Indonesia.go.id - Garam Kusamba, Diolah Tradisional Dikonsumsi Global

Garam Kusamba, Diolah Tradisional Dikonsumsi Global

  • Administrator
  • Jumat, 12 April 2024 | 07:00 WIB
PERTANIAN
  Petani garam kusamba di Klungkung, Bali. Proses pembuatan garam di Kusamba masih sangat tradisional dan telah dikerjakan sejak tahun 1500-an. ANTARA FOTO/ Nyoman Hendra Wibowo
Garam Kusamba tidak terlalu asin, justru ada rasa gurih. Ketika petani membuatnya menggunakan palung kelapa, maka bakal ada sedikit rasa manis tersisa.

Garam sejatinya bukan sekadar bumbu masakan dan pemberi rasa asin di lidah karena pada setiap butir kristalnya terkandung berjuta kisah. Membuat butiran-butiran garam pun tak semudah menaburkannya ke piring dan mangkok, lantaran ada kesabaran tinggi dari para petani garam. Mereka harus membanting tulang untuk mengubah air asin menjadi garam, salah satu mineral penting yang dibutuhkan tubuh. Meski garam tak pernah berubah, selalu asin, tetapi lokasi dan cara pengolahannya turut mempengaruhi bentuk, ukuran, dan rasa dari garam itu sendiri.

Ketika di pasaran dibanjiri oleh garam industri dan rafinasi, ternyata masih ada sejumlah daerah di Indonesia mempertahankan pembuatan garam secara tradisional dan telah mempunyai ceruk pasarnya sendiri. Salah satunya ada di Desa Kusamba dan Desa Pesinggahan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali.

Kedua desa itu berada di pesisir Pantai Kusamba yang berbatasan dengan Kabupaten Karangasem, sekitar 40 kilometer ke arah timur pusat kota di Denpasar. 

Proses pembuatan garam di Kusamba masih sangat tradisional dan telah dikerjakan sejak tahun 1500-an. Setiap petani garam akan mengambil air laut di pesisir Kusamba memakai alat sederhana berupa tampah atau daun kelapa. Air laut itu kemudian disiramkan berkali-kali ke atas pasir hitam legam yang menjadi wadah pembuatan garam. Pasir yang telah disiram air laut kemudian dijemur selama dua jam. 

Setelah itu pasir tadi dipisahkan bagian atasnya dan diangkut ke penampungan kemudian dari sana dilakukan penyulingan terhadap pasir untuk mendapatkan apa yang disebut sebagai air tua. Selanjutnya disiram dengan air muda yaitu air pantai tanpa proses penjemuran. Air penyulingan tersebut keesokan harinya dari pagi sampai sore dijemur dalam palungan kelapa atau geomembran untuk proses pengkristalan. 

Melalui proses tradisional inilah jika cuaca cerah, garam dapat dipanen dua hari kemudian. Waktu panen umumnya dilakukan setiap sore pukul 16.00 Wita karena diperkirakan saat itu air laut telah berubah menjadi garam. "Pasir kemudian dikeruk dengan tempurung kelapa sehingga akan muncul kristal-kristal garam," kata seorang petani garam, I Wayan Purna seperti dikutip Antara.

Karakteristik garam asal Kusamba sangat menarik karena bentuknya putih bersih berkilau bak kristal. Butirannya sedikit lebih besar dari garam pabrik. Rasa garam Kusamba juga tidak terlalu asin, justru lebih gurih dan ketika petani membuatnya menggunakan palung kelapa, maka bakal ada sedikit rasa manis tersisa. Tak ada unsur kimia yang membantu terciptanya rasa asin yang khas dari garam asal Kusamba.

Ciri khas ini pula yang akhirnya membedakan garam dari Kusamba dengan produk sejenis dari Bali seperti garam asal Amed dan Tejakula. Wayan Purna sendiri tak pernah tahu bagaimana ceritanya garam dari Kusamba bisa berbeda rasa dibandingkan garam pada umumnya. Kendati demikian, seiring perkembangan masa, para petani mulai menelurkan inovasi-inovasinya namun tetap memproduksi dengan cara tradisional agar tidak mengubah ciri khas garam.

Adapun yang mereka ubah adalah media penjemuran saat proses pengkristalan air menjadi butiran garam, di mana sebelumnya mereka sepenuhnya menggunakan palung kelapa yang dibelah dua, kini dibantu dengan alas plastik geomembran. Ketika menggunakan media ini para petani bisa memproduksi garam lebih banyak. Ini karena mampu mengantarkan panas matahari lebih cepat dan juga membantu dari segi rasa. Sebab, semula terdapat rasa manis dapat tergantikan dengan asin yang lebih kuat sesuai minat konsumen.

Setelah benar-benar kering, keluarga Wayan Purna akan menyiapkan garam untuk diserahkan kepada Koperasi LEPP Mina Sagara dan sisanya disimpan untuk dijual pribadi. Dalam satu kali panen, Wayan bisa memanen 20 kilogram (kg) garam, dan jika panen rutin dilakukan perkiraan dalam satu bulan ia dapat mengumpulkan 400 kg garam.

Harga garam Kusamba sekitar Rp30.000 per kg, atau lebih mahal dari garam pabrik yang harganya di kisaran Rp10.000 per kg. "Kalau selama ini para petani menyetor ke koperasi sebulan sekali itu 100 kg per bulan. Sisanya saya tampung dalam kantung plastik kalau ada pembeli dikasih, biasanya individu bisa beli sampai 50 kg," sebut Wayan Purna.

Pemasaran garam Kusamba ini dilakukan dari mulut ke mulut dan dijual melalui media sosial atau e-commerce. Pembelinya tidak hanya warga lokal namun juga wisatawan asing yang sengaja datang ke Kusamba. Bersama para pemandu wisata mereka juga ingin melihat proses pembuatan garam yang unik ini. Wayan bilang bahwa pelanggannya kebanyakan berasal dari Jepang dan Prancis.

Petani garam lainnya yakni I Ketut Santa mengungkapkan jika ia sudah memiliki pelanggan tetap asal Jepang dan membeli secara rutin sebanyak 50 kg sekali pesan.

Sedangkan I Wayan Suartika dari Koperasi LEPP Mina Sagara menjelaskan, pihaknya memerlukan 1,2 ton garam Kusamba yang telah diberi yodium. Garam sebanyak itu dibeli oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung untuk dibagikan kepada seluruh pegawai.

Tak hanya itu karena pihak Suartika juga mengirimkan garam Kusamba ke Singapura sebagai penyedap rasa yang akan dijual di sejumlah pasar swalayan negara pulau itu. Tentunya garam-garam kristal tadi sudah dikemas secara premium. Semoga saja garam organik asli Indonesia ini bisa makin dikenal oleh masyarakat tidak hanya di tingkat nasional, juga global.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari