Indonesia.go.id - Tembakau Cerutu Jember, Emas Hijau yang Tetap Perkasa

Tembakau Cerutu Jember, Emas Hijau yang Tetap Perkasa

  • Administrator
  • Kamis, 28 November 2019 | 22:02 WIB
KOMODITAS TEMBAKAU
  Cerutu tembakau asal Jember. Foto: Beritagar

Dunia hanya mengenal Indonesia sebagai produsen rokok kretek dan putih. Padahal, kita punya komoditi cerutu yang legendaris. Dari sisi world market share untuk pasar tembakau, Kuba merupakan penghasil cerutu nomor satu terbesar dunia. Indonesia berada di posisi kedua di bawah Kuba.

Secara nasional, setelah Deli meredup, Jember adalah daerah penghasil utama tembakau cerutu kualitas dunia yang 90 % produksinya diekspor. Komoditi ini sanggup tegak, tak bergeming meski kampanye anti tembakau gencar dilancarkan dalam skala global. Tercatat, pada tahun 2017 Jember mengeskpor tembakau cerutu senilai Rp 1,5 triliun. Jember memproduksi sekitar 8 ribu - 9 ribu ton tembakau cerutu per tahun.

Dalam bukunya History of Indonesia (1959) yang ditulis sejarahwan Belanda Bernard Hubertus Maria Vlekk disebut bahwa orang Spanyol yang singgah di Filipinalah yang mengenalkan tembakau ke kawasan Asia, termasuk Nusantara.

Pada abad ke 17 saat VOC mulai melakukan eksplorasi rempah-rempah di Nusantara bagian timur, ternyata mereka juga mengekplorasi Nusantara bagian barat dan Jawa dengan tanaman seperti teh, kopi, kelapa, tebu dan tembakau. Tembakau ditanam seiring dengan fenomena kalangan elite lokal Eropa saat itu seperti raja dan pejabat VOC yang mencitrakan bahwa merokok dapat menunjukkan status sosial.

Awal abad 19 Belanda menerapkan kebijakan ekonomi the system of enterprise (sistem pembangunan perusahaan atau industri) sebagai pengganti the cultivation system (sistem pengolahan bahan). Dampak kebijakan politik ekonomi ini menyebabkan banyak berdirinya perusahaan perkebunan, termasuk tembakau.

Pada masa itu, tembakau ditanam di Deli Serdang (Sumatera Utara), Batavia, Cirebon, Karesidenan Kedu (Temanggung) dan sekitarnya (Banjarnegara, Wonosobo, Batang, Kendal, Salatiga, juga Magelang dan Klaten), Karesidenan Probolinggo plus Madura dan Karesidenan Besuki (Situbondo, Jember dan Bondowoso). Di semua daerah itu dikembangkan tembakau untuk kretek, kecuali Deli, Klaten dan Besuki yang diarahkan sebagai daerah pengembangan untuk tembakau cerutu.

Sangat mudah mengenali tembakau untuk kretek (jenis voor-oogst) dan untuk cerutu (jenis na-oogst). Daun jenis voor-oogst biasanya tebal dan kasar, punya aroma kuat dan kadar nikotinnya tinggi. Seluruh daun jenis voor-oogst dipakai untuk pengisi (filler) rokok kretek maupun rokok putih dengan cara dikeringkan dan dirajang.

Sedangkan daun jenis na-oogst punya ciri lebih hijau, lebih tipis, elastis dan beraroma netral. Na-oogst dipakai untuk pengisi cerutu, pembungkus dalam cerutu (omblad) dan pembungkus luar cerutu (dekblad). Kualitas dekblad dituntut tinggi karena penentu cita rasa dan harga cerutu.

Pada masa-masa awal, na-oogst dari Deli Serdanglah yang merajai pasar ekspor tembakau cerutu disusul Besuki dan kemudian Klaten. Namun lahan perkebunan di Deli menyusut dan akhirnya redup seiring dengan perkembangan penduduk dan kebijakan pembangunan di sana. Sedangkan kebun tembakau di Klaten tidak terlampau luas. Satu-satunya yang masih eksis sampai sekarang dari segi volume serta nilai ekspornya adalah na-oogst dari Besuki terutama Jember yang lebih dikenal dengan BNO (Besuki Na-Oogst).

Di Jember, BNO pertamakali dikembangkan oleh seorang Belanda keturunan Scotlandia bernama George Birnie. Tahun 1850 Birnie mengantongi hak erfpacht (hak guna usaha) selama 75 tahun bersama empat pengusaha lain. Dia mendirikan NV. Landbouw Matscapay Out Djember (NV LMOD) di daerah Jenggawah. Mereka mendatangkan pekerja dari Blitar dan Madura.

Saat itu mereka aktif ikut lelang tembakau cerutu di Amsterdam sebelum dipindah ke Bremen (Jerman). Tembakau cerutu Indonesia hanya punya satu pesaing serius yaitu Kuba sebagai daerah penghasil cerutu terbaik dunia. Sedangkan tembakau cerutu asal Dominika, Brasil, Meksiko, Equador, Jamaica, Kepulauan Canari, Filipina dan Amerika Serikat masih kalah dengan Indonesia dan Kuba.

Teknologi Tembakau Bawah Naungan

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mengambil alih perkebunan ‘emas hijau’ ini di wilayah Besuki dalam bentuk PTPN X di bawah Kementrian BUMN. Selain itu, ada 22 perusahaan swasta kelas menengah dan kecil di kabupaten ini. PTPN X tetap menjadi pemain terbesar dan telah punya pengolahan pasca panen berteknologi canggih (kerjasama dengan Swiss) dalam unit usaha bernama Bobbin yang mampu menyerap 1.000 sampai 1.500 orang pekerja.

Kampanye anti tembakau dan rokok yang didengungkan di seluruh dunia seakan tidak berpengaruh. Komoditi ini tetap perkasa. Permintaan tinggi karena tembakau BNO punya target pasar jelas yaitu penggemar cerutu di luar negeri yang mau membayar berapa saja demi menikmati cerutu berkualitas terbaik dan memuaskan gaya hidup mereka. Penyukanya adalah masyarakat Eropa (Jerman, Denmark, Italia,Polandia dan Swiss), juga China dan Singapura.

Tantangan pengembangan BNO justru pada pemeliharaan dan pengolahan pasca panen yang rumit. Antara lain yang terkait residu pestisida dan cuaca. Pasar internasional menemukan residu rondan (zat pembasmi rumput) yang terlalu tinggi pada tembakau cerutu Indonesia dan berpengaruh pada harga. Anomali cuaca yang sering terjadi selama tujuh tahun terakhir ini juga berpengaruh pada kualitas daun.

Karena itu, beberapa pengusaha membuat inovasi dengan melindungi tanaman tembakau dengan waring (semacam kelambu dari anyaman plastik). Teknologi ini disebut Tembakau Bawah Naungan (TBN). Petani tembakau Deli juga pernah mengembangkan teknik ini.

TBN mampu mengatur besar kecilnya intervensi cahaya matahari ke daun. Ini penting untuk menghasilkan daun pembungkus luar berkualitas baik, warnanya rata dan elastis. Seperti sudah diuraikan di atas, dekblad adalah penentu cita rasa cerutu sehingga berkasta tertinggi. Seluruh bagian cerutu terdiri dari 3-4 lembar daun tembakau sebagai pengisi, lalu dilapisi pembungkus dalam dan luar tanpa campuran apapun. Ini berbeda dengan kretek atau rokok putih yang mencampur daun tembakau dengan saus atau cengkeh.

Sebagian besar ekspor tembakau Jember berupa bahan baku, cigar klasik (besar) dan cigarillos (cerutu kecil). Ini adalah inovasi lain karena pasar menginginkan cerutu yang lebih simple dan rasa lebih ringan.

Biasanya kualitas cerutu yang bagus terdiri dari gabungan tiga tembakau yaitu Kuba (pembungkus luar), Indonesia (pembungkus dalam) dan Brazil (pengisi). Namun tembakau cerutu Indonesia punya kualitas sangat baik di tiga komponen itu.

Tembakau Indonesia selalu masuk hitungan pasar luar negeri dan menguasai 30-40 % market share dunia. Pada tahun 2017 nilai ekspor tembakau cerutu Jember adalah Rp 1,5 triliun dengan produksi sekitar 8 ribu - 9 ribu ton per tahun. Total kebun na oogst di Jember seluas 11 ribu ha. Tembakau untuk isian dihargai 15 euro /kg, omblad dihargai 30 euro/kg dan kualitas dekblad dihargai 60 euro/kg.

Dua abad setelah Birnie mengembangkan tembakau BNO, komoditi ini hingga kini masih memberi kehidupan pada para petani dan ribuan buruh di kabupaten Jember dan menyumbang 53% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hampir 70 % warga Jember bergantung pada komoditi ini. Sedemikian penting tembakau bagi wilayah ini sampai dipakai sebagai lambang kabupaten dan universitas mereka.

Seperti yang diungkap oleh pengusaha cerutu Kuba, Indonesia adalah la tierra prometadora bagi industri cerutu; sebuah tanah yang menjanjikan. (K-CD)