Penyediaan energi yang bersih dan terjangkau telah menjadi komitmen dan salah satu tujuan (goals) dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di pelbagai negara, termasuk Indonesia.
Indonesia, dalam konteks komitmen penyediaan energi bersih dan terjangkau, telah menuangkannya sebagai bagian dari amanat Kebijakan Energi Nasional, yakni komitmen mengurangi konsumsi minyak dan memperluas penggunaan energi terbarukan.
Bahkan di cetak biru Kebijakan Energi Nasional cukup jelas menyebutkan jadwal dan besaran persentase yang harus dicapai. Yakni, pada 2025 peran energi baru dan terbarukan bisa mencapai 25% pada 2025. Porsi itu naik menjadi 36% pada 2050.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah komitmen hanya sebuah janji manis di sebuah kertas saja? Ternyata tidak. Di sektor kelistrikan, misalnya, menurut data PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), kontribusi energi baru dan terbarukan bisa dikatakan cukup berbunyi juga, yakni mencapai 12,23%.
Seperti disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Indonesia cukup fokus untuk mengembangkan energi baru terbarukan, seperti kewajiban penggunaan biodiesel sebesar 20% pada bahan bakar minyak jenis solar dan menetapkan peraturan mengenai solar PV pada rooftop.
“Kami mencoba untuk mencapai setidaknya 25% bauran energi pada 2025. Banyak orang yang bertanya, apakah target itu dapat dicapai? Tentu kami akan berusaha untuk mencapai target itu,” ujar Jonan optimistis.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1543540737_1.jpeg" style="height:500px; margin-left:150px; margin-right:150px; width:400px" />
Menteri ESDM itu juga mengklaim saat ini posisi bauran energi di Indonesia sudah semakin membaik. Meskipun perlu ekstra kerja untuk bisa mencapai target bauran energi sebesar 25% pada 2025, Jonan dengan bangga menyebutkan Indonesia kini sudah mengantongi bauran energi dari energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 12,32% pada 2018.
Tak hanya itu, Indonesia juga sudah mampu mengurangi tingkat emisi karbon. Pada tahun lalu, tingkat emisi karbon mencapai 36 juta ton. Hingga akhir tahun ini, penurunan tingkat emisi karbon di Indonesia diharapkan bisa mencapai 40 juta ton CO2.
"Sampai hari ini [kuartal III/2018], di sektor ketenagalistrikan, EBT itu sudah mencapai 12,32%. Paling tidak, butuh sekitar 10% hingga 2025. Target nasional, penurunan emisi gas rumah kaca, sampai akhir tahun bisa sampai 60 juta ton. Ini merupakan komitmen kami bersama untuk mengurangi efek rumah kaca."
Jonan menjelaskan, capaian bauran energi ini bisa terus ditingkatkan hingga akhir tahun. Apalagi dengan perintah Presiden soal penggunaan B20 di segala sektor bisa mendongkrak bauran energi secara nasional.
Mantan Dirut KAI itu juga menjelaskan, di sektor BBM saja saat ini tingkat bauran energinya masih sekitar 10%. Dengan penggunaan FAME (Fatty Acid Methyl Esters/bahan baku biodiesel) dalam solar sebesar 20%, maka capaian bauran energi di sektor BBM bisa mencapai 15%.
"Konsumsinya kan total 27 juta kiloliter. Bila dicampur B20, penggunaan renewable (energi terbarukan) kan sudah 20%," ujar Jonan.
Tidak itu saja, belum lama ini pemerintah kembali merilis peraturan terkait penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap bagi pelanggan PLN. Beleid baru itu yang tertuang ke dalam Peraturan Menteri (Permen) No. 49/2018.
PLTS Atap yang dimaksud di permen itu adalah pembangkit tenaga listrik menggunakan modul fotovoltaik yang dipasang dan diletakkan pada atap, dinding, atau bagian lain dari bangunan milik konsumen PLN serta menyalurkan energi listrik melalui sistem sambungan konsumen PLN.
Satu survei yang dilakukan Institute for Esential Service Reform (IESR) menyebutkan, minimal ada sekitar 4 – 4,5 juta rumah tangga di Pulau Jawa yang berminat memasang PLTS Atap tersebut. Alasannya, potensi penghematan listrik yang bisa diraih dengan menggunakan alat itu mencapai 30%.
Dalam perhitungan lembaga itu, tambahan pengguna sebanyak 4-4,5 rumah tangga itu setara dengan 15-17 gigaWatt peak (gWp). Artinya, kebijakan baru itu sangat membantu pemerintah untuk mendongkrak target bauran EBT sebesar 25% pada 2025.
Berkaitan dengan investasi pemasangan panel surya atap (PLTS Atap) diakui saat ini memang masih relatif mahal, yakni sekitar Rp14-15 juta per kilowatt peak (kWp). Namun, seiring semakin masalnya produk itu tentu biaya produksi juga semakin turun sehingga juga mengkoreksi harganya di masa mendatang.
Memang tak bisa dipungkiri, tantangan terberat dalam peningkatan porsi EBT dalam bauran energi primer adalah tingginya investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan jenis energi hijau ini.
Untuk setiap megawatt-nya, rata-rata investasi yang dibutuhkan adalah sebesar US$2 – US$5 juta. Bahkan, perkiraan Badan Energi Internasional (IEA) juga sempat merilis upaya pengurangan kadar karbon secara global melalui pengembangan energi listrik yang bersumber dari EBT membutuhkan investasi sekitar US$20 triliun hingga 2035.
Oleh karenanya, pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) terus berupaya untuk menggandeng para investor dalam pengembangan EBT. Khususnya, dalam pembangunan infrastruktur energi yang difokuskan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di wilayah timur Indonesia harus berdasarkan prinsip energi berkeadilan, sehingga tercapai Indonesia yang mandiri energi.
Tidak itu saja, sejumlah regulasi pun perlu dibuat dalam rangka pengembangan energi baru, terbarukan dan konservasi energi (EBTKE), antara lain, Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional; Peraturan Presiden (Perpres) No.22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN); serta Permen ESDM No. 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.
Pada Permen ESDM No. 50/2017 tersebut, pemerintah menetapkan mekanisme harga jual listrik EBT yang lebih adil bagi investor maupun PLN. Selain regulasi tersebut, pemerintah juga telah menyediakan payung hukum bagi pemanfaatan sumber-sumber EBT.
Di antaranya, UU No. 21/2014, PP No. 9/2012, PP No. 28/2016, PP No. 7/2017, Permen ESDM No. 11/2009, serta Permen ESDM No. 37/2017, yang menjadi landasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan energi panas bumi.
Di subsektor bioenergi, pengembangannya telah diatur dalam Permen ESDM No. 26/2016 dan Permen No. 12/2015 tentang Perubahan Ketiga atas Permen ESDM No. 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
Dengan adanya sejumlah regulasi tersebut, badan usaha swasta dapat melakukan investasi di bidang EBT sesuai dengan aturan dan ketetapan yang berlaku.
Investasi di bidang energi baru, terbarukan dan ini dapat dilakukan melalui Skema IPP (Independent Power Producer), Skema APBN, Skema DAK (Dana Alokasi Khusus), Skema KPDBU (Kerja sama Pemerintah Daerah dan Badan Usaha), serta Skema Elektrifikasi Perdesaan.
Bahkan, dalam rangka lebih menarik minat investasi, skema harga beli listrik juga dibuat agar investor tertarik berinvestasi di sektor kelistrikan, termasuk energi baru dan terbarukan seperti investasi di PLTS, PLTB (pembangkit listrik tenaga bayu), PLT Biomassa, PLT Biogas, PLTA Laut. Begitu juga investasi di PLT Sampah, PLTP, dan PLTA.
Indonesia memang mau tidak mau harus konsisten dan fokus terus melakukan pengembangan energi baru terbarukan dan berkelanjutan sebagai bagian pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian energi dan ketahanan energi nasional di masa datang. (F-1)