Penetapan hari lahir AA Navis dan Laksamana Keumalahayati sebagai perayaan internasional, mengukuhkan prestasi Indonesia di UNESCO selama periode Sidang Umum UNESCO ke-42 di 2023.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan hari lahir AA Navis dan Laksamana Keumalahayati sebagai perayaan internasional. Kabar menggembirakan sekaligus membanggakan itu disampaikan oleh Direktur Jenderal UNESCO saat penutupan Sidang Umum ke-42 UNESCO di Paris, Prancis, pada 22 November 2023.
Sebagaimana dikutip dari laman resminya, UNESCO memperingati peristiwa bersejarah dan hari jadi tokoh-tokoh terkemuka yang membantu membentuk peradaban yang kita miliki bersama dengan berkontribusi pada pengayaan budaya bersama demi pemahaman universal dan perdamaian. Kriteria penetapan hari lahir tokoh menjadi perayaan internasional mencakup tiga hal, pertama, menyangkut tokoh-tokoh yang benar-benar universal dan peristiwa-peristiwa yang memiliki lingkup universal atau signifikansi regional, yang tidak dapat disangkal lagi dikenal di luar batas negara mereka sendiri.
Kedua, usulan mempertimbangkan keterwakilan gender. Tokoh yang dicalonkan hanya secara anumerta. Ketiga, mencerminkan cita-cita, nilai-nilai, keragaman budaya dan universalitas organisasi. Selain itu, penetapan tersebut minimal didukung oleh dua negara.
Mengutip dari laman kemdikbud.go.id, dalam hal penetapan hari lahir AA Navis dan Laksamana Keumalahayati sebagai perayaan internasional mendapat dukungan dari Malaysia, Federasi Rusia, Thailand, dan Togo. UNESCO resmi menetapkan peringatan internasional 100 tahun kelahiran AA Navis pada 17 November 2024 (1924—2003). Sementara itu, UNESCO menetapkan peringatan internasional 475 tahun kelahiran Keumalahayati pada 1 Januari 2025 (1550—1615).
Dua tokoh ternama dari Indonesia ini sekaligus mengukuhkan prestasi Indonesia dalam UNESCO selama periode Sidang Umum UNESCO ke-42 di tahun 2023, di mana Indonesia berhasil terpilih sebagai anggota Dewan Eksekutif UNESCO, menjadi anggota Dewan International Programme for the Development of Communication (IPDC), peresmian Indonesian Corner di markas besar UNESCO, serta penetapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi sidang umum UNESCO.
Penulis Terkemuka Asal Minang
Mengutip dari Badan Bahasa, Ali Akbar Navis atau biasa dikenal AA Navis merupakan budayawan dan sastrawan Indonesia. AA Navis lahir di Padangpanjang, Sumatra Barat, pada 17 November 1924 sebagai anak sulung dari 15 bersaudara.
Jika kebanyakan orang Minang dikenal suka merantau, putra Minang yang satu ini berbeda. Ia lebih suka menetap di tempat kelahirannya. Kecintaan AA Navis pada dunia sastra bermula dari rumah. Orang tuanya, pada saat itu, berlangganan majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. AA Navis kecil membaca cerita pendek dan cerita bersambung di kedua majalah itu.
Ayahnya, St Marajo Sawiyah, mendukung kecintaan AA Navis membaca dengan memberikan uang agar anaknya dapat membeli majalah kesukaannya. Navis sempat mengenyam pendidikan di Indonesisch Nederiandsch School (INS) di daerah Kayutaman selama 11 tahun. Jarak antara rumah dan sekolah Navis cukup jauh. Perjalanan panjang yang ditempuhnya setiap hari itu dimanfaatkannya untuk membaca buku sastra yang dibelinya. Namun Navis tidak melanjutkan pendidikannya di INS, selanjutnya dia memilih belajar otodidak.
Pada 1955, saat menginjak usia 30-an, Navis sudah aktif menulis. Banyak karya cerpennya yang muncul di beberapa majalah, seperti Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan Roman. Navis juga menulis naskah sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, seperti Stasiun RRI Bukittinggi, Padang, Palembang, dan Makassar. Selanjutnya, ia juga mulai menulis novel. Tema yang diangkat dalam karya AA Navis biasanya bernafaskan kedaerahan dan keagamaan sekitar masyarakat Minangkabau.
Salah satu karya sastra fenomenalnya berjudul “Robohnya Surau Kami” sebuah kumpulan cerpen sosioreligi. Cerpen ini pertama kali terbit pada 1956, bercerita mengenai dialog Tuhan dengan Haji Saleh, seorang warga Negara Indonesia, yang selama hidupnya hanya beribadah dan beribadah.
Sepanjang karier kepenulisannya, berbagai penghargaan telah diraih Navis, di antaranya penghargaan dari UNESCO untuk kumpulan cerpen “Saraswati dalam Sunyi” (1967). AA Navis tutup usia karena sakit akibat usia di Rumah Sakit Pelni, Jakarta, pada 2004.
Karya-karya Navis yang tercatat sebagai berikut:
Cerita pendek
- Robohnya Surau Kami (kumpulan cerpen), Jakarta: Gramedia, 1986
- Hujan Panas dan Kabut Musim (kumpulan cerpen), Jakarta: Jambatan, 1990
- “Cerita Tiga Malam”, Roman, Thn. V, No.3, 1958:25--26
- “Terasing”, Aneka, Thn. VII, No. 33, 1956:12--13
- “Cinta Buta”, Roman, Thn. IV, No. 3, 1957
- “Man Rabuka”, Siasat, Thn. XI, No. 542, 1957:14--15
- “Tiada Membawa Nyawa”, Waktu, Thn. XIV, No.5, 1961
- “Perebutan”, Star Weekly, Thu. XVI, No. 807, 1961
- “Jodoh”, Kompas, Thu. Xl, No. 236, 6 April 1976:6
Puisi
- Dermaga dengan Empat Sekoci (kumpulan 34 puisi), Bukittinggi: Nusantara
Novel
- Kemarau, Jakarta: Grasindo, 1992
- Saraswati si Gadis dalam Sunyi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1970
Karya Nonfiksi:
- “Surat-Surat Drama”, Budaya, Thn.X, Januari-Februari 1961
- “Hamka sebagai Pengarang Roman”, Berita Bibliografi, Thn.X, No.2, Juni 1964
- “Warna Lokal dalam Novel Minangkabau”, Sinar Harapan, 16 Mel 1981
- “Memadukan Kawasan dengan Karya Sastra.”, Suara Karya, 1978
- “Kepenulisan Belum Bisa Diandalkan sebagai Ladang Hidup”, Suara Pembaruan, 1989
- “Menelaah Orang Minangkabau dari Novel Indonesia Modern”, Bahasa dan Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1977
Penghargaan:
- Hadiah kedua lomba cerpen majalah Kisah (1955) untuk cerpen “Robohnya Surau Kami”
- Penghargaan dari UNESCO (1967) untuk kumpulan cerpen Saraswati dalam Sunyi
- Hadiah dari Kincir Emas (1975) untuk cerpen “Jodoh”
- Hadiah dari majalah Femina (1978) untuk cerpen “Kawin”
- Hadiah seni dari Depdikbud (1988) untuk novel Kemarau
- SEA Write Awards (1992) dari Pusat Bahasa (bekerja sama dengan Kerajaan Thailand)
Pasukan Elite Perempuan
Sementara itu, tokoh kedua asal Indonesia yang hari kelahirannya ditetapkan sebagai perayaan internasional oleh UNESCO adalah Laksamana Keumalahayati. Perempuan asal Aceh ini dikenal karena memimpin pasukan laut dalam perang melawan Belanda pada awal abad ke-16.
Sebagaimana dilansir laman Perpustakaan Nasional, Keumalahayati atau juga dikenal dengan Malahayati lahir di Aceh Besar pada 1550. Ia disebutkan masih berkerabat dengan Sultan Aceh. Oleh karena itu, sejak kanak-kanak sampai dengan remaja, Keumalahayati mengenyam pendidikan di lingkungan istana. Termasuk pendidikan militer matra angkatan laut kesultanan, bernama Mahad Baitul Maqdis.
Kecakapan Keumalahayati dalam memimpin armada laut hingga mendapat gelar Laksamana diwariskan dari ayahnya, yang tak lain adalah Laksamana Mahmud Syah. Dalam buku “Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah”, karya Ismail Sofyan, pada naskah sebelumnya, https://indonesia.go.id/kategori/budaya/7359/malahayati-laksamana-perempuan-pertama-di-dunia?lang=1, disebutkan ayah Keumalahayati adalah seorang panglima angkatan laut armada Kesultanan Aceh. Kakek buyut Keumalahayati adalah Sultan Salahuddin Syah, raja kedua di Kesultanan Aceh yang memerintah sejak 1530--1539.
Ketika Laksamana Mahmud Syah berpulang, Sultan Alauddin Riayat Syah mengangkat Keumalahayati sebagai laksamana baru. Pengangkatan Keumalahayati sebagai Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh menjadikannya sebagai laksamana perempuan pertama dalam sejarah Indonesia dan Asia Tenggara, sebagaimana diungkapkan dalam buku "Perempuan Keumala".
Keumalahayati membangun armada tempur laut yang seluruh prajuritnya adalah perempuan. Tak tanggung-tanggung, jumlah pasukannya mencapai 2,000 personel. Mereka dinamakan Inong Balee atau prajurit perempuan yang berstatus janda. Mereka adalah perempuan-perempuan yang kehilangan suaminya yang gugur saat bertempur melawan Portugis.
Nama Keumalahayati dicatat dalam sejarah karena memimpin pasukan armada laut dalam perang melawan Belanda pada 1599. Keumalahayati berhadap-hadapan dengan Cornelis de Houtman dalam duel satu lawan satu di atas geladak kapal pada 11 September 1599 yang berujung dengan tewasnya Cornelis de Houtman di ujung rencong Keumalahayati. Kematian Cornelis de Houtman menuntaskan dendam Keumalahayati atas kematian suaminya, Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, yang tewas terbunuh dalam perang di perairan Selat Malaka.
Keumalahayati wafat pada 1615 dan dikebumikan di sekitar bentengnya di Desa Lamreh, Krueng Raya. Keumalahayati ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017 oleh Presiden Joko Widodo pada 9 November 2017.
Nama Keumalahayati kini diabadikan sebagai nama salah satu kapal perang TNI-Angkatan Laut (AL). Selain itu, nama Keumalahayati juga dijadikan sebagai nama pelabuhan di Desa Lamreh, Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.
Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari