Masuknya perantau Tionghoa di masa lampau turut menyumbang kekayaan budaya wastra tradisional Nusantara dan tetap masih bisa dinikmati sampai hari ini.
Ada pemandangan tak biasa sore itu di sepotong ruas Jl Medan Merdeka Utara tepat di depan pagar Istana Merdeka sepanjang hampir 300 meter. Biasanya jalan selebar sekitar 8 meter itu selalu steril dari lalu lalang kendaraan. Namun hari itu, Minggu (6/8/2023), sebuah panggung warna putih setinggi leher orang dewasa sudah terbangun, bentuknya memanjang yang ujung ke ujungnya sekira 200 meter. Sepintas, menyerupai catwalk, lintasan untuk acara peragaan busana. Panggung berlatar istana buatan tahun 1873 silam itu turut dilengkapi dua monitor raksasa.
Deretan ratusan kursi diletakkan pada dua sisi saling menghadap ke panggung. Terdapat pula panggung berukuran lebih kecil sejajar panggung panjang tadi. Menariknya, panggung hanya beratapkan langit biru dan tak ada sekat, membiarkan mata terpuaskan memandangi kemegahan bangunan istana seluas 2.400 meter persegi bergaya arsitektur Palladian karya Jacobus Bartholomeus Drossaers. Istana dilengkapi halaman rumput hijau, kolam air mancur, tiang bendera setinggi 17 meter, dan koleksi belasan pohon rindang berusia ratusan tahun.
Makin sore, kursi-kursi semakin disesaki ratusan orang, mayoritas adalah perempuan. Mereka seperti kompak mengenakan kebaya aneka warna, ada putih, hijau, merah, kuning, dan lainnya. Rupanya sore itu sedang digelar acara Istana Berkebaya untuk menyambut Perayaan Kemerdekaan RI ke-78 dan diadakan oleh Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Indonesia Maju (OASE KIM) dengan kegiatan utama yakni pagelaran kebaya. Busana yang ditampilkan adalah kebaya encim khas masyarakat Betawi, suku asli Jakarta.
Sebanyak 401 model, di antaranya terdapat menteri-menteri perempuan di Kabinet Indonesia Maju, anggota OASE KIM, duta besar perempuan dan istri dubes negara sahabat. Ikut pula pejabat-pejabat perempuan di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 33 finalis None Jakarta 2023, 34 finalis Puteri Indonesia 2023, pelajar SMK, dan sekitar 100-an model profesional. Turut tampil komunitas perempuan pecinta kebaya seperti Perempuan Berkebaya Indonesia, Jurnalis Berkebaya, Sobat Kebaya, Sixers Berkebaya, dan beberapa rumah desain khusus kebaya.
Mereka berlenggak lenggok di catwalk seolah tak ingin kalah dengan gaya para model profesional. Tengok saja gaya unik Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang melenggang penuh percaya diri di lantai catwalk sambil menyandang aksesoris payung kertas. Tepuk riuh menemani langkah diplomat senior Indonesia kelahiran Semarang, 27 November 1962 tersebut. Sore itu Retno memakai kebaya putih dan kain warna merah. Kebayanya dilengkapi payet-payet bermotif penari topeng Betawi dan bunga-bunga nuansa merah muda, oranye hingga hijau.
Beberapa kali ia harus menghentikan langkah karena cara berjalannya terlalu cepat dan meninggalkan sahabatnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa meter di belakang. Maklum saja, ini adalah pengalaman perdana pehobi olahraga lari tersebut melenggang di catwalk.
Lain lagi Loemongga Haoemasan, anggota OASE KIM dan istri Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Ibu tiga anak itu tampak luwes berjalan di panggung, tak terlihat canggung dan selalu menebar senyum. Harap maklum, perempuan 46 tahun ini dulunya adalah model profesional.
Presiden Joko Widodo yang hadir mengenakan baju sadariah hitam, peci warna senada, dan sarung hijau tersampir di leher pada acara Istana Berkebaya mengungkapkan bahwa pakaian khas tersebut mewakili karakter perempuan Indonesia yang anggun, lemat lembut, sopan, dan bersahaja. Diharapkan adanya peragaan busana kebaya ini mampu membangkitkan minat perempuan Indonesia untuk memakai kebaya di berbagai kegiatan di tanah air. Juga memunculkan ide, kreasi, dan inovasi baru dari busana kebaya yang menggambarkan keragaman bangsa Indonesia.
"Kita ingin agar menyenangi kembali pemakaian kebaya di seluruh kegiatan yang ada di tanah air. Kebaya adalah karakter masyarakat Indonesia. Saya kira ini harus terus dilakukan dengan gencar tidak hanya di Jakarta, tapi di daerah-daerah dengan kebaya masing-masing. Kalau ini terus ditampilkan seperti ini dengan kreasi-kreasi baru, dan desain-desain baru, inovasi akan muncul dengan warna berbeda menggambarkan Indonesia," ujar Presiden.
Sewaktu masih menjabat gubernur DKI Jakarta era 2012-2014, ia pernah mencetuskan kebijakan pemakaian kebaya encim dan baju sadariah sebagai salah satu seragam dinas resmi para pegawainya. Kebijakan itu dituangkan dalam Peraturan Gubernur nomor 209 tahun 2012. Itu adalah upaya melestarikan kebaya encim sebagai salah satu dari delapan identitas budaya asli Betawi selain ondel-ondel, bir pletok, gigi balang, kerak telur, kembang kelapa, batik betawi, dan baju sadariah seperti disebutkan dalam Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.
Buah Akulturasi
Kebaya adalah pakaian bagian atas berkarakteristik terbuka di bagian depan dan berhias sulaman serta telah menjadi adibusana perempuan di tanah Jawa sejak era Kerajaan Majapahit. Hal itu diperkuat oleh pernyataan sejarawan budaya Asia Tenggara, Denys Lombard, dalam bukunya Nusa Jawa Silang 2: Jaringan Asia. Ia menyebutkan kalau kebaya sudah hadir di Nusantara sejak sebelum abad 15 sekaligus melengkapi busana perempuan lainnya yakni baju kurung dari Sumatra.
Secara etimologi, kata Lombard, kebaya berasal dari bahasa Arab qaba dan selanjutnya oleh bangsa Portugis disebut sebagai cabaya. Masuknya para perantau Tionghoa dari daratan Tiongkok, utamanya dari Provinsi Hokkian bagian selatan, Coanciu (Quanzhou) dan Cianciu (Zhangzhou) ke Nusantara setelah abad 15 turut memperkaya model kebaya Nusantara.
Terlebih, mereka pun memiliki wastra tradisional, namanya beizi. Yaitu baju lengan panjang dan memiliki bukaan di bagian depan yang sejajar dari ujung atas ke bawah. Baju ini sifatnya uniseks atau bisa dipakai oleh laki-laki dan perempuan. Dalam perkembangannya, kebaya juga turut dipakai oleh para perempuan bangsawan kolonial Eropa dengan sejumlah modifikasi.
Mengutip website Warisan Budaya Takbenda Indonesia Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, kebaya encim disebut juga sebagai kebaya kerancang karena terdapat bordir di tepiannya dengan teknik dilubangi. Pasalnya, dalam bahasa Sansekerta, kerancang atau krancang artinya lubang atau bolong. Bahan kebaya encim umumnya kain katun dan organdi atau kain kaca karena jenisnya lebih tipis, lebih ringan, transparan, dan sedikit berkilau.
Modelnya mirip seperti kebaya yang kerap dikenakan R.A Kartini, bedanya kebaya encim lebih unik karena pada ujung bawahnya dibuat meruncing di bagian depan atau dikenal sebagai sonday. Patokan membuat sonday adalah sekitar 20-30 sentimeter dari bagian datar panggul. Sebaliknya, bagian belakang kebaya encim terlihat lebih pendek. Model kebaya encim dibuat mengikuti lekuk tubuh pemakainya untuk memberi kesan ramping.
Motif bordir kebaya encim berupa flora dan fauna seperti bunga anyelir, persik, melati, burung merak, kura-kura, dan phoenix. Kebaya encim dipadu padan dengan kamisol atau kutang nenek, kain batik motif pagi sore atau belah ketupat, selendang, alas kaki selop tutup, dan rambut dikonde cepol. Pemakaian selendang karena perempuan Betawi masih memegang teguh ajaran Islam yaitu menutup rambut kepala.
Kebaya encim tak melulu putih, karena ada pula warna-warna cerah semisal hijau toska, biru cerah, merah jambu, oranye, dan kuning. Warna tersebut dipercaya masyarakat Tionghoa memberikan keberuntungan. Menurut antropolog Diyah Wara, kata encim berasal dari bahasa Hokkian yang artinya bibi. Pada masanya, kebaya encim disebut pula sebagai kebaya nyonya baba atau kebaya nyonya.
Penyebutan nyonya mengacu kepada perempuan peranakan Tionghoa dan baba adalah sapaan untuk laki-laki peranakan. Lantaran lebih mudah penyebutannya, kebaya yang kerap dipakai perempuan peranakan Tionghoa dikenal sebagai kebaya encim.
Pemakaian kebaya encim oleh perempuan peranakan makin marak sejak awal abad 20 atau era 1911 seiring bertambahnya populasi masyarakat Tionghoa di Batavia. Kehadiran kebaya encim hasil akulturasi budaya pada akhirnya turut menyumbang makin beragamnya kekayaan wastra tradisional Nusantara.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari