Pertunjukan boneka kayu dari Desa Tomok telah menjadi salah satu suguhan wisata andalan dan diminati wisatawan ketika mengunjungi Danau Toba.
Rupanya sepintas mirip manusia dewasa dengan mata memancarkan tatapan kosong tanpa makna. Pada bahu dari tubuh yang mematung itu tersampir ulos, kain tenun khas suku Batak. Rambut pirangnya tersemat sortali, semacam penutup kepala. Ketika suara tabuhan musik dari gondang, kendang besar bertabung panjang, mulai dimainkan, tiba-tiba saja tubuh kaku tadi mulai bergerak mengikuti irama musik.
Dia adalah sigale-gale, boneka kayu unik dari Desa Tomok di Pulau Samosir yang berada di tengah Danau Toba di Sumatra Utara. Boneka kayu bercat cokelat itu menjadi bagian penting dari pertunjukan rakyat di Tomok.
Sigale-gale berasal dari kata gale yang dalam bahasa Batak Toba artinya adalah lemah gemulai. Agar mampu berdiri tegak, sigale-gale diletakkan pada sebuah podium kayu persegi panjang.
Fungsi dari podium kayu itu adalah sebagai lorong perlintasan jalinan tali yang dapat membuat boneka kayu ini bergerak seolah-olah sedang menari.
Seorang dalang akan mengendalikan tali-temali tadi supaya sigale-gale bisa bergerak luwes. Bak sistem syaraf dan sendi tubuh pada manusia, tali-tali tadi menghubungkan bagian badan sigale-gale mulai kepala, leher, lengan, dan telapak tangannya.
Jalinan tali tadi yang sepintas tampak rumit, tersamarkan posisinya oleh pakaian adat Batak Toba yang dikenakan sigale-gale serta podium kayu. Sigale-gale biasanya diiringi oleh tarian tor-tor yang salah satu ciri khas gerakannya adalah menelungkupkan kedua telapak tangan ke arah dada dan digerakkan naik turun ke depan berulang-ulang.
Menurut Kamus Budaya Batak Toba karya MA Marbun dan IMT Hutapea, sigale-gale selalu dimainkan bersama musik gondang dan iringan tari tor-tor saat upacara papurpur sapata. Seperti halnya ritual tolak bala, papurpur sapata ini dimainkan ketika ada kematian dan bertujuan agar keluarga atau kerabat yang ditinggalkan selalu terhibur atau sebagai pelipur lara.
Rayani Sriwidodo dalam bukunya Si Gale-Gale: Dongeng Rakyat Tapanuli mengatakan bahwa boneka kayu ini dibuat dan dimainkan jika orang yang meninggal tidak memiliki keturunan. Awalnya kehadiran sigale-gale sebagai sebuah cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun dan telah mengakar bersama masyarakat Batak sebagai sebuah kearifan lokal.
Bagi masyarakat Danau Toba, sigale-gale identik dengan kisah mengenang Manggale, sosok yang sangat dihormati masyarakat Batak Toba karena kehebatannya dalam memimpin perang. Dia adalah anak laki-laki satu-satunya dari Raja Rahat, penguasa Samosir. Sampai suatu hari, Manggale diutus sang ayah untuk mengusir tentara dari kerajaan tetangga.
Namun sayang, Manggale tewas di medan pertempuran dan membuat Raja Rahat merasa kehilangan yang luar biasa. Seluruh rakyat turut bersedih atas gugurnya pewaris tahta Raja Rahat. Oleh karena itu dicarilah pemahat terbaik di kerajaan untuk membuat patung kayu yang ciri-cirinya dibuat mirip dengan Manggale.
Bahkan, roh Manggale pun disisipkan ke dalam patung yang dinamai sigale-gale. Sehingga ketika Raja Rahat rindu kepada Manggale, ia akan mengajak si patung menari tor-tor dan kegiatan itu juga akan diikuti oleh seluruh rakyatnya, demi mengenang Manggale. Sampai hari ini tidak diketahui dengan pasti kapan seni pertunjukan sigale-gale itu dimulai di Pulau Samosir.
Seperti ditulis Sandy Situmorang dalam Seri Pengenalan Budaya Nusantara: Misteri Patung Sigale-gale disebutkan bahwa patung itu sebetulnya pertama kali dibuat oleh Raja Gayus Rumahorbo yang bermukim di Desa Garoga dekat Tomok pada 1930. Hebatnya, boneka sigale-gale buatan Raja Gayus saat itu bisa mengeluarkan air mata dan dapat mengusapkan ulos yang disandang di bahunya.
Namun, apa pun ceritanya, boneka sigale-gale telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan seni dan tradisi masyarakat di kawasan Danau Toba, khususnya di Desa Tomok, Samosir, dan selalu dipertunjukkan dalam setiap kunjungan wisatawan dan pesta budaya setempat.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari