Indonesia.go.id - Eksotika Klasik-Modern Stasiun Solo Balapan

Eksotika Klasik-Modern Stasiun Solo Balapan

  • Administrator
  • Kamis, 25 Agustus 2022 | 13:34 WIB
CAGAR BUDAYA
  Stasiun Solo Balapan. DISPAR SURAKARTA
Stasiun Solo Balapan kini dilengkapi moda kereta bandara dan kereta rel listrik kedua di Indonesia, setelah KRL Commuter Jabodetabek.

"Ning Stasiun Balapan

Kuto Solo sing dadi kenangan

Kowe karo aku

Naliko ngeterke lungamu

(Di Stasiun Balapan

Kota Solo yang jadi kenangan

Kamu dengan aku

Ketika mengantarkan pergimu)"

 

Lirik berbahasa Jawa di atas merupakan bagian pembuka dari tembang Stasiun Balapan yang melambungkan nama penyanyi campursari mendiang Didik Prasetyo alias Didi Kempot di 1999. Lagu dari album perdana berjudul sama itu dibuat Didi berdasarkan pengalaman semasa ia menjadi pengamen di Stasiun Solo Balapan di era 1984. 

Penyanyi yang telah menciptakan sekitar 800 lagu itu begitu terkesan dengan stasiun utama di Kota Surakarta tersebut. Pasalnya, ada begitu banyak orang datang dan meninggalkan kota seluas 44,02 kilometer persegi melalui Solo Balapan setiap harinya. Stasiun yang beralamat di Jl Wolter Monginsidi nomor 112, Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari itu masuk dalam jajaran perhentian kereta tertua di tanah air.

Mengutip buku mengenai statistik perkembangan perkeretaapian di Hindia Belanda pada 1896 yang ditulis Pemerintah Hindia Belanda disebutkan bahwa Solo Balapan dibangun pada 1864 lampau. Diawali peletakan batu pertama oleh Raja Mangkunegara IV disaksikan Gubernur Jenderal Baron van de Beele.

Enam tahun kemudian atau tepatnya pada 10 Februari 1870, stasiun ini diresmikan hampir berbarengan dengam dibukanya jalur antara Kedungjati ke Gundih dan berakhir di Solo pada akhir 1869. Jalur berikutnya, yakni Ceper-Solo dibuka pada 27 Maret 1871. Jawatan kereta api Hindia Belanda, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschaappij (NISM) adalah desainer pembuatan jalur itu. Semua selesai pada 21 Mei 1873. Jalur tersebut adalah Semarang-Vorstenlanden dan Kedungjati-Ambarawa.

Awalnya, Solo Balapan didirikan di atas lahan bekas arena pacuan kuda yang merupakan Alun-Alun Utara Pura Mangkunegaran. Belakangan mereka mendapatkan lahan pengganti di kawasan Manahan dari keluarga Kasunanan Surakarta. Itulah sebabnya dinamai Solo Balapan. Saat resmi beroperasi, stasiun tersebut melayani ruas Semarang-Solo sejauh 74 kilometer di atas jalur besi selebar 1.435 milimeter.

Tak seperti Stasiun Solo Jebres yang didesain indah bergaya Art Nouveau bercampur Neoklasik, arsitek Herman Thomas Karsten justru tampil beda. Ia membenamkan gaya Indische pada Solo Balapan. Ia lebih mengedepankan fungsi Solo Balapan sebagai pintu masuk dan keluar orang di Surakarta ke daerah-daerah lain atau sebaliknya. Karsten turut merancang perluasan sisi selatan Solo Balapan pada 1927, seiring pembangunan rel ganda yang melintasi stasiun tersebut. 

 

Modernisasi Solo Balapan

Sentuhan modernisasi ikut mewarnai perjalanan panjang stasiun kebanggaan masyarakat Solo--nama lain dari Surakarta. Ahmad Sugiana dalam jurnal Study on Interlocking System in Indonesia menyebutkan bahwa hal ini ditandai dengan penggunaan sistem persinyalan elektrik pada 1972. Produk yang pakai adalah Siemens seri DrS60. Stasiun yang berada di jantung Kota Solo itu menjadi yang kedua memasangnya, setelah Stasiun Bandung.

Stasiun yang punya 12 jalur lintasan kereta itu kembali dimodernisasi. Kali ini dengan diwujudkannya jembatan penyeberangan orang (JPO) beratap dan tertutup kaca sehingga terlindung dari panas matahari atau hujan. Fasilitas publik ini dikenal sebagai Skybridge Solo Balapan yang terbentang sepanjang 643 meter.

Skybridge yang mulai diuji coba 20 April 2017 itu menghubungkan Solo Balapan dan Terminal Bis Tirtonadi. Jembatan modern ini dilengkapi eskalator dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat umum untuk melintas, dimulai dari area parkir stasiun dan berakhir di pintu barat Tirtonadi.

Jembatan senilai Rp21,4 miliar ini memangkas perjalanan orang dari terminal ke stasiun atau sebaliknya yang semula berjarak 1,5 km. Hanya perlu waktu 10 menit berjalan kaki untuk melintasi fasilitas modern terintegrasi itu. Di salah satu sudut skybridge ada dua mesin pelaporan (check-in) otomatis untuk penumpang kereta.

Tak berhenti sampai di situ saja, karena mulai 29 Desember 2019 di dalam Solo Balapan juga disiapkan fasilitas kereta dengan tujuan Bandar Udara Internasional Adi Sumarmo. Sebuah stasiun khusus ikut didirikan menggunakan jalur 6-8. Stasiun baru bertingkat dua dan berdesain modern ini dilengkapi peron ruang tunggu, musala, gerai anjungan tunai mandiri (ATM), toilet dan layar informasi jadwal penerbangan.

KA Bandara Solo Balapan bertarif Rp7.000 sekali naik ini punya waktu tempuh 19 menit ke Adi Sumarmo atau sebaliknya dengan jarak tempuh sejauh 13,5 km. Calon penumpang pesawat ke Adi Sumarmo akan dilayani oleh rangkaian kereta diesel terdiri dari empat gerbong dilengkapi pendingin udara, rak koper, dan toilet.   

Terakhir, di Solo Balapan juga sudah ada kereta rel listrik (KRL) yang menghubungkan Surakarta dan Yogyakarta dan telah beroperasi sejak 10 Februari 2021. Semula moda transportasi yang juga dikenal sebagai KRL Commuter ini hanya ada di Daerah Operasi I PT KAI yang melayani Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, hingga ke Rangkasbitung.

Kereta yang dipakai pun sama, yakni KRL seri 205 buatan Kawasaki Heavy Industries, Jepang, dan diluncurkan di negara asalnya pada 1984. Ular besi ini didatangkan ke Indonesia pada 2020 lalu. KRL Joglo melayani lintasan sejauh 59,2 km dan waktu tempuh selama satu jam. Proyek itu menelan anggaran Rp2,1 triliun sekaligus menggantikan peran kereta diesel Prambanan Ekspres pada rute yang sama.

Untuk mencapai KA Bandara dan KRL Joglo ini, para penumpang harus mengaksesnya melalui fasilitas skybridge. Saat ini, Stasiun Solo Balapan menjadi bagian dari 175 benda cagar budaya yang menjadi aset berharga kota berjuluk The Spirit of Java tersebut.

Jika singgah ke Solo, jangan lupa mengunjungi kemegahan bangunan cagar budayanya yang sarat nilai sejarah masa lampau dan tetap patuhi protokol kesehatan.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari