Lapangan Merdeka akan dikembalikan fungsinya sebagai paru-paru kota sekaligus daerah resapan air dan ruang publik yang nyaman di tengah kota.
Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Seperti halnya wilayah lain di tanah air, kota yang menjadi pusat pemerintahan Provinsi Sumatra Utara tersebut punya banyak tempat bersejarah. Sebagian di antaranya, telah menjadi cagar budaya sehingga keberadaannya dilindungi oleh negara.
Salah satunya adalah Lapangan Merdeka yang berada di kawasan Kesawan, Kecamatan Medan Barat. Lapangan seluas 4,88 hektare ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya pada 28 Oktober 2021. Semula lokasinya adalah kebun tembakau Deli. Proses desain sebagai sebuah lapangan sudah direncanakan sejak 1872. Baru terwujud pada 1880 seiring kepindahan pusat pemerintahan Kesultanan Deli dari wilayah Labuhan Deli ke Medan.
Sultan Ma'moen Al Rasyid yang memerintah Kesultanan Deli era 1873-1924 adalah sosok pencetus dari pemindahan ibu kota pemerintahan dan dibangunnya lapangan terbuka pertama di Kota Medan tersebut. Ia anak dari Sultan Mahmud Al Rasyid yang menjadikan Kesultanan Deli makmur hasil perdagangan tembakau yang terkenal. Sarana pendukung berupa Stasiun Medan turut dibangun sekitar 100 meter dari lapangan dan dioperasikan pada 25 Juli 1886 oleh Deli Spoorweg Maatschappij.
Stasiun melayani jalur kereta api ke Labuhan Deli sejauh 16,7 kilometer. Jalur itu diperpanjang hingga ke Aceh atau dikenal sebagai jalur Atjeh Stoomtram Staatspoorwegen seperti ditulis dalam Yearbook of The Netherland East Indies pada 1916. Keberadaan stasiun di sisi lapangan sangat membantu mobilisasi warga berkumpul di lapangan untuk mengikuti acara-acara besar yang diadakan Sultan Deli di masa itu.
Pemerintah Kolonial Belanda mengenalnya sebagai De Esplanade atau lapangan terbuka. Residen Sumatra Timur, Willem Jan Marie Michielsen pada 6 Maret 1891 lewat suratnya bernomor 1169/4, menyatakan bahwa De Esplanade dapat dipakai oleh siapa saja dan untuk bermacam kegiatan.
Michielsen memerintahkan, penanaman puluhan pohon trembesi (Samanea saman) di sekeliling lapangan sebagai peneduh. Bibit pohonnya dibawa dari Pulau Jawa. Michielsen pula yang menyatakan De Esplanade sebagai titik nol kilometer Medan saat itu.
Saksi Sejarah
Agar menjadi sentra kegiatan masyarakat dan ramai dikunjungi, di sekeliling lapangan mulai didirikan bangunan-bangunan untuk kepentingan publik. Selain Stasiun Medan, dibangun pula Hotel Mijn De Boer yang dimiliki oleh Aeint Herman de Boer, seorang pengusaha Belanda dan dibangun pada 1898. Hotel ini pernah diinapi Raja Belgia Leopold II dan Mata Hari, seorang mata-mata yang terkenal.
Hotel tersebut telah berganti nama menjadi Grand Inna Dharma Deli Hotel, dikelola oleh PT Hotel Indonesia Natour di bawah Inna Group, yang merupakan BUMN. Kemudian di sebelah Hotel De Boer dibangun Balai Kota Medan pada 1908 bersama gedung de Javasche Bank yang kini menjadi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sumatra Utara. Turut dibangun pula Kantor Pos Medan yang beroperasi pada 1911 hasil rancangan arsitek Snuyf.
Sejumlah kegiatan besar pernah dilakukan pada masa kolonial di Lapangan Merdeka. Seperti penyambutan mendaratnya Fokker F-VII dengan registrasi H-NACC milik maskapai KLM sebagai pesawat komersial pertama yang mendarat di Hindia Belanda. Pesawat bermesin tunggal water-cooled Rolls-Royce Eagle IX itu dikemudikan dua pilot bergantian, yaitu Thomassen Thusessink van der Hoop dan Van Weerden-Poelman Plesman.
Mereka berhasil mendaratkan pesawat di De Esplanade pada 21 November 1924 setelah menempuh perjalanan selama lebih dari 120 jam dengan 22 kali perhentian (multistop) sejak berangkat pertama dari Bandar Udara Schipol, Amsterdam, 1 Oktober 1924. Pesawat melanjutkan perjalanan ke Batavia pada 22 November 1924 dilepas oleh ribuan warga Medan.
Pesawat mendarat di Bandara Tjililitan, Batavia yang saat ini dikenal sebagai Bandara Halim Perdanakusumah. Peristiwa itu tercatat di dalam sejarah penerbangan sebagai terbang lintas benua pertama di dunia. Total perjalanannya sejauh 15.800 km, antara Schipol ke Batavia.
Saat pendudukan Jepang era 1942, namanya diubah menjadi Fukuraido atau lapangan di tengah kota. Seperti dikutip dari website Pemerintah Kota Medan, setelah Jepang menyerah 15 Agustus 1945, pada 6 Oktober 1945 dilaksanakan rapat raksasa di Fukuraido. Rapat menyiarkan secara resmi berita proklamasi Indonesia, yang diumumkan Gubernur Sumatra Muhammad Hasan. Pada 9 Oktober 1945, nama Fukuraido diubah menjadi Lapangan Merdeka dan disahkan Wali Kota Medan saat itu, Luat Siregar.
Kembalikan Fungsi
Keberadaan Lapangan Merdeka belum tergantikan sebagai tempat berinteraksinya masyarakat sampai hari ini. Lapangan ini juga menjadi saksi bisu perkembangan Kota Medan menjadi sebuah metropolitan kendati saat ini dikelilingi oleh banyak bangunan. Lapangan juga makin bising oleh ribuan kendaraan berlalu lalang setiap hari dan memberi ancaman polusi udara. Karenanya, Wali Kota Bobby Nasution mencanangkan revitalisasi dan konservasi lapangan bersejarah ini.
Peletakan batu pertama oleh Presiden Joko Widodo pada 7 Juli 2022 menjadi penanda diawalinya revitalisasi. Anggaran senilai Rp174 miliar disiapkan dari APBD Provinsi Sumut dan Kota Medan. Presiden menyatakan bahwa revitalisasi sebagai upaya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Proses pembangunannya akan berlangsung hingga 2024 akhir.
Seperti dikutip dari Antara, Bobby menjelaskan bahwa pihaknya mengedepankan upaya konservasi lingkungan alam dengan mempertahankan pohon trembesi yang berusia ratusan tahun lewat konsep rain garden dan sponge garden. Sebuah panggung rakyat akan dibangun menggantikan fungsi pendopo seperti yang ada saat ini. Pada salah satu sisi ikut dibangun lintasan lari (jogging track) dan arena bermain anak.
Di bawah lapangan juga akan dibangun dua lantai ruang bawah tanah untuk beberapa fungsi. Seperti galeri yang dikelola Pemkot Medan, toko-toko cenderamata, toko buku, pusat kuliner, bioskop, dan tempat ibadah. Lantai lainnya juga akan difungsikan sebagai lahan parkir. Ini untuk menampung kendaraan yang selama ini parkir di jalan-jalan seputar Lapangan Merdeka.
Setelah proses revitalisasi selesai nantinya, Bobby berharap Lapangan Merdeka dapat kembali ke fungsinya sebagai paru-paru kota dan resapan air di tengah kota. Juga menjadi ruang publik yang nyaman untuk tempat masyarakat beraktivitas.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari