Seseorang yang mendengkur sering dianggap memiliki kualitas tidur yang tinggi. Sebaliknya, itu justru merupakan gejala gangguan kesehatan yang lebih serius.
Penyakit jantung atau kardiovaskular dan gangguan pembuluh darah atau stroke telah menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Badan Kesehatan Dunia atau WHO menyebutkan, penyakit jantung koroner dan stroke menjadi penyebab utama terjadinya kematian terhadap 15 juta warga dunia setiap tahunnya.
Itulah sebabnya kedua penyakit tersebut menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia begitu juga di tanah air. Data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) menunjukkan, kasus kematian akibat penyakit jantung atau kardiovaskular di Indonesia sebanyak 251,09 per 100.000 orang pada tahun 2019.
Jumlah itu naik 1,25 persen dibandingkan setahun sebelumnya yang sebanyak 247,99 kematian per 100.000 penduduk. Kasus kematian akibat penyakit jantung selalu meningkat trennya bahkan mencapai 100 kematian per 100.000 penduduk jika dibandingkan pada 1990 silam ketika tercatat ada sekitar 150,13 kasus kematian per 100.000 orang.
Ada beberapa penyebab yang menjadi pencetus penyakit jantung seperti kolestrol yang tinggi, penyakit diabetes, hipertensi, dan merokok. Tetapi, ada satu penyakit lainnya yang mengintip dan turut memberi sumbangsih penting bagi tercetusnya penyakit jantung. Seperti dikutip dari portal Ayo Sehat milik Kementerian Kesehatan RI, penyumbang lainnya adalah mendengkur atau mengorok disertai henti napas atau dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea (OSA).
Obstructive Sleep Apnea merupakan gangguan tidur dimana seseorang mengalami henti napas secara berulang selama tidur dan acap diikuti dengkuran keras. Pakar OSA dari John Hopkins University, Alan Schwartz yang telah lebih dari 30 tahun meneliti kelainan yang terjadi ketika manusia sedang tidur mengungkapkan bahwa dalm satu jam saja, penderita apnea akut dapat melakukan henti napas antara 20 hingga 30 kali.
Schawrtz menilai bahwa OSA merupakan risiko serius dari penyakit jantung dan stroke lantaran penderitanya mengalami gangguan pernapasan singkat berkali-kali selama waktu tidur mereka. Itu menyebabkan kadar oksigen dalam darah menjadi turun dan otak membangunkan mereka dari tidur untuk mengambil napas. "Seseorang yang mendengkur keras jika diselingi jeda dalam napas saat akan bernapas kembali menjadi penanda paling mudah dari terjadinya OSA," ujarnya.
Hasil penelitiannya menunjukkan sekitar 45 persen orang dewasa mendengkur ketika tidur kendati tidak sering dan sekitar 26 persen lainnya yang mengalami mengorok secara teratur dalam tidur mereka. Banyak orang yang terkecoh bahwa mendengkur menandakan kualitas tidur seseorang adalah nyenyak. Tetapi sebaliknya justru menjadi gejala gangguan pada kesehatan yang lebih serius. Hal itu banyak tidak disadari oleh kita. OSA lebih banyak dialami oleh kaum pria dibandingkan perempuan.
Mendengkur yang mengarah kepada OSA ditandai oleh tertutupnya jalan pernapasan. Ketika tertidur lelap, otot-otot di sekitar tenggorokan dan lidah umumnya dalam kondisi relaksasi atau mengendur. Bagi penderita OSA, relaksasi tersebut dapat berlebihan sehingga jaringan lunak di belakang tenggorokan jatuh dan menyumbat saluran pernapasan. Akibatnya aliran udara masuk ke paru-paru menjadi terhalang dan penyumbatan yang terjadi ini bisa total (apnea) ataupun parsial (hipopnea).
Ketika jalan napas menjadi terhalang, maka tidak ada oksigen yang bisa masuk dan menyebabkan terjadinya henti napas. Kejadian ini dapat berlangsung selama beberapa detik hingga lebih dari satu menit. Selama fase ini, kadar oksigen dalam darah bisa turun secara dramatis. Upaya untuk bernapas tetap berlanjut. Ini menciptakan tekanan negatif di dada, mencoba menarik udara masuk melalui jalan napas yang tersumbat.
Tekanan negatif ini bisa memiliki efek mekanis langsung pada jantung dan berpengaruh pada cara jantung mengisi dan memompa darah. Pada titik tertentu, otak kemudian menyadari bahwa tidak terdapat cukup pasokan oksigen bagi tubuh yang memicu munculnya aorusal atau kondisi setengah tersadar. Peristiwa itu membuat otot-otot tenggorokan kencang lagi dan membuka jalan napas sehingga seseorang dapat kembali bernapas.
Penderita OSA akan mengalami mudah lelah terutama di siang hari, sering sakit kepala di pagi hari, dan suasana hati yang buruk karena tidur menjadi tidak berkualitas. Tak hanya mengancam jantung dan berpotensi stroke, OSA juga dapat menyebabkan hipertensi dan diabetes. Obesitas, lingkar leher besar, struktur anatomi tengkorak dengan rahang kecil, tonjolan atap mulut tinggi atau pembesaran amandel turut menjadi pencetus OSA.
Saat ini orang dengan gejala OSA sudah dapat menjalani pemeriksaan menggunakan metode Polisomnografi (PSG) di laboratorium tidur pada sejumlah rumah sakit swasta di Indonesia. Melalui serangkaian pemantauan yang terintegrasi selama tidur, PSG akan menampilkan data komprehensif tentang berbagai aspek fisiologis tidur yang bisa terganggu oleh OSA.
Selama sesi PSG, pasien tidur di fasilitas yang diawasi ketat, sementara berbagai sensor merekam aktivitas fisiologisnya. PSG tidak hanya memvalidasi keberadaan OSA tapi juga menilai tingkat keparahannya dan efeknya terhadap kesehatan secara keseluruhan.
Dalam banyak literasi termasuk di portal Ayo Sehat disebutkan bahwa upaya terbaik untuk mencegah terjadinya OSA adalah mengubah gaya hidup sekaligus sebagai langkah awal pengobatan bagi mereka yang telah menderita. Termasuk di dalamnya mengatur ulang pola makan, berhenti merokok, menghindari konsumsi alkohol.
Juga menghindari konsumsi obat tidur seperti benzodiazepin (alprazolam, clobazam, diazepam, midazolam, lorazepam) dan non-benzodiazepin misalnya zolpidem serta mengoptimalkan posisi tidur. Hal penting lainnya adalah menjaga jadwal pola tidur yang teratur guna meningkatkan kualitas tidur.
Penderita OSA kategori berat setelah menjalani PSG dan mengetahui hasil pemeriksaan, umumnya bakal disarankan untuk mengikuti terapi khusus menggunakan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP). Ini adalah alat yang bekerja dengan menyediakan aliran udara bertekanan melalui masker yang dipakai saat tidur. CPAP membantu menjaga jalan pernapasan tetap terbuka dan mencegah terjadinya henti napas saat tidur.
Pengobatan untuk OSA harus disesuaikan dengan kebutuhan individu dan di bawah pengawasan dokter. Penting pula dilakukan deteksi dini terhadap gejala OSA pada penderita penyakit berat seperti hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung. Tindakan ini dilakukan untuk membantu mengidentifikasi dan mengelola OSA serta upaya pencegahan yang efektif agar penderitanya dapat meningkatkan kualitas hidup lebih baik.
Secara luas, deteksi dini OSA dapat megurangi beban komplikasi kardiovaskular, memperbaiki manajemen diabetes, dan pada akhirnya meningkatkan hasil klinis khususnya bagi pasien gejala berat OSA.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari