Indonesia.go.id - Indahnya Toleransi dari Ujung Negeri

Indahnya Toleransi dari Ujung Negeri

  • Administrator
  • Senin, 11 Maret 2024 | 12:30 WIB
KEBHINEKAAN
  Warga menjemur cengkeh di halaman Kelenteng Pu Tek Chi milik umat Khonghucu yang berdampingan dengan Surau Al-Mukarramah di Kampung Tua Penagi, Natuna, Kepulauan Riau. ANTARA/ M Risyal Hidayat
Natuna telah memberikan contoh, bagaimana Indonesia dibangun dari fondasi agama, budaya, dan suku yang berbeda-beda, namun tetap bersatu dalam damai.

Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 278,8 juta jiwa hidup dalam 300 kelompok etnis dan 1.340 suku dengan 781 bahasa daerah serta enam agama yang menaunginya. Mereka hidup berdampingan secara damai satu dengan lainnya dilandasi oleh kesadaran sebagai sebuah bangsa dengan beragam kebhinekaannya.

Salah satu contohnya dapat dilihat di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang merupakan wilayah terluar Indonesia. Penduduk yang mendiami wilayah seluas 2.000 kilometer persegi hasil pemekaran dari Kabupaten Kepri tersebut terdiri dari beberapa suku. Meski mayoritas adalah suku Melayu (85,27 persen), namun terdapat pula etnis Jawa (6,34 persen), Tionghoa (2,52 persen), dan Minangkabau (0,7 persen).

Mereka hidup berdampingan dalam toleransi yang sangat baik. Ini dapat dilihat di Kampung Tua Penagi, Kelurahan Batu Hitam, Kecamatan Bunguran Timur di mana terdapat dua rumah ibadah yang berdiri berdampingan saling berdekatan. Keduanya adalah Surau Al-Mukarramah milik umat Islam dan Kelenteng Pu Tek Chi milik umat Khonghucu. Saat ini surau sedang direnovasi oleh pemerintah setempat karena kondisinya mulai lapuk dimakan rayap.

Meski dibangun bersebelahan, tidak pernah terdengar salah satu umat agama saling mengeluhkan keberadaan rumah ibadah masing-masing. Jarak antara kedua rumah ibadah itu sekitar dua meter dengan ukuran bangunan hampir sama dan hanya dipisahkan oleh jalan panggung beralasan papan. Maklum saja, karena sebagian besar permukiman warga di tempat ini didirikan di atas air laut dan berbentuk panggung ditopang tonggak-tonggak kayu nan kokoh sebagai penahan tubuh bangunan.

Jumlah populasi masyarakat Melayu dan Tionghoa berimbang dari total 100 kepala keluarga yang mendiami kampung tersebut.  Mereka tetap hidup berdampingan dengan damai dan saling menghargai sejak ratusan tahun lampau sewaktu daerah ini masih menjadi pusat perdagangan yang ramai di dekat Selat Karimata.

Sikap tenggang rasa itu dapat terwujud lantaran mereka menjalankan toleransi sebatas menyediakan ruang untuk masing-masing agama menjalankan ajaran dari keyakinannya sesuai tuntunan yang telah tertulis dalam kitab agama yang mereka yakini.

Tingginya toleransi di Kampung Tua Penagi membuat wilayah itu ditetapkan oleh Kementerian Agama sebagai Kampung Moderasi Beragama pada September 2023 lalu. Kebhinekaan dan toleransi tersebut tak hanya dijumpai di Kampung Tua Penagi saja. Pemandangan serupa dapat dijumpai di Kelurahan Sedanau yang juga mendapat penghargaan sebagai Kampung Moderasi Beragama.

Sikap toleransi antarumat beragama di kedua daerah akan semakin kental terasa ketika ada perayaan hari keagamaan. Misalnya sewaktu umat Khonghucu sedang bersiap merayakan Tahun Baru Imlek 2024, maka warga yang tidak memperingatinya akan bergotong royong membantu menyiapkan kebutuhan Imlek. Seperti membantu menghias kelenteng dan vihara dengan lampion-lampion merah aneka ukuran.

Lampion-lampion merah ini bahkan turut dipajang di jalan-jalan kampung meski sebagian warganya tidak ikut merayakan. Tak cukup sampai di situ saja karena saat perayaan berlangsung dan menampilkan atraksi barongsai, uniknya adalah para pemainnya merupakan anak-anak muda Muslim dari sekitar kelenteng. 

Atraksi ini banyak ditonton masyarakat yang sebagian besar tidak ikut merayakan Imlek. Mereka begitu gembira menyaksikan atraksi langka yang hanya ada setiap perayaan Imlek saja. Bukan itu saja, seperti juga pada tradisi Lebaran, penduduk yang tak merayakan Imlek akan berkeliling mendatangi tetangga mereka masyarakat Tionghoa yang sedang memperingati Tahun Baru Imlek.

Seperti yang dilakukan oleh sejumlah staf Kantor Urusan Agama (KUA) Bunguran Barat yang mendatangi kediaman warga Tionghoa yang sedang merayakan Imlek pada Senin (12/2/2024). Saat mendatangi kediaman Henhen, pemilik rumah dibuat terkejut oleh kehadiran pihak KUA.

"Ini sebuah tradisi lama yang kami pertahankan sejak puluhan atau mungkin ratusan tahun lalu di Bunguran Barat. Ketika Lebaran atau Natal, kami pun mengunjungi tetangga-tetangga yang merayakannya," ucap Henhen seperti dikutip dari website Kantor Wilayah Kemenag Kepri.

Begitu pula ketika umat Islam akan bersiap menggelar takbiran menyambut Hari Raya Idulfitri, maka umat beragama lain di kedua Kampung Moderasi Beragama itu juga tak kalah sibuk. Sebagian akan sibuk membantu panitia salat Id untuk menyiapkan keperluan salat dan yang lainnya ikut membagikan makanan dan minuman kepada peserta takbiran keliling kampung.

Staf Khusus Menteri Agama Bidang Media dan Komunikasi Publik, Wibowo Prasetyo sewaktu meresmikan Kota Tua Penagi sebagai Kampung Moderasi Beragama, 9 September 2023 lalu berujar bahwa apa yang terjadi di Natuna menunjukkan masih kuatnya toleransi di antara umat beragama. Kebhinekaan akan terwujud dengan baik apabila budaya toleransi terus dijaga dan dipelihara.

"Apalagi, Indonesia merupakan negara yang dijadikan role model bagi negara lain karena kerukunan umat beragamanya bisa terjaga dengan baik. Namun, di media sosial saat ini bertebaran berita bohong atau hoaks dan isu SARA yang memecah belah umat," ucapnya.

Sementara itu, Kepala Kanwil Kemenag Kepri, Mahbub Daryanto menyampaikan, Kampung Moderasi Beragama merupakan program pemerintah untuk mempromosikan perdamaian, toleransi, dan menjaga kerukunan antarumat beragama. "Kampung Tua Penagi memenuhi indikator Kampung Moderasi Beragama karena masyarakatnya mampu hidup berdampingan secara damai dan menjadikan kerukunan sebagai pilar utama dalam bermasyarakat," ucapnya.

Ternyata, umat beragama di Natuna yang merupakan ujung dari negara Indonesia berhasil berbagi dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikan dari perbedaan di setiap agama dan suku masing-masing. Ini dilakukan tanpa merasa terancam atau merasa keyakinan maupun hak-haknya dihalangi.

Natuna telah memberikan contoh bagaimana Indonesia memang dibangun dari fondasi agama, budaya dan suku yang berbeda-beda, namun tetap bersatu dalam suasana damai.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari