Pagi 11 April 1815. Gubernur Hindia Timur saat itu, yaitu Sir Thomas Stamford Bingley Raffles, ketika bangun tidur baru menyadarinya fakta sesungguhnya. Bahwa suara gemuruh dentuman letusan yang pertama kali didengarnya sejak lepas subuh pada tanggal 5 April, yang terdengar berulang-ulang setidaknya tiap lima belas menit, bukanlah suara meriam.
“Suara itu, pada awalnya disangka suara tembakan meriam, sampai-sampai satu detasemen tentara siap dikirim dari Yogyakarta untuk memeriksa apakah wilayah terdekat sedang diserang. Dan di pantai kapal-kapal langsung disiagakan untuk merespons kemunculan asal suara tersebut,” tulis Raffles dalam karyanya The History of Java.
Raffles menjangkah keluar kamar dan berjalan-jalan di kebunnya. Abu vulkanik setinggi lututnya telah memenuhi pelataran istananya dan langit mendung terasa memuramkan pagi itu. Raffles termangu, menyadari suara dentuman yang didengarnya beberapa waktu ini ternyata bersumber dari letusan gunung api yang dahsyat. Saat dia masih termangu, saat itu pulalah setidaknya 10.000 rakyatnya di Sumbawa terpanggang letusan Tambora.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1547283488_tambora_explosion1.jpg" />
Ilustrasi lukisan kuno, Letusan Gunung Tambora. Sumber foto: Wordpress
Menunjukkan karakter diri sebagai seorang birokrat modern dan seorang pemikir, Reffles segera meminta laporan tertulis lengkap dari bawahan-bawahannya di daerah. Raffles juga segera memberi instruksi pada Owen Phillips, seorang letnan di angkatan laut Kerajaan Inggris, untuk meninjau langsung ke lokasi.
Phillips memberikan catatan tentang yang dilihatnya di Dompu, juga mencatat secara rinci laporan Raja Sanggar dari Kerajaan Sanggar, sebagai saksi mata atas peristiwa itu, yang nantinya menjadi salah satu sumber utama dari data penulisan karya Raffles:
“Dalam perjalananku, aku melewati hampir seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran melanda penduduk. Bencana telah memberikan pukulan hebat. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda-tanda banyak lainnya telah terkubur. Desa-desa hampir sepenuhnya ditinggalkan, dan rumah-rumah rubuh. Penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan. Diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sanggar. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga mati dalam jumlah yang besar…”
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1547283745_gunung_api_volcano.jpg" />
Ilustrasi Letusan Gunung Tambora. Sumber foto: Wordpress
Namun sialnya baru berselang tiga bulan, di bulan Agustus, setelah mendengar laporan kasus terjadi kelangkaan pangan di Sumbawa, Raffles lantas mengeluarkan kebijakan mengirim kapal bermuatan beras sebagai bantuan bencana ke Sumbawa. Raffles tentu sangat membanggakan kebijakan kemanusiaannya itu sebagai mengemban spirit ‘abad pencerahan’ Eropa dalam karya klasiknya itu, juga tindakan yang menurutnya mencerminkan visi kebijaksanaan Kerajaan Inggris Raya.
Meskipun dalam hitungan modern saat ini, langkah kemanusiaan itu sebenarnya jauh dari memadai dan terasa menyedihkan. Beberapa ratus ton beras tentu sangat kurang untuk memberi makan lebih dari dua puluh ribu pengungsi.
Terlihat jelas, bagaimana gambaran keseluruhan jangkauan kerusakan yang terjadi sepertinya lambat disadari oleh Gubernur Jendral di Hindia-Belanda saat itu. Ini tercermin dalam The History of Java. Mengingat skala petaka erupsi Tambora, menjadi aneh bahwa lukisan bencana katastropik itu nisbi hanya mendapat ruang penulisan minimal.
Pompeii di Timur
Sejak memasuki April 1815, gempa-gempa kecil dan erupsi-erupsi permulaan telah terjadi terus-menerus, yang waktu itu diperkirakan tubuh gunung mencapai ketinggian 4.200 m dpl. Aktivitas vulkanik ini semakin lama semakin meningkat.
Puncaknya terjadi pada 10 April 1815. Letusan besar terjadi di malam hari. Konon, menampakkan tiga kolom nyala api yang memancar dari kawah di puncak Tambora dan telontar hingga 43 kilometer. Menurut kesaksian Raja Sanggar yang diceritakan kepada Letnan Owen Philip—utusan Raffles untuk mencari fakta dan efek letusan—ketiga kolom itu bergabung menjadi sesuatu yang mengerikan. Dalam waktu singkat tubuh gunung berubah laksana cairan api yang terlontar ke berbagai penjuru.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1547284351_Capture_12.JPG" />
Rekonstruksi rumah masyarakat Kesultanan Tambora (gambar oleh Surya Dewi). Sumber foto: Kemdikbud
Ya, letusan Gunung Tambora adalah sebuah letusan ‘super-kolosal’ yang maha dahsyat dengan skala 7 VEI (Volcanic Explosivity Index). Konon, material lontar vulkanik yang dikeluarkan mencapai 150 km². Sebuah skala letusan tertinggi di masa sejarah masyarakat modern, yang hanya kalah oleh letusan ‘mega-kolosal’ Gunung Toba yang terjadi sekitar 73.000 tahun lalu dan dicatat sebagai letusan ‘super volcano’ atau skala 8 VEI.
Ada catatan letusan ini berlangsung 4-5 hari. Walhasil, bukan hanya tubuh gunung api itu runtuh hingga tersisa 2.851 meter. Tapi, sekaligus ambles sehingga membentuk kaldera berdiameter 7 km dan kedalaman 1,1 km.
Proses ini menciptakan awan panas dengan volume sekitar 5,6 km? suhu 800?C, yang segera menerjang apa saja seperti lautan api dengan kecepatan 60 km/jam sehingga melenyapkan Kerajaan Sanggar, Tambora, dan Pekat. Sebagian dari material vulkanik masuk ke Laut Flores dan menciptakan tsunami menghajar pantai-pantai di Besuki, Madura, Maluku, dan lainnya.
Bukan hanya terdengar hingga di Yogyakarta yang berjarak 800-an km seperti catatan Raffles, menurut Kusumadinata (1979) pada aktivitas permulaan yang terjadi pada 5 April 1815 suara gemuruh itu bahkan terdengar hingga Batavia sejauh 1.250 km dan Ternate sejauh 1.400 km.
Ketika letusan terjadi pada puncaknya, abunya mengarah ke barat laut menyebabkan Sumbawa, Lombok, Bali, Madura, dan sebagian Jawa Timur menjadi gelap gulita selama tiga hari. Selain itu, gelegar suara letusannya jauh lebih dahsyat dibanding lima hari sebelumnya, terdengar hingga Bengkulu dan Padang di Pulau Sumatra yang berjarak 3.000 km.
Kusumadinata (1979) dalam buku Data Dasar Gunungapi Indonesia mencatat, jumlah korban langsung akibat letusan itu diperkirakan mencapai 10.000 jiwa. Dampak ikutannya berupa bencana penyakit dan kelaparan mencapai 38.000 di Sumbawa dan 44.000 di Lombok. Seluruh korban akibat letusan ini diperkirakan mencapai angka 92.000 korban meninggal.
Sementara, jikalau merujuk ahli botani asal Swiss yang merupakan peneliti pertama Tambora pascaletusan pada 1847, Heinrich Zollinger, di Bali juga tercatat jumlah orang meninggal hingga 25.000 jiwa. Sehingga total korban di ketiga pulau (Sumbawa, Lombok, dan Bali), baik yang mati seketika maupun karena penyakit dan kelaparan, mencapai angka kisaran 117.000 jiwa.
Masyarakat Sumbawa mengenang masa itu sebagai ‘zaman ujari au’ (zaman hujan abu). Sebuah era penuh penderitaan. Dan barangkali saking traumanya situasi psikologis masyarakat pascaerupsi, tak aneh jikalau nama Tambora sendiri yang berasal dari bahasa Bima menurut masyarakat setempat konon berasal dari dua kata yakni ‘ta’ dan ‘mbora’ yang berarti ajakan menghilang. Meskipun sebenarnya tak terlalu jelas sejak kapan nama Tambora disematkan sebagai nama gunung api itu.
Pada 15 Juli 1815 Tambora masih bergelora, walaupun aktivitasnya trennya makin menurun. Hingga Agustus 1819 masih terdengar suara gemuruh kuat disertai gempa bumi. Bara api pun terkadang masih terlihat dari kalderanya. Namun setelah itu, tidak tercatat lagi letusan, kecuali di 1847. Pada aktivitas letusan terakhir di 1913 dengan skala 2 VEI, terbentuklah kerucut baru di bagian barat daya gunung itu, yang kini dikenal dengan sebutan ‘Doro Afi Toi’.
Berbagai penelitian terhadap letusan Tambora mulai intens dilakukan. Dari catatan sejarah, sebelum Tambora meletus terdapat tiga kerajaan di sekitar area gunung, yaitu Kerajaan Tambora, Pekat, dan Sanggar. Ketiga kerajaan yang tercatat dalam Kitab Negarakertagama ini, dipastikan lenyap karena dampak letusan itu.
Dari berbagai eskavasi yang dilakukan di Situs Tambora ditemukan sejumlah artefak, ekofak, rangka manusia dan kontruksi arsitektur pemukiman. Berbagai temuan ini mengindikasikan, bahwa Sumbawa dulu merupakan bekas sebuah peradaban yang cukup maju. Dikatakan peradaban yang cukup maju dikarenakan interaksi masyarakat di Sumbawa sebelum letusan telah menunjukkan warna kosmopolitan yang lebih berbasis perdagangan dan bukan masyarakat petani.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1547284059_Capture_11.JPG" />
Temuan keramik Situs Tambora. Sumber foto: Kemdikbud
Sebutlah temuan artefak yang paling dominan seperti keramik berupa piring, cawan, dan mangkok, misalnya. Jikalau diamati dari motif ragam hias, serta bahan dan warna keramik, maka diperkirakan berasal dari Cina zaman dinasti Ching di abad ke 17-18. Pun jenis keramik lain, juga ditemukan dalam bentuk botol minuman keras produk Eropa. Menurut Zollinger, minuman Eropa seperti jenewer, anggur sudah dikenal dan diimpor oleh raja-raja Bima dari Singapura melalui Jawa.
Tambora merupakan salah satu lokasi geologi yang sangat menarik di Indonesia. Mengingat proses terbentuknya kalderanya laiknya Gunung Rinjani, tetangga dekatnya yang berjarak 170 kilometer, juga mengingat sejarah letusan Gunung Tambora yang termasuk letusan terbesar dalam sejarah masyarakat modern, maka Situs Tambora ini tentu layak jadi destinasi geowisata unggulan.
Terlebih lagi, di areal Situs Tambora juga menyisakan bukti adanya peradaban dari suatu komunitas yang terkubur laiknya kota Pompeii dan Heculaneum yang lenyap karena letusan gunung Vesuvius di abad 79. Sejalan agenda riset dan eskavasi ke depan, tentu akan semakin banyak ditemukan artefak, ekofak, dan rangka manusia serta hal lainnya sebagai bukti jejak peradaban Sumbawa.
Pada 2017 kawasan Gunung Tambora telah ditetapkan sebagai Geopark Nasional, dan kini tengah didorong oleh pemerintah Indonesia untuk masuk ke dalam daftar Global Geopark UNESCO. Harapannya tentu posisi Gunung Tambora segera menyusul tetangga dekatnya Gunung Rinjani yang telah ditetapkan UNESCO masuk daftar Global Geopark pada 12 April 2018. (W-1)