Sebuah danau lahir di tengah hamparan tanah yang memutih oleh tumpukan pasir kaolin. Terik matahari kemarau pada September membuat tanah kaolin putih itu bercahaya kemilau dan begitu kontras dengan air danau yang biru cemerlang. Sejumlah pelancong sibuk berfoto di atas titian kayu di pinggir danau.
Kolong biru, demikian warga menyebutnya. Lokasinya sedikit di luar Desa Nimbung, Kecamatan Koba, Bangka Tengah, sekitar 60 km saja dari Pangkal Pinang, Ibu Kota Provinsi Bangka Belitung (Babel). Sudah sekitar lima tahun belakangan Kalong Biru itu menjadi destinasi wisata yang unik di Bangka Tengah. Di akhir pekan, pengunjungnya bisa mencapai 500 orang.
Danau Biru bukan bentukan alam. Kolam dengan luas sekitar 10 ha itu adalah lubang bekas galian tambang timah. Adapun hamparan kaolin putih di sekitarnya ialah tanah limbah (tailing), yang salah tempat. Seyogyanya, tailing itu didorong masuk kembali ke lubang galian.
Kaolin putih (ada yang menyebut lempung china) itu sendiri tak ada hubungannya dengan batu kapur. Bahan dasar kaolin adalah aluminium dan silika. Dulu di antara butiran kaloin itu banyak terdapat batuan bijih timah yang telah diangkut para penambang.
Batuan kaloin dengan bijih timah di dalamnya tersebar di banyak tempat di Pulau Bangka dan Belitung. Di sejumlah lokasi, lapisan batuan kaolin (dari istilah bakunya kaolinit) ini hanya satu atau dua meter di bawah permukaan tanah podzolik (merah-kuning) atau regosol (abu-abu) yang umum terdapat di Bangka Belitung.
Penambangan masih bisa berlangsung hingga 20--30 tahun ke depan. Tentunya, lubang galian akan makin banyak, dalam berbagai ukuran. Oleh warga lubang galian itu disebut kolong. Ada pula yang menyebut kolam, danau, atau telaga. Tergantung nilai estetik yang muncul. Kolong-kolong galian itu akan terisi air dari limpasan hujan dan sebagian akan jadi danau biru.
Warna biru pada telaga buatan itu tak lepas dari sifat batuan khas Bangka Belitung. Bila dasar kolong mencapai kedalaman yang sesuai, dan sistem larutan air genangan telah stabil, potensi menghadirkan warna biru akan muncul dengan sendirinya.
Dari tujuh spektra warna dalam cahaya matahari, enam di antaranya (sebagian besar) akan terserap oleh air dan partikel yang terlarut di dalamnya, serta lantai kolong. Hanya warna biru yang terhambur ke luar sehingga warna air menjadi biru. Puncak kebiruan tercapai tengah hari ketika radiasi surya mencapai puncaknya. Pada saat itulah spektra warna biru terhambur secara maksimum. Cemerlang. Sore hari, warna birunya semakin pekat.
Beribu-ribu Telaga
Bangka-Belitung ialah dwitunggal dalam produksi timah nasional. Keduanya menyumbang 95% produk timah nasional. Dari kedua pulau itu tiap tahun diangkut 90--100 ribu ton logam timah, hasil olahan bijih timah lewat refining dan smelting. Sebagian besar (96%) dijual ke pasar dunia. Pasar domestik hanya menyerap 4 persen.
Untuk menghasilkan 90--100 ribu ton timah itu tentu ada jutaan ton tanah yang digali, disedot dan disaring untuk mendapatkan bijih timahnya. Sekitar 50% dipetik dari penambangan darat, dan separuhnya lagi dari lantai laut di sekitar kedua pula tersebut. Masih akan ada lagi ribuan kolong galian di Bangka Belitung, di darat dan di laut.
Dalam inventarisasi para aktivis lingkungan, di Bangka saat ini ada sekitar 6.200 lubang galian yang masih menganga karena luput dari sentuhan reklamasi. Adapula ribuan lainnya di Belitung. Pada musim hujan, kolong-kolong ini menjadi danau, kolam, atau telaga.
Betapa tidak. Dari 11.900 km km2 daratan Bangka, 27,5% adalah lahan konsesi penambangan timah. Di pesisirnya, ada 1.400 km laut yang menjadi konsensi tambang timah pula. Di Belitung, luasnya 4.800 km2, kondisinya sedikit lebih baik. Ke depan, Pulau Singkep dan Pulau Kondur di Kepulauan Riau akan menjadi andalan produksi timah.
Timah masih akan menjadi produk logam yang dibutuhkan bagi industri elektronika di hari-hari ini. Pada setiap unit gawai, laptop, tablet, atau perkakas elektronik lainnya, ada sekian gram timah untuk rangkaian listriknya.
Sejarah Panjang
Tidak mudah untuk menyebut siapa yang bertanggung jawab terhadap lubang-lubang galian tambang di Bangka dan Belitung. Banyak pihak yang terlibat. Bukan hanya perusahaan BUMN dan swasta besar. Di sana juga ada penambangan rakyat. Lebih dari itu, penambangan timah secara komersial sudah berlangsung 300 tahun.
Kesultanan Palembang Darussalam diperkirakan sudah mengusahakan bisnis timah Bangka ini sejak 1711. Timah dijual kepada pedagang dari Tiongkok, Inggris, dan Belanda melalui tangan VOC. Pada 1730, VOC telah membeli timah Bangka dalam volume sampai 20.000 pikul (1.250 ton) per tahun. Pada 1775-an, volumenya sudah meningkat hampir 2.000 ton per tahun.
Dengan segala kepentingan usahanya, termasuk timah, kemudian Pemerintah Hindia Belanda, yang menggantikan posisi VOC, memerangi Kesultanan Palembang, menghancurkannya pada 1821. Sejak itulah Pemerintahan Kolonial mengambil alih pertambangan timah Bangka, lantas mengoperasikannya secara secara komersial. Pertambangan di Belitung dibuka 1852.
Ribuan buruh migran dari daratan Tiongkok dikerahkan bekerja di kedua area pertambangan itu. Sebagian mereka kawin-mawin dengan perempuan lokal, termasuk mereka yang didatangkan dari wilayah lain di Hindia Belanda. Bisnis pertambangan kolonial itu yang kemudian menjadi cikal bakal industri timah di Bangka dan Belitung saat ini.
Namun, ada jejak yang lebih tua lagi. Kerajaan Sriwijaya tidak saja menguasai Bangka secara efektif sejak abad ke 7 Masehi, timah juga sudah ditambang. Penemuan sejumlah artefak di Kecamatan Cengal, Ogan Komering Ilir, Sumsel, pascakebakaran lahan gambut 2018, telah memberikan indikasi adanya penambangan itu.
Di antara artefak yang ditemukan, bercampur dengan serpihan pecahan keramik Tiongkok dari Dinasti Yuan, ada lempengan-lempengan timah bertuliskan mantra dalam bahasa Sanskerta. Kerajaan Sriwijaya diduga sudah memanfaatkan timah Bangka itu sebagai media tulis, selain media standar yang lazim digunakan di zaman itu, seperti serat kayu, gading gajah, dan kertas.
Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini