Indonesia.go.id - Manisnya Tandan Buah Segar di Akhir Tahun

Manisnya Tandan Buah Segar di Akhir Tahun

  • Administrator
  • Senin, 30 Desember 2019 | 03:54 WIB
SAWIT
  Pekerja memasukkan Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Desa Seumantok, Kecamatan Pante Ceureumen, Aceh Barat, Sabtu (7/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Harga sawit mencapai level tertinggi dalam 30 bulan terakhir. CPO diyakini menuju ke level USD750 per ton. Ekspor pun menguat. Kebijakan mandatory B-30 menjadi pengungkit harga paling kuat.

Harga minyak sawit kembali bangkit. Setelah terseok-seok lebih dari dua tahun sejak pertengahan 2017, harga sawit kembali bangkit mulai Agustus lalu. Memasuki awal tahun baru 2020 ini, harga sawit masih stabil tinggi. Pada patokan harga di Provinsi Riau, per 25 – 31 Desember 2019, disebutkan bahwa untuk tandan buah segar (TBS) dari pohon sawit muda umur 4 tahun harganya Rp1.610/kg dan Rp1.919 per kg yang dari batang pohon usia 22 tahun.  Kontan petani pun bersuka ria.

Di Sumatra Selatan harganya tak berbeda jauh. Tandan buah segar dari pohon usia 4 tahun dipatok Rp1.616 per kg pada akhir Desember 2019 ini, dan Rp1.762 untuk buah dari pohon berumur 22 tahun. Di Kalimantan Timur pun patokan harganya hampir serupa. Mencapai Rp1.631 untuk TBS dari sawit umur 22 tahun. Namun, untuk sawit muda 4 tahun harganya masih pada level Rp1.335 per kg. Secara umum ada kenaikan 30-40 persen dibanding harga enam bulan silam.

Isu pengenaan pajak 18% untuk biosfuel sawit di pasar Uni Eropa ternyata tak menggoyahkan semangat para pedagang untuk memborong sawit. Mereka lebih responsif kepada berita kenaikan ekspor produk minyak sawit dan turunannya ke India, Tiongkok, Afrika, Bangladesh, dan utamanya adalah mandatory B-30 biosolar di tanah air pada 2020. Mandatory B-20 Biosolar di Malaysia pada 2020 juga meniupkan sentimen positif.

Kebijakan Presiden Joko Widodo yang mewajibkan PT Pertamina memproduksi  dan menjual biosolar dengan kandungan 30 persen biodiesel dari minyak sawit itu membuat para pengusaha antusias untuk menyiapkan stok bahan bakunya. Lonjakan demand CPO domestik untuk biodiesel ini pun mendorong kenaikan harga CPO ke level USD700 per ton, harga terbaik sejak dua tahun terakhir.

Di kalangan pengusaha sawit ada keyakinan kuat bahwa harga CPO sedang menuju ke level USD750  per ton pada akhir semester I 2020. Kemarau panjang 2020 akan menekan produksi sawit pada awal 2020. Padahal, kebijakan B-30 itu dipercaya akan menaikkan konsumsi CPO dalam negeri sebesar 500 ribu ton menjadi 8,1 juta ton - hampir 20 persen dari produksi nasional CPO.

Perkembangan harga sawit ini tentu disambut dengan suka cita oleh banyak kalangan. Kenaikan harga sawit dipercaya memberi dampak positif bagi perkembangan ekonomi nasional. Tidak ada  kebun lain seluas sawit di Indonesia. Bukan kopi, karet, teh, gula tebu, dan tidak pula kakao. Bahkan, dengan luas yang mencapai 12,75 juta saat ini (versi BPS) area kebun sawit lebih besar dibanding hamparan sawah yang masih ada sekitar 7,5 juta ha.

Sebagian besar kebun sawit, yakni 60%, dikelola oleh korporasi swasta. Kebun rakyat menyumbang 35%, dan 5 persen lainnya oleh perkebunan negara. Kebun sawit kini hadir di 25 dari 34 provinsi di Indonesia. Lima provinsi yang menjadi produsen sawit terbesar adalah Riau, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, dan Sumatra Selatan. Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia.

Pada tahun 2017 ekspor minyak sawit dengan segala produk turunannya mencapai USD22,97 miliar (Rp320 triliun). Pada 2018, volume ekspornya meningkat 3,2 persen, tapi gara-gara harganya jatuh sehingga  nilainya susut 12 persen. Nilai ekspor tahun 2019 diperkirakan lebih tinggi dibanding tahun 2018.

Sawit bukan barang baru di Indonesia. Tanaman ini diintrodusir pada 1840-an di Kebun Botani Bogor. Berbagai aspek botaninya dipelajari oleh peneliti dari pemerintah kolonial Belanda sebelum ia dibawa ke beberapa tempat lain di Indonesia untuk dicoba dibudidayakan. Para peneliti kolonial itu mendapat bukti bahwa sawit yang berasal dari daerah tropis di Afrika Tengah itu akan lebih produktif baru dibudidayakan di daerah yang beriklim basah. Sawit mulai dibudidayakan secara komersial pada 1910 di Sumatra Utara.

Perkembangan sawit sebagai komoditas lumayan lamban. Hingga tahun 1981, luas kebun sawit yang ada di Indonesia tidak sampai 300 ribu hektar. Namun, sejak 1990-an kebun sawit semakin luas dan mengalami percepatan sejak tahun 2000-an hingga mencapai luasan yang sekarang. Pertambahan luas kebun sawit sekitar 400 ribu hektar per tahun. Sekitar 2,7 juta keluarga petani terlibat dalam bisnis ini, dan jutaan lainnya bekerja di perkebunan kelapa sawit baik swasta maupun BUMN.

Dalam setiap hektar kebun, secara rata-rata terdapat 130 – 140 batang pohon yang mulai berbuah di saat usia 3 tahun. Pohon sawit dianggap telah matang di saat memasuki usia 7 tahun, dan terus akan produktif hingga usia 25 tahun. Setelah itu produksi buahnya menyusut dan harus segera diremajakan. Pohon sawit memerlukan air dalam jumlah besar, dan menyukai cuaca yang lembab.

Pohon sawit berbuah sepanjang tahun. Produksinya antara 12-14 tandan per tahun. Dengan perawatan yang baik setiap tandan bisa menghasilkan 25 kg. Namun, untuk perkebunan sawit rakyat, produksinya jauh lebih rendah dari potensi yang ada. Masih banyak kebun rakyat yang hanya mampu memproduksi  3,5 hingga 5 ton tandan buah segar per tahun. Padahal di kebun-kebun korporasi swasta, produksinya bisa mencapai 10 ton per tahun per hektarnya. Maka, yang diperlukan adalah peningkatan produktivas, bukan lagi menambah luas area. (P-1)