Indonesia.go.id - Memutus Siklus Empat Tahunan Kebakaran Hutan

Memutus Siklus Empat Tahunan Kebakaran Hutan

  • Administrator
  • Kamis, 31 Maret 2022 | 17:01 WIB
KARHUTLA
  Ilustrasi. Kebakaran lahan gambut di Kampar, Riau. Dituntut waspada menghadapi musim panas pada 2022 yang akan panjang. ANTARA FOTO/ Ronny Muharman
Indonesia mengalami bencana karhutla pada 2015 dan 2019. Kemarau 2022 diperkirakan akan panjang dan kerontang. Pemerintah pusat, pemprov, pemkab, dan TNI-Polri telah siaga.

Hujan sudah mulai  surut di Provinsi Riau. Langit cerah dengan hiasan awan terserak tipis-tipis. Ada isyarat yang cukup jelas bahwa kemarau akan datang lebih cepat dan diperkirakan akan memasuki puncaknya di akhir Mei nanti. Tak mau ambil risiko, Gubernur Riau H Syamsuar menetapkan status siaga darurat penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang berlaku selama 255 hari, dari 21 Maret hingga akhir November 2022.

Riau tak mau kecolongan. Di beberapa tempat, karhutla sudah terjadi dan menghasilkan awan hitam yang terbang ke langit. Salah satunya muncul dari kawasan hutan di Desa Rambah Samo Barat, Kecamatan  Samo Barat, Kabupaten Rokan Hulu. Api mulai terlihat sejak Minggu (27/3/2022), menjilami dari atas bukit, dan mulai merembet ke bawah.

Petugas lapangan langsung dikirim ke lokasi. Namun bukan hanya lantaran medan yang terjal, para petugas pemadam api, yang terdiri dari personel TNI-Polri, aparatur Dinas Kehutanan dengan dibantu warga desa setempat kesulitan menghadapi kobaran api karena tak ada sumber air di area perbukitan itu. Pompa-pompa dan kanon air yang disiapkan tak dapat  beroperasi. Petugas mencoba menahan api hanya dengan pukulan ranting pohon.

Tidak mudah mengerahkan tenaga bantuan. Lokasi kebakaran di daerah terpencil, yang hanya bisa didekati dengan sepeda motor sejauh 30 km. Bantuan udara diperlukan. Hanya heli-heli pembawa bom air yang bisa efektif  melawan api di sana. Bantuan heli dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih ditunggu. Data sementara, api telah melahap area vegetasi seluas 70 hektare (ha).

Seperti biasanya, karhutla kali ini terjadi di area hutan kritis, yang telah kehilangan kerimbunannya. Kawasan hutan tanpa tegakan pohon-pohon besar itu banyak terdapat di Provinsi  Sumatra Utara, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan dan sebagian Sulawesi. Sebagian terjadi karena sengaja, karena membakar menjadi cara mudah untuk membuka lahan (land clearing) perkebunan.

Karhutla selalu terjadi setiap tahunnya. Sampai pertengahan Maret 2022, di Provinsi Riau terjadi beberapa kasus karhutla dengan luas area  421 ha. Secara nasional, 10.078 ha lahan terbakar di sepanjang 2022 ini. Provinsi Sumatra Barat, Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara mencatat karhutla di atas 1.000 ha. Pada akhir Maret 2022, citra satelit menunjukkan ada titik-titik api di Aceh, Riau, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat.

Riau termasuk yang secara dini menyiapkan diri menghadapi bahaya laten karhutla. Masing-masing kabupaten pun berhitung dengan risiko yang ada dan tiga di antaranya telah mencanangkan status siaga, yakni Kepulauan Meranti, Bengkalis, dan Pelalawan. Mereka telah siap bekerja sama dengan pemerintah provinsi, pemerintah pusat, dan TNI-Polri.

Pemprov Riau menyatakan, siap menjalin kerja sama di lapangan. “Semua pihak telah memberikan paparan dan masukan hingga sampai pada kesimpulan penetapan status siaga daruratnya, sebelum kebakaran meluas. Sekarang seluruh sumber daya bisa kita kerahkan untuk operasi pencegahan dan pemadaman. Kita sedia payung sebelum hujan,” kata  Edy Afrizal, Kepala Pelaksana BPBD Riau.

Mengantisipasi karhutla di wilayah-wilayah rawan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar Rapat Koordinasi Teknis Pengendalian Karhutla dan Antisipasi di Musim Kemarau 2022 secara daring, Selasa (8/3/2021). Rapat dipimpin langsung oleh Menteri LHK Siti Nurbaya dan dilaksanakan untuk menentukan langkah menghadapi kemarau yang diprediksi mulai April 2022.

Menteri Siti Nurbaya menekankan perlunya perhatian dan antisipasi karhutla untuk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara yang diperkirakan akan mengalami kemarau kering, utamanya di periode Juli--Oktober 2022. Hal itu dinilai sangat penting mengingat, akan ada empat puluh event internasional G20 di Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Kejadian karhutla harus direspons secara cepat.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK Laksmi Dhewanthi mengakui bahwa kemarau 2022 akan lebih kering kerontang. Fenomena iklim La Nina bakal netral, katanya, dan fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) akan absen. Dalam kondisi ini, tak akan banyak pasokan udara basah ke langit Indonesia untuk berproses menjadi awan hujan.

Menurut Laksmi Dhewanti, sejumlah kasus karhutla telah terjadi, dan sejauh ini dapat  diatasi. Namun, ada potensi muncul karhutla baru di sepanjang kemarau 2022. Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, katanya, pihaknya akan konsisten cepat memadamkan api sebelum membesar.

Laksmi Dhewanti juga menyatakan kesiapannya mengajak tim modifikasi cuaca (TMC) dari BRIN untuk kembali beraksi menyemai awan (cloud seeding), untuk mendatangkan hujan di atas lahan-lahan gambut di daerah potensial karhutla. Sekali lahan gambut terbakar, eskalasinya sulit untuk dikendalikan.

‘’Kita harus menyiapkan upaya yang lebih intensif dibandingkan selama tiga tahun terakhir,’’ ujar Laksmi.

Kewaspadaan dan kesiagaan itu memang perlu terus dicanangkan. Pemerintahan Presiden Joko Widodo punya pengalaman buruk dengan kemarau panjang yang meranggas. Pada 2015, skala karhutla mencapai 2,6 juta hektare. Berselang 4 tahun, yakni 2019, karhutla kembali muncul dalam skala besar hingga 1,65 juta ha. Tahun berikutnya menyusut menjadi 297 ribu ha (2020), dan 359 ribu hektare pada 2021.

Tak heran, kini semua kekuatan disiapkan untuk menghadapi karhutla. “Kutukan” siklus 4 tahunan itu harus diakhiri untuk selama-lamanya.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari