Presiden dan istri kompak memakai pakaian adat dari Provinsi Sulawesi Tenggara yang sarat makna dan budaya masa lampau.
Ada satu hal menarik yang selalu dinanti masyarakat ketika Perayaan Hari Kemerdekaan pada 17 Agustus di Istana Merdeka. Mereka selalu ingin tahu, pakaian ada dari daerah mana yang ingin dikenakan oleh Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana saat memimpin upacara Detik-Detik Poklamasi. Rasa penasaran ini bukan tanpa sebab lantaran Presiden sudah berkali-kali memakai pakaian adat saat memimpin upacara. Hal serupa juga terjadi pada Peringatan HUT RI Ke-77, 17 Agustus 2022.
Ternyata, Presiden memakai pakaian adat Dolomani milik Kesultanan Buton, Sulawesi Tenggara yang terdiri dari baju, celana, sarung dan kopiah atau penutup kepala. Bajunya terdiri dari jubah merah dengan ornamen putih di pinggirannya. Lalu Presiden mengenakan kotango, yaitu baju dalaman berupa kemeja putih gading berhias payet. Presiden pun mengenakan celana merah dengan ornamen senada seperti di jubahnya.
Tak ketinggalan, Presiden memakai kopiah bundar merah berornamen putih dan sarung cokelat putih menutup bagian atas celana panjangnya. Senjata badik atau ewanga turut terselip di pinggang Presiden dan diperkuat dengan sulepe atau ikat pinggang logam. Presiden pun menggenggam sebilah katuko atau tongkat kayu berukuran 1 meter sebagai tanda pemimpin dan makin membuat gagah penampilan Kepala Negara. Ibu Iriana pun ikut mengenakan pakaian Buton warna biru, yang sepintas mirip pakaian adat Minangkabau lengkap dengan ornamen di kepala dan songket serta kain tenun.
Tak hanya Presiden dan istri, namun seluruh tamu undangan dan Pasukan Pengawal Presiden turut memakai pakaian adat dari 34 provinsi. Presiden sudah mengawali tradisi memakai pakaian adat saat menghadiri Peringatan Detik-Detik Proklamasi di Istana Merdeka sejak 2017. Tujuannya, ingin mengenalkan adat istiadat Nusantara kepada dunia. "Negara kita ini adat dan tradisinya banyak sekali. Pakaian adat juga banyak, ratusan mungkin ribuan," ujar Presiden di Istana Merdeka saat HUT RI 2018.
Ketika memimpin upacara HUT RI 17 Agustus 2017, Presiden mengenakan pakaian adat daerah Tanah Bumbu, Kabupaten Batulicin, Kalimantan Selatan. Sedangkan Iriana menggunakan pakaian adat Minangkabau, Sumatra Barat. Setahun kemudian, giliran pakaian adat Meukusah lengkap dengan penutup kepala khas, meukeutop dari Daerah Istimewa Aceh yang digunakan Presiden untuk memimpin upacara pengerekan bendera nasional di halaman Istana Merdeka.
Pada 2019, Presiden ganti memakai baju kebesaran adat Kerajaan Klungkung, Bali lengkap dengan bawahan kain batik dan penutup kepala. Lanjut setahun setelahnya, Presiden kembali memperkenalkan kekayaan adat Nusantara lewat pakaian adat berantai Nunkolo milik Kerajaan Amanatun di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Motifnya bernama kaif warna merah dan putih dengan corak tumbuhan ditambah aksesoris logam perak serta penutup kepala bernama dester berbentuk dua tanduk kecil yang bermakna pemimpin yang melindungi rakyatnya. Presiden juga menyematkan tas sirih pinang dan kapur yang ia selempangkan menyilang dari bahu kiri ke kanan yang melambangkan budaya pemersatu, saling menghormati, dan kasih sayang.
Setahun kemudian, Presiden memilih pakaian adat Lampung untuk ia perkenalkan dalam Peringatan Detik-Detik Proklamasi di halaman Istana Merdeka untuk meyambut Perayaan Kemerdekaan RI Ke-76. Presiden memakai baju lengan panjang putih dipadukan celana panjang warna senada.
Bagian luarnya dibalut sarung tumpal, yaitu kain sarung khas Lampung yang dipakai menutup celana dari pinggang hingga lutut. Penampilan Presiden saat itu ikut dilengkapi dengan kain selendang, ikat pinggang, dan tutup kepala, semuanya berwarna senada yaitu merah.
Sarat Makna
Pakaian adat Dolomani dipersiapkan khusus oleh Pemerintah Provinsi Sultra. Menurut Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Baubau, Wa Ode Nursanti Monianse seperti dikutip dari TV One, pakaian adat serupa tersebut sering dikenakan oleh Sultan Buton ke-35, Sultan Muhamad Ali. Pakaian ini aslinya berwarna serba hitam dan hanya dipakai ketika ada acara-acara resmi kesultanan. Khusus untuk menyambut Hari Kemerdekaan, Dolomani dibuat dalam warna merah dan putih.
Ada beragam makna terkandung di dalam Dolomani. Salah satunya yaitu sulaman bermotif bunga rongo yang melambangkan perjalanan seorang pemimpin. Ia bermula dari bawah, lalu naik ke atas menjadi seorang pemimpin. Kemudian, ia akan turun lagi ke bawah menjadi rakyat biasa. Ada juga ornamen tumbuhan dengan buah yang manis, tapi gatal. Ini menggambarkan bahwa pemimpin harus waspada terhadap bahaya yang mengancam daerahnya.
Penutup kepala berornamen bunga memiliki kaligrafi bertuliskan "maulana" yang bermakna seorang pemimpin harus mampu membawa kesejahteraan. Ia juga harus amanah dan mengutamakan kepentingan rakyat daripada pribadi. Pada sisi kanan dan kiri baju dilengkapi sulaman ornamen ake yang menggambarkan dua ekor burung yang memandang ke kiri dan kanan. Maknanya ialah seorang pemimpin selalu waspada terhadap bahaya yang mengancam negeri.
Pakaian ini dijahit khusus oleh penjahit Baubau bernama Husein. Ia mengakui hanya perlu waktu dua hari untuk membuatnya sebelum dikirimkan ke Jakarta. "Saya merasa bangga bisa membuatkan pakaian Dolamani untuk dipakai Presiden saat 17 Agustus 2022," ucapnya.
Sekilas Kesultanan Buton
Kesultanan Buton sudah berdiri sejak 1332 silam dan terletak di pulau bernama sama di Sultra. Pulau seluas 4.408 kilometer persegi itu dikenal sebagai penghasil aspal alam. Kerajaan ini mencapai masa kejayaannya pada abad 16 ketika penyebaran Islam di wilayah tersebut makin marak.
Kesultanan ini adalah satu dari sedikit kerajaan di Nusantara yang sulit ditaklukkan oleh Kolonial Belanda. Berbeda dari kerajaan-kerajaan di Nusantara yang menerapkan monarki absolut, bentuk pemerintahan Kesultanan Buton adalah monarki konstitusional.
Sehingga, pada periode kerajaan berubah menjadi kesultanan, mereka lebih mengedepankan demokrasi. Sultan tidak diwariskan berdasarkan keturunan saja, namun dipilih oleh Siolimbona, yakni dewan yang terdiri dari sembilan orang penguasa dan penjaga adat Buton. Selain itu, kesultanan ini memiliki undang-undang sendiri, lengkap dengan badan-badan yang bertindak sebagai legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
Undang-undang di Kesultanan Buton disebut Murtabat Tujuh, yang diresmikan oleh Sultan La Elangi (1597-1631) dan digunakan hingga kesultanan dihapuskan. Uniknya, hukum di Kesultanan Buton ditegakkan bagi semua orang, tidak hanya rakyat jelata tetapi juga pejabat istana atau bahkan sultan sekalipun.
Terbukti, selama empat abad berdiri sebagai sebuah kesultanan Islam, terdapat 12 sultan Buton yang dihukum karena melanggar undang-undang. Kesultanan Buton juga memegang lima falsafah hidup, yakni agama (Islam), Sara (pemerintah), Lipu (negara), Karo (diri pribadi/rakyat), dan Arataa (harta benda).
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Elvira Inda Sari