi yang menggunakan belanja rupiah hasil penjualan di pasar internasional menghasilkan selisih keuntungan yang lebih dari lumayan. Konon, Presiden Jokowi adalah salah seorang di antara pengusaha-pengusaha di Indonesia yang berkembang usahanya justru pada situasi pelemahan rupiah.

Akhir 90-an hingga awal 2000-an adalah masa pertumbuhan industri berbasis ekspor di Indonesia. Industri furnitur dan kerajinan adalah salah satu yang paling dominan pada saat itu.

Industri furnitur sendiri berdasarkan bahan bakunya terdiri dari industri furnitur kayu dan industri furnitur dengan kayu olahan dan berbagai bahan lainnya. Industri furnitur kayu di Indonesia sebagian besar berbahan dasar kayu Jati mengingat keunggulan kayu jenis ini yang kuat dan mudah dibentuk menjadi furnitur.

Kayu-kayu yang lain, seperti kayu Kamper, kayu Durian, kayu Nangka, dan kayu Trembesi juga ada. Tapi, sumbernya tidak bisa berkelanjutan seperti kayu Jati yang mempunyai daya dukung perkebunan di berbagai wilayah.

Kementerian Perindustrian pada 2017 mencatat bahwa produksi furnitur kayu mencapai 80% dari total seluruh produksi. Sisanya, 11% berbahan baku rotan dan bambu, logam 7%, disusul plastik sebesar 2%.

Ramainya ekspor produksi kerajinan dan furnitur pada masa itu, berdasarkan catatan Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (BPPP Kemendag - 2017) telah membawa Indonesia berada pada urutan ke-5 dunia pada 2000. Pada saat itu peringkat pertama dunia adalah Italia, kedua Kanada, ketiga China, keempat Jerman, dan kelima Indonesia.

Sayangnya, peningkatan jumlah ekspor furnitur pada waktu itu lebih banyak didorong oleh faktor pelemahan nilai tukar rupiah. Begitu nilai tukar rupiah mengalami peningkatan yang signifikan, ekspor furnitur dan kerajinan indonesia langsung merosot tajam.

Pada 2013, Indonesia berada pada urutan 18 negara pengekspor furnitur. Pada 2016 lebih turun lagi pada urutan ke-25, dengan nilai ekspor sebesar 1,9 miliar dolar AS kurang dari 1%  berbanding dengan total ekspor dunia yang mencapai 240 miliar dolar AS.

Saat ini pengekspor furnitur terbesar dunia adalah China yang menguasai 55% pasar senilai 98,73 miliar dolar AS. Jerman berada di peringkat kedua menguasai 9% pasar senilai 16,29 miliar dolar AS. Berikutnya Italia dan Amerika yang masing-masing menguasai 7% pasar, dilanjutkan dengan Polandia dan Meksiko dengan 6% pasar. Berikutnya adalah Vietnam dan Kanada dengan 3% pasar, Republik Ceko dan Belanda menyusul dengan nilai 2% pasar.

Salah kelola, adalah kesimpulan umum untuk menggambarkan kondisi industri berdaya saing ekspor, seperti hasil kerajinan dan furnitur. Perhatian terhadap pengembangan industri kecil menengah berdaya saing ekspor, hingga saat ini masih tidak banyak berkembang sejak masa awal reformasi.

Yang paling utama menghambat perkembangan industri ini adalah dukungan permodalan. Tingginya bunga pinjaman yang mencapai 12% tentu membuat para pelaku bisnis furnitur dan kerajinan kecil hati. Bandingkan dengan Malaysia yang hanya 4%, atau Thailand sebesar 7%.

Kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang sebenarnya berangkat dari semangat reformasi untuk mengatasi penyelundupan kayu, ternyata justru sangat menghambat semangat berusaha pengusaha kecil menengah yang paling banyak berkecimpung di industri ini. Kerumitan proses mendapatkan sertifikasi, prosedur yang tidak praktis, hingga biaya yang merepotkan, membuat banyak para pelaku usaha memilih untuk menekuni bidang yang lain.

Catatan Kementerian Perdagangan, kebijakan SVLK yang mewajibkan sertifikasi di hulu dan di hilir, malah tidak tepat sasaran. Uni Eropa dan Australia hingga saat ini tidak mewajibkan SVLK, sebagai gantinya mereka menerapkan beberapa persyaratan uji mutu yang lebih praktis dan tidak birokratis.

Pembenahan sektor permodalan dan perbankan, peningkatan standar mutu produksi, dukungan terhadap ekosistem industri yang berkelanjutan, hingga pemasaran yang efektif dengan menggunakan perangkat bantu teknologi informasi yang efisien adalah resep-resep yang harus segera dilakukan dalam waktu dekat jika Indonesia ingin bisa bersaing menjadi kekuatan ekonomi dunia.