Pada masa Kerajaan Pajajaran tahun 1482-1567, Sungai Ciliwung berperan sebagai benteng alami dari serangan musuh.
Sungai Ciliwung merupakan satu di antara 13 sungai yang mengalir membelah Kota Jakarta. Sungai sepanjang 120 kilometer yang berhulu di Gunung Gede-Pangrango ini menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Jakarta sejak abad ke-13 lampau. Pada masa Kerajaan Pajajaran tahun 1482-1567, Sungai Ciliwung berperan sebagai benteng alami dari serangan musuh.
Ketika kolonial Hindia Belanda masuk ke Nusantara, mereka menjadikan Ciliwung sebagai bagian penting dari jaringan transportasi kota hingga membelah ke selatan. Kolonial Hindia Belanda membangun Bendung Katulampa di Bogor pada 1912 karena menurut Zaenuddin HM dalam "Banjir Jakarta", hal itu dilakukan supaya bisa mengukur debit air Ciliwung sekaligus sistem peringatan dini banjir.
Ciliwung memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 387 kilometer persegi (km2) dengan tiga sub DAS meliputi Ciliwung hulu yang mencakup Kabupaten Bogor dan Kota Bogor seluas 15.251 hektare, kemudian Ciliwung tengah seluas 16.706 ha terdiri dari Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi. Terakhir adalah sub DAS Ciliwung hilir meliputi kawasan seluas 6.295 yang seluruhnya ada di Jakarta.
Dalam kenyataannya, tiga sub DAS tadi belum berperan dalam menjadikan Ciliwung sebagai aliran penting warga kota di Jakarta dan sekitarnya. Mereka justru menjadikan Ciliwung bagai sebuah tong sampah raksasa. Aneka sampah dibuang setiap harinya ke sungai ini. tengok saja hasil temuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2019.
Menurut kementerian yang dipimpin Siti Nurbaya Bakar tersebut, jumlah limbah ternak, rumah dan industri; sampah; dan pencemaran dari pertanian yang masuk Ciliwung mencapai 54,4 ton Biological Oxygen Demand (BOD) per hari. Angka itu melampaui batas kemampuan sungai menampung beban pencemaran yaitu 9,29 ton BOD per hari. Artinya, Sungai Ciliwung telah melewati daya dukungnya.
Sampah yang menyesaki Ciliwung turut mempersempit aliran sungai yang sudah mengecil lebarnya karena terdesak oleh permukiman warga di ketiga sub DAS. Menyempitnya aliran membuat gerak air menjadi tak luwes dan jika musim hujan tiba, maka Ciliwung seolah menjadi ancaman bagi warga di sekitarnya karena banjir dapat mengintai setiap saat.
Padahal, justru warga yang masih bertempat tinggal di tepian dan membuang sampah sembarangan itulah yang merupakan ancaman sesungguhnya bagi kelestarian Ciliwung. Pemerintah Provinsi Jakarta dengan dukungan pemerintah pusat sejak 2014 mulai menatanya lewat program normalisasi sungai.
Program ini dibagi menjadi beberapa tahap dengan target mampu menormalisasi aliran sungai sepanjang 33 kilometer melewati 18 kelurahan sejak dari Kelurahan Pasar Rebo di Jakarta Timur hingga ke Kelurahan Manggarai, Jakarta Selatan. Saat ini normalisasi telah berlangsung sepanjang 16 km dan sisa sepanjang 17 km lagi bakal dituntaskan akhir 2024 ini.
Normalisasi merupakan bagian dari rencana induk sistem pengendalian banjir Jakarta dari hulu hingga hilir. Pengendalian ini bertujuan untuk mengembalikan kondisi lebar Sungai Ciliwung menjadi normal, yaitu 35-50 meter. Lingkup pekerjaannya meliputi perkuatan tebing dan pembangunan tanggul.
Kemudian pembangunan jalan inspeksi dengan lebar 6-8 meter di sepanjang sisi Sungai Ciliwung, meningkatkan kapasitas tampung aliran dari 200 kubik per detik menjadi 570 kubik per detik. Kawasan di sekitar sungai juga ikut ditata kembali termasuk membangun hutan kota.
Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Ika Agustin seperti dikutip Antara, menyebut saat ini melakukan pembebasan lahan yang berada di bantaran Sungai Ciliwung. Kegiatan ini dilakukan secara terstruktur dengan langsung melakukan pengamanan aset. "Sedangkan untuk pembangunan fisiknya dikerjakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)," kata Ika.
Salah satu titik kegiatan normalisasi dilakukan di Kelurahan Cililitan, Jaktim. Sebanyak 52 kepala keluarga (KK) terdampak oleh proyek normalisasi tersebut dan ada sebanyak 88 bidang tanah harus dibebaskan. Selain itu, sebanyak 63 KK di Kelurahan Rawajati, Jakarta Selatan yang menguasai 157 bidang lahan menunggu pembebasan lahan mereka.
Semoga niat pemerintah untuk mengembalikan fungsi Ciliwung ikut didukung oleh masyarakat di sekitar DAS dengan menjaga alirannya tetap bersih dari sampah sehingga tak ada lagi sumbatan yang dapat menimbulkan banjir.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Elvira Inda Sari