Indonesia.go.id - “Osing” tak lagi Menolak

“Osing” tak lagi Menolak

  • Administrator
  • Kamis, 30 Mei 2024 | 13:15 WIB
BUDAYA
  Warga suku Osing memainkan musik Gedogan (lesung) di Desa Wisata Adat Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (12/5/2024). ANTARA FOTO/ Budi Candra Setya
Masyarakat Osing yang dikenal eksklusif nyatanya menyimpan keragaman budaya yang luar biasa.

Suku Jawa bukanlah satu-satunya yang mendiami Pulau Jawa. Ada suku Sunda, Baduy, Osing, dan beberapa suku lainnya. Jika Sunda dan Baduy ada di bagian barat Pulau Jawa, maka masyarakat Osing mendiami ujung timur Pulau Jawa.

Salah satu desa yang menjadi “rumah besar” bagi suku Osing adalah Desa Kemiren, yang terletak di Banyuwangi, Jawa Timur. Berdasarkan cerita masyarakat, Osing merupakan keturunan rakyat Kerajaan Blambangan yang mengasingkan diri pada zaman Kerajaan Majapahit.

Nama Osing diberikan oleh penduduk pendatang yang menetap di daerah itu pada abad ke-19. Nama Osing berasal dari kata using, yang dalam bahasa Bali berarti ‘tidak’. Konon nama itu disematkan karena di masa lalu, masyarakat asli yang mendiami kawasan itu kerap menunjukkan penolakan terhadap pengaruh dari luar.

Selain keturunan Kerajaan Blambangan, suku Osing juga muncul akibat terjadinya puputan bayu. Dikutip dari sebuah jurnal “Perancangan Film Dokumenter: Tribute to East Java Heritage” karya Evan Permana, pada akhir kekuasaan Kerajaan Majapahit terjadi perang saudara yang membuat banyak wilayah Majapahit menjadi lemah.

Konflik internal yang terjadi di dalam Majapahit tersebut membuat kerajaan itu akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Malaka. Kerajaan Blambangan yang merupakan bagian dari Majapahit pun akhirnya berdiri sebagai kerajaan sendiri.

Selama kurun waktu dua abad, yakni sekitar tahun 1546 sampai tahun 1764, Kerajaan Blambangan kerap menjadi sasaran penaklukan dari kerajaan sekitarnya. Akhirnya, penduduk Kerajaan Blambangan pun melakukan migrasi ke sejumlah daerah karena serangan-serangan dari kerajaan sekitar.

Kemudian, rakyat Blambangan pun teridentifikasi menyebar ke sejumlah tempat. Beberapa di antaranya mengungsi ke lereng Gunung Bromo yang kini menjadi suku Tengger, kemudian beberapa lainnya ke Bali, dan beberapa bertahan kawasan Blambangan, yang kini lebih dikenal sebagai Banyuwangi. Masyarakat yang memutuskan menetap di Blambangan itulah yang menjadi cikal bakal suku Osing di Banyuwangi.

 

Akibat Perang

Selain merupakan trah Blambangan, masyarakat Osing juga ada dari terjadinya puputan bayu atau peperangan antara pasukan VOC dan pejuang-pejuang Blambangan pada tahun 1771 hingga 1772. Sekilas Puputan Bayu yang disusun oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyebutkan, peperangan ini pecah di daerah Bayu, yang kini menjadi Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi.

Pejuang Blambangan dipimpin oleh Rempeg atau yang lebih dikenal dengan julukan Pangeran Jagapati. Ia adalah buyut dari Raja Blambangan, Prabu Susuhan Tawangalun.

Terjadinya Puputan Bayu dipicu oleh tindakan Belanda yang saat itu mulai menguasai daerah Blambangan. Kebijakan Belanda seperti tanam dan kerja paksa yang diterapkan kepada kaum pribumi membuat Raden Jagapati geram.

Tak hanya itu saja. Belanda dan pasukannya pun memperlakukan wanita pribumi dengan semena-mena. Kompeni acap tak memandang apakah si wanita itu gadis, janda, atau istri orang. Hal itu memancing amarah Raden Jagapati kian menjadi-jadi.

Hingga akhirnya, dia pun menyusun rencana di daerah Bayu bersama para pejuang untuk menyingkirkan Belanda. Banyak penduduk daerah lain yang bergabung dengan Jagapati di Bayu. Sehingga akhirnya, wilayah itu menjadi kekuatan baru yang dianggap berbahaya bagi kedudukan VOC di Blambangan.

Puncak Puputan Bayu terjadi pada 18 Desember 1771 dan peperangan tersebut memakan banyak korban dari kedua belah pihak. Ibu kota Blambangan lalu dipindahkan ke Banyuwangi. Perang itu berakhir setelah VOC berhasil merebut benteng milik pejuang pada 11 Oktober 1772.

Penduduk Blambangan yang bertahan di kawasan Banyuwangi inilah akhirnya yang menjadi suku Osing. Kini jika wisatawan ingin mengetahui profil suku Osing, pelancong bisa menemukannya di Desa Wisata Adat Osing Kemiren, yang berlokasi di Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi.

Desa Kemiren memiliki wilayah seluas 177.052 hektare dan ditempati oleh 2.569 penduduk. Desa itu hanya berjarak 6,5 kilometer atau 15 menit dari Kota Kabupaten Banyuwangi.

Nama Kemiren berasal dari keberadaan banyak pohon kemiri di wilayah tersebut. Di desa itu, mayoritas penduduknya adalah suku Osing, suku asli Banyuwangi. Kawasan Desa Kemiren juga termasuk dalam wilayah Ijen Geopark sebagai situs kebudayaan.

Ketika mendatangi Desa Adat Kemiren, cukup dirasa adanya nuansa yang berbeda dibandingkan desa-desa kebanyakan. Tidak mengherankan karena di desa itu terdapat kekayaan ragam budaya, yang mencakup adat istiadat, bahasa, manuskrip, kesenian, tradisi lisan, ritual, pengetahuan, teknologi, dan permainan tradisional.

 

Tradisi Gedhogan

Salah satu tradisi khas suku Osing yang dapat disaksikan wisatawan saat pertama kali menjejakkan kaki di Desa Wisata Osing adalah gedhogan. Tradisi itu yang dijadikan sebagai penyambut tamu itu dikenal secara turun-temurun.

Sejatinya gedhongan digelar saat panen tiba, sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen. Jadi dalam tradisi itu, para perempuan menampilkan pertunjukan seni unik dengan memukul lesung dan alu sambil diiringi alunan angklung dan tabuhan gendang yang merdu.

Saat wisatawan berada di Kemiren, terasa kurang lengkap jika tidak mencicipi kopi khas Osing yang terkenal enak. Beragam varietas kopi, baik varietas kopi robusta, robusta lanang, arabika, dan arabika lanang, bisa ditemukan di desa ini.

Di Desa Kemiren, pelancong juga dapat menyaksikan tradisi barong ider Bumi, yang merupakan ritual tahunan bagi suku Osing. Tradisi ini pertama kali diadakan pada 1940-an dan biasanya digelar pada hari kedua setelah Hari Raya Idulfitri atau pada tanggal 2 Syawal, sekitar pukul 14.00 WIB.

Di masyarakat Osing, barong dianggap sebagai lambang kebaikan. Sehingga dalam tradisi itu, barong akan diarak oleh warga desa dengan maksud mengusir hawa jahat yang diyakini dapat mengganggu kemakmuran desa.

Pelancong juga dapat menemukan rumah adat Suku Osing yang terletak di sisi jalan. Rumah itu tampak unik dengan pintu ukiran kayu dan atap yang memiliki tiga desain berbeda, yakni tikel balung (atap empat sisi), baresan (atap tiga sisi), dan crocogan (atap dua sisi).

Selain menikmati keindahan alamnya, pengunjung juga dapat berinteraksi dengan warga setempat sambil belajar lebih dalam mengenai budaya mereka, termasuk tradisi menyimpan batik dalam toples untuk menjaga keawetan batik dan tradisi khas "mepe kasur" yang melibatkan proses menjemur kasur secara bersamaan di sepanjang jalan sebagai simbol penolak penyakit atau bencana.

Di desa wisata Kemiren, pelancong juga dapat merasakan sensasi memasak masakan autentik suku Osing bersama warga lokal. Beberapa hidangan unggulan yang dapat dicoba termasuk pecel pitik (ayam), tahu walik, dan uyah asem (ayam kuah asem) khas Osing.

Bagi pelancong, akses menuju Desa Adat Kemiren, Kabupaten Banyuwangi cukuplah mudah. Dusun Kedaleman, Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, hanya berjarak 6,5 kilometer dari Kota Banyuwangi. Atau hanya memakan waktu tidak lebih dari 15 menit.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari