Indonesia.go.id - Kembali ke Masa Lalu di Kota Tua Ampenan

Kembali ke Masa Lalu di Kota Tua Ampenan

  • Administrator
  • Minggu, 14 April 2024 | 08:22 WIB
BUDAYA
  Kota tua di Ampenan, Lombok, NTB. KEMENPAREKRAF
Sebagai sebuah pusat bisnis, Hindia Belanda melengkapi Ampenan dengan kantor bank, bioskop, pasar, rumah ibadah, kantor dagang, permukiman kelas menengah dan rumah-rumah pejabat Belanda.

Berwisata ke kawasan kota tua sambil menyaksikan kemegahan bangunan-bangunan bersejarah berusia ratusan tahun bisa menjadi alternatif dalam mengisi hari libur. Salah satu lokasi kota tua itu ada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, tepatnya di Ampenan yang berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat kota di Mataram. Ampenan berasal dari kata "amben" yang dalam bahasa Sasak artinya adalah tempat persinggahan.

Kecamatan dengan 10 kelurahan ini dikenal juga sebagai miniatur Indonesia lantaran penduduknya datang dari beragam suku di Nusantara dan membentuk komunitas sendiri seperti Kampung Jawa, Kampung Tionghoa, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Banjar, Kampung Bajo, Kampung Arab, dan Kampung Bali. Kawasan Ampenan juga banyak terdapat bangunan peninggalan penjajahan Hindia Belanda berusia lebih dari seabad.

Sejarawan Sudirman Bahri dalam bukunya “Studi Sejarah dan Budaya Lombok” mengungkapkan sejak abad 19 Ampenan telah menjadi pusat perdagangan yang ramai. Pada masa lalu, Ampenan merupakan pusat kota Lombok yaitu ketika Pemerintah Hindia Belanda menunjuknya sebagai Afdeeling atau wilayah administrasi setingkat kabupaten berdasarkan Staatbald nomor 181 tahun 1895 tertanggal 31 Agustus 1895.

Melalui peraturan itu pihak kolonial menjadikan Pulau Lombok sebagai bagian dari Karesidenan Bali dengan Ampenan sebagai pusat kegiatan jasa dan perdagangan. Sebagai sebuah pusat bisnis, pihak Hindia Belanda melengkapi Ampenan dengan kantor bank, bioskop, pasar, rumah ibadah, kantor dagang, permukiman kelas menengah dan rumah-rumah pejabat Belanda. Ciri khas bangunan-bangunan kolonial di Ampenan adalah dindingnya yang sangat tebal.

Kisah Ampenan sebagai pusat perdagangan di masa lalu turut disampaikan oleh penjelajah Inggris, Michael McMillan lewat bukunya A Journey to Java. Ia menyebut Ampenan sebagai Ampanam. "Ibu kotanya mempunyai nama yang sama dengan kapal kami dan terletak di pantai barat. Pusat perdagangannya berada di Ampanam dan sejak tahun 1894 sudah berada di bawah pemerintahan Belanda," ucapnya seperti dikutip Antara. 

Pada 1924 mereka membangun pelabuhan di pesisir Ampenan dan sejak itu kota buatan Belanda itu makin ramai. Pelabuhan Ampenan menjadi pintu keluar bermacam komoditas penting Pulau Lombok seperti padi, ternak sapi dan kuda yang dikirim ke daerah-daerah lain di Nusantara serta untuk kebutuhan ekspor. Pemberangkatan jamaah haji yang sebelumnya di Labuhan Haji, Lombok Timur, mulai berpindah dan dilaksanakan dari pelabuhan ini.

Terlebih lagi, jika berdiri dari Pelabuhan Ampenan ini kita dapat menatap siluet Gunung Agung di Pulau Bali. Ampenan perlahan mulai ditinggalkan sebagai kota perdagangan dan jasa ketika Jepang masuk dan menduduki Lombok dan menjadikan Mataram sebagai pusat pemerintahan. Kehidupan di Ampenan yang berpenduduk sekitar 90.000 jiwa tersebut semakin sepi tatkala pemerintah pada 13 Oktober 1977 memindahkan aktivitas pelabuhan ke Lembar sampai hari ini.

Kini, setelah tidak lagi menjadi pusat perdagangan dan jasa, denyut kehidupan di Ampenan tetap terjaga. Mulai dari Jembatan Ampenan menuju ke Jalan Pabean hingga ke Pantai Ampenan yang kini dikenal sebagai Pantai Boom, masih kental dengan suasana tempo dulu. Memasuki kawasan ini dari Jembatan Ampenan, akan terlihat bangunan-bangunan tua yang masih kokoh berdiri, kendati rata-rata kondisinya kurang terawat.

Kota Tua Ampenan memiliki ratusan bangunan berarsitek Belanda yang menjadi cagar budaya. Bangunan yang berada di tepian jalan raya yang menghubungkan Kota Mataram dengan kawasan wisata Senggigi itu kini dalam kondisi rusak, tidak terawat, dan tidak berpenghuni. Padahal, Kota Tua Ampenan adalah salah satu dari 43 kota di Indonesia yang ditetapkan sebagai Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI).

Oleh sebab itu Pemerintah Kota (Pemkot) Mataram bertekad membangun kembali kawasan Ampenan menjadi sebuah destinasi wisata kota tua dengan melakukan penataan-penataan kawasan. Kegiatan itu meliputi pengecatan tanpa mengubah bentuk asli serta menambah fasilitas penerangan jalan umum berarsitektur klasik. Sejumlah bangunan tua di Jalan Niaga juga sudah ditata menjadi sebuah ruang kreatif dikemas dalam sebuah kegiatan "Ampenan Huis".

Lokasi itu dapat digunakan untuk para pelaku seni dan budaya untuk menampilkan hasil karya terbaiknya setiap akhir pekan. Terkait dengan itu, untuk mendukung terwujudnya destinasi wisata Kota Tua Ampenan, Pemkot Mataram, juga berencana membeli bangunan tua bekas Bank Dagang Belanda (Nederlandsch Indische Handelsbank) yang ada di areal bekas Pelabuhan Ampenan. "Kita sudah siapkan anggaran untuk membeli bangunan tua itu," kata Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Mataram Lalu Alwan Basri seperti dilansir Antara.

Bangunan tua bekas Bank Dagang Belanda bergaya art deco tersebut dibeli guna menyelamatkan cagar budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Pembelian gedung itu saat ini dalam tahap penaksiran harga. Bangunan dan lahan bekas Bank Belanda tersebut kini sudah menjadi milik pribadi dan pemiliknya saat ini tinggal di Belanda. Ada keluarganya yang masih tinggal di Mataram dan siap menjadi penghubung.

Setelah bangunan bekas Bank Belanda menjadi milik pemkot, maka akan dilakukan penataan kembali guna disiapkan menjadi sebuah museum. Kehadiran museum untuk mempertahankan nilai sejarah serta menjadi warisan dan wadah edukasi bagi para generasi mendatang.

Sementara itu, Wali Kota Mataram Mohan Roliskana berharap ke depan museum itu dapat diisi dengan berbagai benda sejarah berkaitan dengan Pelabuhan Ampenan serta kegiatan sosial masyarakat tempo dulu di daerah ini. Pihak pemkot juga telah menyiapkan konsep khusus yang mengintegrasikan Museum Kota Tua Ampenan dengan Kota Tua Ampenan.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari