Indonesia.go.id - Memperjuangkan Eksistensi Negara, dari Koto Tinggi ke Bidar Alam

Memperjuangkan Eksistensi Negara, dari Koto Tinggi ke Bidar Alam

  • Administrator
  • Sabtu, 3 September 2022 | 08:19 WIB
IBU KOTA NEGARA
  Monumen PDRI yang berada di Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Kabinet PDRI tak sempat beraksi di Bukittinggi. Rombongan Syafruddin Prawiranegara bergerak dari Koto Tinggi ke Bidar Alam dalam 3 minggu dan singgah di sejumlah nagari.

Bangunan Museum Bela Negara sudah berdiri megah di atas tanah perbukitan Nagari Koto Tinggi di Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota. Gaya arsitekturnya mutakhir, memadukan atap bangunan dengan dindingnya. Bangunan seluas sekitar 2.000 meter persegi itu terdiri dari dua segmen yang memiliki atap tinggi dan lancip pada salah satu ujungnya. Ketika kini kedua segmen itu tersambung, maka atap itu membentuk pola tanduk kerbau khas Sumatra Barat.

Meski belum seluruh interior dan eksterior bangunan rampung, kemegahannya sudah terlihat. Bangunan itu sudah siap difungsikan sebagai museum dan auditorium, sekaligus akan menjadi titik pusat dari pengembangan kawasan pariwisata, kuliner, dan pendidikan di wilayah pegunungan Sumatra Barat. Lokasinya ada di ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut.

Pada dasarnya bangunan itu merupakan sebuah monumen untuk mengenang Nagari Koto Tinggi, sebagai salah satu pusat pemerintahan Indonesia pada era Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). PDRI dimaknai sebagai tindakan bela negara untuk mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk menghapus eksistensi Republik Indonesia itulah serdadu Belanda menyerbu Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Namun, sebelum Yogyakarta jatuh dan diduduki tentara Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden (merangkap Perdana Menteri) Mohammad Hatta telah mengirim surat kawat pada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara. Syafruddin juga diberi mandat untuk membentuk Pemerintahan RI Sementara di Sumatra Barat.

Pilihan Hatta tidak salah. Pada hari-hari genting itu, Syarifuddin sedang berada di Bukittinggi, bersama sejumlah pemimpin republik lainnya. Kota Bukittinggi saat itu sepenuhnya dikuasai oleh kekuataan RI. Meski telegram resmi belum diterima, Syafruddin telah mendengar perintah itu dari radio. Tanpa membuang waktu, dia menggelar rapat persiapan pembentukan PDRI pada 19 Desember itu juga.

Di antara tokoh yang hadir dalam rapat itu, ada nama TM Hasan, Sutan Moh Rasyid, Kolonel Hidayat, dan beberapa lainnya. Deklarasi belum dilakukan, untuk melihat perkembangan. Setelah mendapat kepastian bahwa para pemimpin republik ditawan serdadu Belanda, di antaranya adalah Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dan H Agus Salim, maka persiapan deklarasi PDRI pun dimatangkan.

Namun, para pemimpin republik itu harus bergegas menyingkir karena pasukan Belanda bergerak dari Padang menuju Bukittinggi. Tujuan selanjutnya adalah, Nagari Lareh Sago Halaban di Kabupaten Limapuluh Kota. Jaraknya sekitar 45 km di sisi timur Bukittinggi atau 15 km dari Kota Payakumbuh.

Dari sebuah rumah gadang milik warga di Nagari Lareh Halaban itulah, pada 22 Desember 1949 Syafruddin Prawiranegara mendeklarasikan PDRI. Ia menjabat sebagai Ketua PDRI sekaligus Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan. Sementara itu, TM Hassan duduk sebagai Wakil Ketua PDRI sekaligus Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.

Gubernur Militer Sumatra Barat Sutan M Rasyid ditunjuk menjadi Menteri Keamanan dan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan dan Pemuda. Ada pula nama-nama Lukman Hakim,  Mananti Sitompul, dan Indracaya. Kabinet yang seadanya itu dinamai “Kabinet Perang”. Sementara itu, Nagari Lareh Sago Halaban menjadi pusat pemerintahannya.

Esok harinya Syafruddin menyampaikan pidato pertamanya. Dalam pidato yang penuh semangat itu Syafruddin selaku Ketua PDRI menegaskan bahwa Republik Indonesia masih berdiri. Ia menyerukan kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI untuk terus bertempur dan pantang menyerah.

Usai berpidato, rombongan pimpinan PDRI ini harus bergerak dan bergeser lagi ke lokasi yang lebih aman, yakni ke Nagari Koto Tinggi. Saat itu, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Sawah Lunto, Batu Sangkar, Sijunjung, dan beberapa kota lain di Sumatra Barat sudah diduduki Belanda.

Koto Tinggi pun menjadi pusat pemerintahan PDRI dengan sarana yang serba apa adanya. Gubernur Militer Sumatra Barat dan Markas Komando Divisi Banteng juga berkedudukan di sana. Syafruddin pun sempat mengeluarkan penetapan pembagian teritorium tentara di Sumatra dan mengukuhkan para gubernur militer masing-masing, yakni di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Sumatra Selatan. Segala keputusan itu dikeluarkan melalui radio.

Namun atas pertimbangan taktis, bahwa tentara Belanda terus memburu PDRI akan berniat bakal membungkamnya, untuk menyatakan bahwa RI telah habis, maka PDRI tidak boleh hancur. Hanya berjarak sekitar 20 km dari Bukittinggi, kondisi Koto Tinggi dianggap rentan. Maka, PDRI terpaksa harus bergeser lagi. Tujuannya adalah kantung republik di Badar Alam, Solok. Sementara itu, Gubernur Militer Sumatra Barat Sutan Moh Rasyid dan Divisi Banteng tetap bertahan di Koto Tinggi.

Maka, Syafruddin pun kembali memimpin kabinetnya bergerak dan kali ini ke Bidar Alam, Solok, satu kantung republik di Solok Selatan. Jaraknya ratusan kilometer, karena melalui jalur melambung dan menghindari kota-kota yang diduduki tentara Belanda. Perjalanan nan panjang itu sebagian harus ditempuh dengan jalan kaki, naik kuda, diselingi beberapa kali perjalanan air lewat jalur sungai dan ada sebagian dengan mobil.

Yang membuat perjalanan itu makin berat, rombongan harus selalu membawa aset utamanya berupa satu set radio transciever YBJ-6, yang kalau dirangkai ukurannya sebesar lemari. Beratnya lebih dari dua kuintal. Belum terhitung baterainya. Perangkat radio itu bisa diurai menjadi empat atau lima modul. Dengan radio itulah pemerintahan dijalankan.

Untuk mencapai Nagari Bidar Alam, rombongan yang berjumlah 39 personel itu, termasuk dua regu pasukan bersenjata dan empat operator radio itu, memerlukan waktu tiga minggu. Sejumlah dusun dan nagari menjadi tempat persingahan, dan menjadi “Ibu Kota Negara Perjuangan” meski selama satu dua hari.

Tempat persinggahan itu, seperti ditulis dalam risalah Nopriyasman, dosen ilmu sejarah di  Universitas Andalas (2021), ialah Bangkinang, Simpang Tiga, Taratak Buluh, Logas (Riau), lalu masuk kembali ke Sumbar melalui Sungai Durian, Taluk Kuantan, Kiliran Jao, Muara Labuh, Sungai Dareh, Abai Siat, Sumpur Kudus, Padang Japang, dan Bidar Alam.

Selama dalam perjalanan, rombongan Kabinet PDRI itu diterima dengan sukacita oleh rakyat dan memperoleh dukungan. Gubernur militer yang sekaligus Menteri Keamanan Moh Rasyid, menurut Nopriyasman, telah mengeluarkan instruksi kepada bupati-militer, wedana-militer, camat-militer,  hingga ke wali nagari perang di seluruh Sumatra Barat. Ujung tombaknya adalah Badan Pengawal Nagari Kota (BPNK), sebagai unit pertahanan terbawah.

Selain tugas-tugas perang, perangkat keamanan ini diperintahkan untuk mengurus pengungsi dan membantu PDRI. Kepada para ninik-mamak diserukan untuk membantu PDRI, dan gilirannya para ninik-mamak meminta anak-kemenakan menolong dan menghormati PDRI. Maka, pengembaraan para pemimpin PDRI itu mendapat bantuan dan perlindungan rakyat.

Dalam safarinya yang panjang itu, rombongan PDRI paling lama berada di Bidar Alam, yakni 95 hari, mulai 14 Januari hingga 18 April 1949. Ketika suasana perang mulai mereda, PDRI pun bergeser ke Nagari Sumpur Kudus, Sijunjung, dan berpindah dusun (jorong) tiga kali. Secara keseluruhan PDRI berada di Sumpur Kudus selama 60 hari, hingga 19 Juni 1949. Dari Sumpur Kudus, rombongan PDRI kembali ke Koto Tinggi, dengan mobil, dan berada di nagari sejuk itu selama 19 hari, yakni hingga 10 Juli 1949.

Tiga hari kemudian, Syarifuddin Prawiranegara sudah muncul di Yogyakarta, dan menyerahkan kembali mandatnya kepada sang pemberi amanah yakni Bung Karno dan Bung Hatta. Pihak RI dan Belanda sepakat guna menyelesaikan konfliknya di meja perundingan di Den Haag.

Namun perjalanan para pemimpin PDRI telah mengguratkan kisah-kisah epik. Jejak sejarahnya tak hendak dilupakan. Di Jorong Bulian Nagari Bidar Alam, Solok, rumah gadang beratap tanduk kerbau yang dulu digunakan sebagai kantor PDRI telah dipugar dan dijadikan cagar budaya. Bangunan yang digunakan sebagai Kantor PDRI di Nagari Silantai, Kecamatan Sumpur Kudus, Sijunjung, masih dirawat dan dijadikan monumen.

Di Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota, situs kantor PDRI masih terawat. Namun, warga ingin memaknai perjuangan PDRI secara lebih kontekstual dengan zaman. Maka, dibangunlah museum dan auditorium di atas bukit itu dan disebut sebagai monumen.

Di sana semangat perjuangan kemerdekaan dipadukan dengan spirit pembangunan masyarakat.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari

Berita Populer