Indonesia.go.id - Jejak Perabadan Masa Lampau di Kauman Semarang

Jejak Perabadan Masa Lampau di Kauman Semarang

  • Administrator
  • Sabtu, 29 Juni 2019 | 03:06 WIB
SEJARAH KAWASAN
  Bekas alun-alun Semarang yang telah berubah wujud menjadi New Metro Hotel. Foto: IndonesiaGOID/Intan Deviana

Masih banyak yang mengira bahwa lapangan Simpang Lima merupakan alun-alun kota Semarang. Hal tersebut tentu salah kaprah. Pasalnya, lokasi alun-alun Semarang yang sesungguhnya berada di Jl KH Agus Salim yang kini telah beralih fungsi menjadi kawasan perkantoran dan hotel.

Pada artikel sebelumnya, sudah ada tiga lokasi yang kami kunjungi pada agenda walking tour bersama Bersukaria. Mengitari kawasan Kauman Semarang, kami berkesempatan menelisik langsung jejak peradaban masa lampau di kawasan tersebut. Adapun tiga lokasi yang kami sudah kunjungi, yaitu dimulai dari bekas tangsi militer Belanda yang kini telah berubah wujud menjadi gedung Semarang Plaza, bangunan Paberik Hygeia sebagai pabrik air minum kemasan yang pertama kali dirintis di Semarang, hingga kawasan Pasar Johar yang sempat menyandang gelar sebagai pasar termegah dan terindah di Asia Tenggara.

Selanjutnya, ada empat lokasi terakhir yang siap kami datangi, meliputi perkampungan Kauman, hotel Dibya Puri, bekas alun-alun Semarang, dan masjid Agung Kauman.

Kampung Kauman

Pada destinasi kali ini, storyteller, sebutan bagi pemandu wisata Bersukaria, berkisah bahwa kampung Kauman tidak hanya ditemukan di kota Semarang, namun juga di kota-kota lain di pulau Jawa, seperti Pekalongan, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Sidoarjo, Banyuwangi, dan masih banyak lagi.

Jika diselisik, nama ‘kauman’ berasal dari istilah nggone wong kaum yang berarti tempatnya para kaum. Namun, ada pula yang menafsirkan sebagai kaum sing aman (golongan atau kaum yang aman), pakauman (tempat tinggal para kaum), dan qo’um muddin (pemuka agama Islam). Apapun tafsir yang benar, bisa disimpulkan bahwa Kauman memiliki makna tempat tinggal para ulama. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya pondok pesantren di kawasan tersebut yang hingga kini masih aktif berkegiatan.

Salah satunya adalah Pondok Pesantren Raudlatul Qur’an yang berlokasi di Jl Kauman Getekan Nomor 317. Banyaknya kegiatan keagamaan yang rutin dilakukan di pesantren ini membuat suasana islami begitu kental terasa di kampung Kauman.

Selain keberadaan pondok pesantren, hal unik lain dari kampung Kauman adalah terjaganya rumah-rumah kuno di kanan-kiri gang-gang sempit yang kami lewati. Bangunan rumah yang sebagian besar terbuat dari kayu tersebut masih dihuni warga meski usianya sudah puluhan tahun. Salah satunya bahkan berusia hampir seabad namun masih kokoh berdiri.

Dalam sejarahnya, kampung Kauman tidak hanya dihuni oleh penduduk pribumi namun juga berasal dari keturunan Tionghoa, Melayu, dan Arab. Meski terdiri dari beragam etnis, masyarakat kampung Kauman begitu menjunjung tinggi asas kekeluargaan dengan membina hubungan bermasyarakat sehingga hampir tak pernah muncul perselisihan antaretnis.

Jika diperhatikan, nama dari masing-masing gang kecil yang membelah kampung Kauman ini memiliki makna tersendiri. Kauman Krendo, misalnya. Krendo (keranda) menunjukkan bahwa dulu di kampung kecil tersebut berfungsi sebagai tempat menyimpan keranda jenazah. Selain itu ada Kauman Pompo, yang berarti ada pompa air di dalam kampung kecil tersebut. Ada pula Kauman Patehan yang terkenal karena banyak warganya yang memproduksi teh.

Hotel Dibya Puri

Dari kampung Kauman, rombongan Bersukaria bergerak lagi menelusuri gang-gang sempit hingga tiba di Jl Raya Pos atau yang kini lebih dikenal dengan nama Jl Pemuda. Jl Pemuda menjadi salah satu jalan penting di kota Semarang karena terletak di pusat bisnis dan perkantoran.

Di salah satu sisi Jl Pemuda berdiri megah sebuah bangunan tua yang sempat berjaya sebagai hotel mewah di tahun 1900-an bernama Hotel Dibya Puri. Bangunan yang kini berstatus cagar budaya tersebut, pertama kali didirikan pada 1847 dengan nama Hotel Du Pavillon. Pada 1913, Du Pavillon sempat menjalani renovasi besar-besaran demi menyambut pameran kolonial terbesar se-Asia Tenggara bertajuk Koloniale Tentoonstelling yang diadakan tahun 1914.

Dalam renovasi yang memakan biaya sekitar 250.000 gulden tersebut, bangunan hotel mulai dilengkapi dengan jaringan listrik yang lebih layak dan penambahan lampu-lampu modern. Didirikan pula bangunan baru yang terdiri dari 50 kamar di samping bangunan utama. Setiap kamar didukung dengan sistem sanitasi yang lebih sehat serta dilengkapi dengan perabotan mewah. Selain itu, ruang makan juga diperluas sehingga mampu menampung 150 orang lengkap dengan pertunjukan live music setiap makan malam. Untuk menghidangkan sajian yang berkualitas, manajemen hotel sengaja mendatangkan koki utama dari Eropa.

Demi memberi pelayanan terbaik, pihak hotel tak lupa menyediakan layanan transportasi dari dan menuju hotel. Setidaknya ada 80 ekor kuda dengan 50 gerbong kereta kuda, serta 12 mobil yang siap mengantar jemput tamu dan bisa disewa tamu untuk bepergian. Hotel Du Pavillon benar-benar menjadi salah satu hotel termewah di Semarang pada awal abad 20.

Seribu sayang, meski sekarang status bangunan Du Pavillon yang berubah nama menjadi Hotel Dibya Puri adalah cagar budaya yang harus dikonservasi berdasarkan UU No 11 Tahun 2009, kondisi gedung yang sebenarnya tampak terbengkalai. Kerusakan terlihat di banyak sudut, seperti atap yang rubuh, lantai bangunan yang miring, ruang kamar sangat lembab dan kotor, warna dinding bangunan yang kusam, taman yang ditumbuhi rumput liar, dan kerusakan lain. Kini, hanya halaman hotel saja yang dimanfaatkan masyarakat sebagai lahan parkir kendaraan mereka.

Alun-alun Semarang dan Masjid Agung Kauman

Jelang akhir walking tour kami sore itu, dari Hotel Dibya Puri kami beralih menuju bekas kawasan alun-alun Semarang sebelum tiba di destinasi akhir tur. Masih banyak yang mengira bahwa lapangan Simpang Lima merupakan alun-alun kota Semarang. Hal tersebut tentu salah kaprah karena lokasi alun-alun Semarang yang sesungguhnya berada di Jl KH Agus Salim yang kini telah beralih fungsi menjadi kawasan perkantoran dan hotel.

Kawasan alun-alun tradisional kota Semarang sempat berfungsi sebagai pusat dan landmark kota, pusat aktivitas masyarakat dan pemerintahan, serta ruang terbuka untuk publik. Seiring berkembangnya ekspansi bisnis di sekitar alun-alun, dibangunlah berbagai bangunan komersil seperti pasar Yaik, gedung perkantoran, dan perluasan pasar Johar yang mengambil lahan dari alun-alun.

Di sisi utara alun-alun tepatnya bekas terminal angkot, telah berubah menjadi gedung BPD dan New Metro Hotel. Sedangkan bangunan pemerintahan di sisi selatan alun-alun telah dirobohkan dan dibangun pertokoan. Sisi alun-alun yang lain di dekat pasar Johar berdiri pasar Yaik Permai. Kini, kawasan alun-alun yang asli telah tiada. Satu-satunya tonggak terakhir pelestarian kawasan alun-alun Semarang adalah Masjid Agung Kauman, yang sekaligus menjadi ujung dari tur jalan kaki kami sore itu.

Sesuai dengan tata ruang kota zaman dulu, khususnya di wilayah pulau Jawa, keberadaan masjid besar pasti berdekatan dengan alun-alun kota dan pusat pemerintahan. Pun begitu dengan Masjid Agung Kauman yang juga dikenal sebagai Masjid Agung Semarang. Walaupun alun-alun Semarang sudah tak ada lagi, bangunan Masjid Agung Kauman masih tetap eksis dan kerap dipadati jemaah setiap hari.

Jika ditilik dari prasasti yang ditulis dalam empat bahasa, yaitu bahasa Jawa, Melayu, Arab, dan Belanda yang terpatri di batu marmer tembok bagian dalam gerbang masuk Masjid Agung Kauman, diterangkan bahwa masjid ini dibangun pada tahun 1170 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1749 Masehi. Pembangunan masjid dilakukan oleh Ki Ageng Pandan Arang atau sering pula disebut Pandanaran. Konon, gerbang masuk masjid masih dipertahankan keasliannya dari sejak pertama kali didirikan.

Dalam perjalanan perjuangan bangsa Indonesia, Masjid Agung Kauman menjadi saksi sejarah penting karena menjadi satu-satunya masjid di Indonesia yang dengan berani mengumandangkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sesaat sebelum salat Jumat dilaksanakan. Kurang lebih satu jam setelah peristiwa proklamasi, dr. Agus, salah seorang jemaah aktif di Masjid Agung Kauman mengumumkan terjadinya proklamasi RI melalui mimbar dihadapan para jemaah. Akibat keberaniannya tersebut, ia pun diburu oleh tentara Jepang sehingga harus melarikan diri ke Jakarta sebelum akhirnya tewas.

Saat ini kondisi Masjid Agung Kauman masih sangat terawat dengan baik karena telah beberapa kali menjalani perbaikan dan penyempurnaan. Meski harus terjepit di antara gedung perkantoran dan bangunan-bangunan komersil, Masjid Agung Kauman tetap ramai didatangi umat muslim dari berbagai daerah yang ingin beribadah, bahkan turis yang ingin mengetahui seluk beluk datangnya Islam di Kota Lunpia.

Dari pelataran Masjid Agung Kauman, storyteller lantas mengakhiri dongeng panjangnya seputar bangunan dan tempat-tempat historis di kawasan Kauman Semarang. Menapak tilas bersama Bersukaria yang menempuh jarak lebih dari 3 kilometer itu sungguh menambah wawasan kami seputar sejarah kawasan Kauman yang ternyata menyimpan peran penting dalam perkembangan kota Semarang. Mulai dari area bisnis dan perdagangan, lokasi akulturasi beragam etnis dan budaya, pusat kota dan pemerintahan, hingga pusat kegiataan keagamaan. Terbukti bahwa kota Semarang begitu kaya dengan cerita sejarah yang menarik untuk diselisik. (K-ID)

Berita Populer