Desa adat Ratenggaro memiliki daya tarik pada keunikan rumah adat dan ratusan kubur batu berusia ribuan tahun. Kawasan pantainya pun tak kalah cantik dengan pasir putih halus dan ombak besarnya, cocok bagi penikmat olahraga berselancar.
Sumba adalah sebuah daya tarik lain dari Nusantara. Di pulau seluas 11.153 kilometer persegi ini bersemayam aneka keindahan alam dan keragaman budaya. Tak salah jika Focus, sebuah majalah wisata terkemuka Jerman, pada 2018, menobatkan Sumba sebagai Pulau Terindah di Dunia (The Best Beautiful Island in The World). Desa Adat Ratenggaro menjadi salah satu penyumbang tersematnya titel mentereng Focus bagi Sumba, salah satu pulau utama di Nusa Tenggara Timur.
Letak desa adat ini ada di ujung selatan Sumba. Tepatnya di Desa Maliti Bondo Ate, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, satu dari empat kabupaten yang membelah pulau berjuluk Negeri Seribu Bukit. Lokasinya persis di muara Sungai Wai Ha dan bersebelahan dengan Kampung Adat Wainyapu.
Ratenggaro merupakan gabungan dua kata, rate yang berarti kuburan dan garo, nama suku di Sumba. Dari hikayat setempat diketahui bahwa desa ini awalnya terbentuk usai perang antarsuku, di antaranya melibatkan warga dari Suku Garo. Perang berakhir ketika Suku Garo dikalahkan lawan dan seluruh warganya terbunuh serta dimakamkan di sekitar wilayah peperangan. Kisah inilah yang menyebabkan desa tersebut dinamai Desa Ratenggaro.
Uniknya, seluruh orang yang terbunuh dalam peperangan tadi dikubur dalam bebatuan atau menhir. Kubur batu ini berserak di sekitar desa, bahkan jumlahnya mencapai 304 buah. Teknik menhir di perkampungan ini diketahui sudah ada sejak zaman megalitikum atau sekitar 4.500 tahun lampau. Bentuknya beraneka rupa, umumnya seperti sebuah meja batu datar ditopang oleh pilar, tentunya berbahan batu pula.
Di antara kubur batu itu terdapat makam pendiri Ratenggaro, Gaura dan istrinya, Mamba. Beberapa menhir terletak di tepi pantai, sekitar 500 meter di belakang perkampungan. Dua di antaranya sangat istimewa. Kubur batu pertama adalah milik Ratondelo, anak laki-laki pasangan Gaura-Mamba, di kemudian hari dipercaya sebagai Raja Sumba. Setelahnya adalah kubur batu dari Rato Pati Leko, seorang pejuang paling dihormati oleh warga setempat.
Di luar itu ada empat menhir diabadikan sebagai tugu, yakni segel kampung sebagai penanda teritori desa adat. Tugu lain adalah Katoda, yaitu batu yang dipercayai bertuah bisa mendatangkan kemenangan dalam berperang. Jumlahnya dua buah. Tugu ketiga adalah kubur Ambu Lere Loha, yang dipercaya mempunyai kekuatan guntur kilat. Terakhir adalah tugu untuk meminta hujan.
Keunikan Ratenggaro tak hanya soal menhir. Kehidupan masyarakat di sana masih memegang kuat tradisi peninggalan para leluhur. Pemujaan terhadap para leluhur menjadi bagian utama dari kepercayaan mereka yakni Marapu, yang juga dianut oleh sebagian masyarakat di Pulau Sumba. Hal ini tampak dari bentuk tempat tinggal mereka. Penduduk di sana tinggal di rumah panggung dengan atap menara menjulang tinggi.
Menara pada rumah adat di Ratenggaro adalah yang tertinggi di antara rumah adat lain di seluruh Pulau Sumba. Tingginya mencapai 15 sampai 30 meter. Selain melambangkan status sosial, menara bak menggapai langit ini merupakan simbol penghormatan terhadap arwah para leluhur.
Dengan demikian, rumah tak hanya berfungsi sebagai tempat hunian, melainkan juga sebagai sarana pemujaan. Kampung Adat Ratenggaro pernah tiga kali nyaris musnah terbakar api. Kebakaran pertama terjadi sebelum 1964, dipicu oleh persaingan antardesa. Konon, ada lontaran panah api dari luar kampung. Api kemudian membakar seluruh rumah yang ada kampung adat itu.
Di tahun yang sama, peristiwa kebakaran terulang lagi ketika warga kampung tengah menggelar pesta adat di malam hari. Seperti perisitiwa kebakaran sebelumnya, peristiwa kebakaran kedua ini membuat semua penduduk kehilangan rumah mereka dan seluruh warga terpaksa mengungsi ke luar kampung. Kebakaran ketiga kalinya terjadi pada 2004 ketika perkampungan baru separuhnya dibangun ulang. Sebanyak 13 rumah ludes oleh si jago merah.
Bagi masyarakat setempat, mendirikan rumah adat merupakan pekerjaan besar. Pengerjaannya tidak hanya melibatkan semua penduduk kampung, melainkan juga restu dari para leluhur. Untuk itu, mereka melakukan ritual adat dipimpin oleh tetua desa. Tujuannya untuk mendapatkan petunjuk apakah leluhur mengizinkan mereka untuk membangun rumah atau tidak. Jika disetujui, ada rangkaian upacara lain yang harus dilaksanakan selama proses pembangunan rumah.
Pada 2011, rumah utama di Ratenggaro yaitu Uma Katoda Kataku, rumah sebagai simbolisasi ayah atau dituakan, telah selesai dibangun. Semua warga kampung yang berjumlah 600 jiwa hadir. Mereka bergotong royong menyumbang dana dan makanan serta membantu mendirikan empat tiang utama dan menara.
Rumah Adat Ratenggaro
Di Ratenggaro tak hanya ada Uma Katoda Kataku. Masih terdapat beberapa bangunan lain yang dihormati warganya, misalnya Uma Kalama (simbolisasi ibu), serta Uma Katoda Kuridan Uma Katoda Amahu (sebagai simbolisasi saudara ayah dan ibu). Posisi mereka saling berhadapan, mewakili empat penjuru mata angin.
Uma Katoda Kataku berada di bagian paling selatan dan menghadap ke utara. Rumah itu berhadapan dengan Uma Kalama, menghadapnya ke selatan. Uma Katoda Kuri berada di timur menghadap ke barat, berhadapan dengan Uma Katoda Amahu karena menghadap ke sisi timur.
Semua posisi punya arti. Uma Katoda Kataku misalnya, sebagai tempat tinggal pendiri kampung, berada paling selatan dan menghadap ke utara, mengingatkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari utara. Hal itu menjelaskan, meski berada di bibir pantai, penduduk Ratenggaro tak ada yang menjadi nelayan. Berasal dari daratan, mereka tidak memiliki tradisi melaut. Mereka seperti orang gunung terjebak di pantai.
Ciri lain dari rumah-rumah khusus itu ada pada gelang atau cincin di tiang utamanya. Posisi dan jumlah rumah juga tak pernah berubah sejak zaman nenek moyang ratusan tahun lalu. Setiap posisi rumah mempunyai segel masing-masing.
Material rumah pun masih sesuai dengan aturan adat. Tiang utama harus terbuat dari kayu kadimbil atau kayu besi. Atap dari alang-alang kering, bambu, kahi kara (sejenis akar gantung). Untuk pengikat bangunan, mereka menggunakan rotan. Jadi, rumah mereka tak mengandung unsur logam, baik paku untuk perekat maupun atap seng. Seluruh material diambil dari bahan alam di lingkungan sekitar.
Secara umum, rumah adat Ratenggaro berbentuk rumah panggung terdiri dari empat tingkat. Tingkat pertama diperuntukkan bagi hewan peliharaan warga. Tingkat berikutnya merupakan tempat tinggal pemilik rumah dan selanjutnya ada tingkat untuk menyimpan hasil panen. Kemudian di atas tempat memasak terdapat sebuah kotak yang merupakan tempat menyimpan benda keramat dan tingkat teratas adalah tempat untuk meletakkan tanduk kerbau sebagai simbol tanda kemuliaan.
Tipikal rumah adat di Desa Ratenggaro hampir sama seperti di Flores dan Toraja. Terdapat rahang babi hutan lengkap dengan taringnya dan tanduk kerbau digantung di dalam atau pekarangan rumah. Ini sebagai simbol bahwa orang yang memiliki rumah tersebut pernah melaksanakan upacara adat.
Wisata Pantai Rantenggaro
Saat berwisata ke desa adat ini, kita tidak hanya menikmati suguhan uniknya rumah adat dan tebaran ratusan menhir. Warga desanya juga menjual aneka hasil kerajinan seperti kain tenun Sumba dan manik-manik dari batu dan taring babi hutan.
Kawasan pantainya di belakang perkampungan juga layak dikunjungi. Garis pantainya lumayan panjang dan dapat disusuri tak hanya dengan berjalan kaki saja. Jika tak ingin cepat lelah, kita dapat menyewa kuda dari penduduk setempat.
Dikenal sebagai kuda Sumba, perawakannya lebih kecil kendati tak kalah gesitnya dengan kuda-kuda lain yang bertubuh lebih besar. Kuda-kuda ini juga bisa diajak berenang meski sedang ditunggangi, melintasi genangan setinggi 1-1,5 meter yang memisahkan garis pantai menjadi beberapa bagian.
Pasir pantainya putih bersih dan halus mirip butiran gula. Di beberapa titiknya membentuk gosong atau pasir timbul sepanjang hampir 200 meter dari bibir pantai. Gosong ini terbentuk saat air laut sedang surut. Biasanya terjadi ketika pagi hingga siang hari.
Munculnya gosong seolah mempertegas batas antara wilayah laut serta daratan di sekitarnya termasuk dengan muara Wai Ha, sungai terpanjang di Kabupaten Sumba Barat Daya, yakni 19 km. Tak seperti muara sungai pada umumnya, air Wai Ha yang mengalir ke laut umumnya tetap berwarna jernih dan jarang keruh.
Pasalnya aliran Wai Ha kebanyakan melintasi kawasan hutan belantara dan perkampungan adat yang memegang teguh kelestarian alam. Gelombang laut di Pantai Ratenggaro cukup besar karena berasal dari arus selatan Samudra Hindia. Ini sangat cocok bagi para pemburu ombak alias penggemar olahraga selancar.
Ratenggaro posisinya sekitar 56 kilometer dari Tambolaka, ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya, dan dapat ditempuh dalam 1,5 jam berkendara melewati aspal mulus. Kita bisa mencapai desa unik ini dari Tambolaka dengan menyewa mobil bertarif Rp500 ribu untuk dipakai seharian. Atau dapat menggunakan jasa ojek bertarif Rp200 ribu-Rp300 ribu.
Jangan lupa selalu menerapkan protokol kesehatan dan membawa alat dokumentasi untuk mengabadikan momen-momen spesial di sana. Selamat menjelajahi keindahan Pulau Sumba.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari