Konsep pengembangan di salah satu desa wisata terbaik dunia meliputi tiga unsur penting, seperti geodiversity, biodiversity, dan culturediversity. Selain juga menerapkan prinsip konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat secara bersamaan.
Perkataan bijak filsuf sekaligus orator terkemuka Romawi kuno, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) bahwa pengalaman adalah guru terbaik, begitu diresapi warga Desa Nglanggeran. Sejak ratusan tahun lampau, masyarakat desa di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta itu hidup berdampingan secara damai bersama keindahan alam. Mereka menghidupi diri sebagai petani.
Seiring tingginya tekanan ekonomi, sebagian warga mulai alih profesi. Mereka memilih sebagai penjual kayu hutan dan penambang batu. Lokasinya di sekitar kawasan pegunungan purba bertebing curam dan terjal. Umurnya adalah tersier atau terbentuk dari zaman Oligo-Miosen, 60--70 juta tahun lampau.
Pegunungan purba itu menjadi bagian dari Taman Bumi (Geopark) Nasional Gunung Sewu, membentang dari bagian barat Kulonprogo ke tengah, tepatnya di Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) hingga menuju timur ke Kabupaten Pacitan (Jawa Timur), meliputi 40.000 bukit. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO dalam sidang mereka di Totton City, Jepang, 19 September 2015 telah menetapkan Taman Bumi Nasional Gunung Sewu sebagai UNESCO Global Geopark.
Lambat laun, warga mulai tersadarkan bahwa mengeksploitasi keabadian alam di Nglanggeran secara serampangan seolah membuat mereka seperti sedang menggali kuburnya sendiri. Tak hanya merusak alam, mereka juga akan menghabiskan sumber daya sebagai hak anak cucu kelak. Padahal, jika kekayaan alam itu dapat dikelola secara baik dan berkelanjutan, akan mendatangkan pemasukan jauh lebih besar daripada mengeksploitasi secara berlebihan.
Perjuangan pun dimulai pada 1999. Para pemuda Nglanggeran dari Karang Taruna Bukit Putra Mandiri menjadi penggeraknya. Mereka mulai melakukan kegiatan penghijauan di sekitar kawasan pegunungan purba. Beberapa tanaman buah mereka tanam, dan ketika musim panen tiba, hasilnya dijual untuk tambahan kas desa dan karang taruna.
Dalam waktu bersamaan, desa mereka juga mulai dikunjungi warga dari daerah lain untuk sekadar berwisata mendaki puncak pegunungan. Di ketinggian, pengunjung dapat menikmati pemandangan pusat Kota Yogyakarta. Apalagi lokasi Nglanggeran ini mudah dijangkau, sekitar 30 kilometer atau hanya 40 menit berkendara ke arah timur dari pusat kota gudeg itu.
Kontur pegunungan purba di Nglanggeran ini berpunuk-punuk besar dan sebagian membentuk cekungan serta mampu menyimpan air, mirip seperti spon. Ada lebih dari 25 titik sumber air di pegunungan ini yang tak pernah berhenti mengalirkan banyu, kendati di musim kemarau. Puncak pegunungan purba ada di ketinggian sekitar 700 meter. Perlu kesabaran untuk dapat menaklukkan medan sedikit terjal sebelum sampai di Puncak Gedhe. Kegiatan favorit pengunjung adalah menunggu terbitnya matahari dari Puncak Gedhe.
Menata Diri
Melihat potensi desa dengan kekayaan geologi tadi, para pemuda pada 2007 membidani lahirnya kelompok sadar wisata (Pokdarwis) sekaligus menjaga kelestarian alam yang telah menghidupi warga sekitar. Setahun setelahnya, Badan Pengelola Desa Wisata Nglanggeran dibentuk dan langsung mengambil alih pengelolaan, termasuk menambah fasilitas penunjang. Salah satunya membangun kolam tangkapan air hujan atau embung seluas 3.400 meter persegi, pertengahan 2012 dan diresmikan 19 Februari 2013.
Lokasi embung ini ada di ketinggian 495 meter, atau sekitar 1,5 kilometer sebelah tenggara pintu masuk Kawasan Ekowisata Gunung Purba Nglanggeran. Ini adalah embung pertama dan tertinggi di Yogyakarta. Letaknya tak jauh dari puncak gunung purba, kira-kira berjarak 100 meter. Embung ini berada di bidang datar tepat di ujung bukit dan bermanfaat sebagai sumber air perkebunan durian dan klengkeng milik warga ketika musim kemarau tiba.
Embung Nglanggeran dibangun dengan tepian berbahan semen beton selebar satu meter serta diberi pagar pengaman dari besi sebagai pembatas antara tepian beton dan kolam air. Posisi embung di ketinggian pegunungan memberikan sensasi tersendiri. Dari titik ini kita bisa menyaksikan matahari tenggelam dengan leluasa. Pemandangan Yogyakarta, terutama kelip lampu kota di malam hari, dapat pula disaksikan dari ketinggian tempat ini.
Udara sejuk di sekitar embung mampu melenakan siapa pun yang mengunjunginya. Desa Nglanggeran dengan cepat makin terkenal setelah sejumlah foto-foto keindahan alamnya viral di media sosial. Mendiang Didi Kempot pun turut bersenandung. “Adheme gunung Merapi purba, sing neng Nglanggeran, Wonosari, Yogyakarta,” katanya seperti dikutip dari lagu Banyu Langit dalam album Kasmaran.
Ketua Pokdarwis Nglanggeran Mursidi, seperti dikutip dari Antara, mengatakan bahwa pada 2014 mereka mencatat ada sebanyak 325 ribu pengunjung masuk dan berwisata mengunjungi gunung purba, embung, serta air terjun berundak Kedung Kandang di dalam Kawasan Ekowisata Gunung Purba Nglanggeran. Hingga akhir 2019, atau sebelum pandemi melanda, menurut Mursidi, setiap harinya ada 1.500-2.000 orang berkunjung ke Nglanggeran. Angka itu akan bertambah saat akhir pekan atau musim libur sekolah tiba.
Derasnya kunjungan warga tidak dibarengi ketaatan mereka dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan sekitar. Kondisi ini ditambah dengan murahnya harga tiket yang dijual, yakni Rp7.000 per orang. Karena itu, strategi pemasaran pun diubah, mulai dari menaikkan harga tiket disertai perbaikan-perbaikan. Termasuk dibuatkan paket wisata khusus, seperti sensasi menginap di rumah penduduk atau homestay.
Saat ini, konsep pengembangan wisata di Nglanggeran meliputi tiga unsur penting yakni geodiversity, biodiversity, dan culturediversity. "Kami menerapkan prinsip konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat sekaligus. Ini untuk mendapatkan manfaat ekonomi sehingga bisa tetap menjaga dan melestarikan alam, budaya, serta menjaga kehidupan sekitar," kata Mursidi.
Berkelas Dunia
Kerja keras seluruh perangkat desa selama belasan tahun mengelola potensi daerah mereka untuk kesejahteraan bersama pun mencapai puncaknya. Ini terjadi ketika Sekretaris Jenderal Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO) Zurab Pololikashvili mengumumkan 44 desa wisata terbaik sedunia 2021. Ke-44 desa tadi berasal dari 33 negara di lima benua. Di antara ke-44 tadi, tersebut nama Nglanggeran.
Pengumuman ini dilakukan saat “Thematic Session” Sidang Umum ke-24 organisasi tersebut di Madrid, Spanyol, Kamis (2/12/2021). UNWTO telah menetapkan sembilan kriteria penilaian desa wisata terbaik dunia. Termasuk dalam daftar itu adalah sumber daya alam dan budaya, promosi, dan konservasi sumber daya budaya, keberlanjutan ekonomi, dan sosial.
Kemudian ada pula penilaian soal keberlanjutan lingkungan hingga potensi dan pengembangan pariwisata serta integrasi rantai nilai. “Penghargaan ini adalah bentuk pengakuan terhadap desa-desa yang berkomitmen untuk menjadikan pariwsata sebagai pendorong yang kuat bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya,” kata Pololikashvili, seperti dikutip dari situs UNWTO.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno menyambut baik capaian ini seraya memastikan Nglanggeran adalah sebuah destinasi kelas dunia. Dia juga memberi catatan khusus karena kebersamaan masyarakat, pemerintah daerah, dan pengelola, yang akan menempatkan pariwisata sebagai motor penggerak pembangunan di desa.
Pencapaian membanggakan Nglanggeran menambah deretan penghargaan yang pernah mereka terima sebelumnya sebagai desa wisata terbaik di tingkat ASEAN untuk pariwisata berkelanjutan pada 2017 dan 2018. Prestasi ini juga diharapkan menjadi momentum kebangkitan ekonomi Indonesia khususnya di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Ini jadi angin segar di tengah hiruk-pikuk pandemi dan tantangan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja hampir dua tahun belakangan. Juga selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan dalam rangka memaksimalkan kontribusi desa wisata, lapangan kerja, dan mengurangi kesenjangan di pedesaan," kata Sandiaga dalam pernyataanya, Sabtu (4/12/2021).
Ketika memberi sambutan pada Anugerah Desa Wisata 2021, Selasa (7/12/2021), Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut peran penting desa wisata di era pandemi. Kondisi yang tidak menentu membuat pemerintah fokus untuk membangkitkan wisata bagi pasar domestik.
Sementara itu, peneliti pada Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada Destha Titi Raharjana, seperti diwartakan VOA, menyebut bahwa prestasi tingkat dunia Nglanggeran bermakna luas. Kuncinya ada pada kekompakan kepala desa, tokoh masyarakat, dan generasi muda dalam membangun kesamaan visi untuk pengembangan desa mereka. Hal semacam ini menurut mentor pada Desa Wisata Institute tersebut tidak dimiliki oleh banyak desa wisata di Indonesia.
Kendati pandemi, para pemangku kepentingan terus bergerak mencari cara, mulai dari kegiatan tur virtual hingga pemasaran bahan olahan cokelat sebagai produk asli Nglanggeran melalui media sosial. Semoga pencapaian kelas dunia dari Nglanggeran dapat menular kepada desa-desa wisata lainnya di Indonesia.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari