Sejak lima abad silam, masyarakat di Kota Jenang, Kudus, telah mengembangkan toleransi antarumat beragama dengan tidak berkurban hewan sapi di Hari Raya Kurban.
Ada pemandangan berbeda tiap kali digelarnya pemotongan hewan kurban saat memperingati Iduladha di wilayah Kudus, satu di antara 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Jika umumnya hewan kurban adalah kambing, domba, atau sapi, maka tidak demikian dengan masyarakat di kabupaten seluas 425,2 kilometer persegi tersebut. Mereka memilih berkurban dengan kerbau dibandingkan sapi dan tentu ini bukan tanpa sebab. Ada kisah yang melatarbelakanginya.
Semua berawal dari toleransi yang dikembangkan oleh Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan atau Sunan Kudus, satu dari sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa pada lima abad lampau. Sunan Kudus adalah keturunan R Usman Haji dari Jipang Panolan, seorang ulama asal Palestina dengan keahlian berperang. Usman Haji pernah tercatat sebagai panglima perang di Kesultanan Demak dan menjadi imam di Masjid Demak.
Sewaktu memulai dakwahnya di Kudus, Sayyid Ja'far dihadapkan pada kenyataan bahwa masyarakat setempat masih memeluk agama Hindu. Salah satu hal penting yang diyakini mayarakat Hindu bahwa sapi adalah atma (jiwa) dalam kehidupan. Dalam Catur Weda terdapat kalimat Gavah Vivasyah Matarah yang artinya sapi adalah ibu bagi seluruh dunia. Itulah sebabnya umat Hindu mensakralkan sapi sebagai hewan yang mesti dihormati.
Oleh karena itu, Hindu melarang umatnya memotong dan mengonsumsi daging sapi. Atas dasar itu pula di setiap dakwahnya Sunan Kudus selalu mengingatkan umat Islam di Kudus untuk tidak menyembelih hewan sapi. Fatwa itu berlaku baik saat hari biasa atau Hari Raya Kurban dan tetap dipertahankan sampai sekarang. Menurut Rizim Aizid dalam "Islam Abangan & Kehidupan", Sunan Kudus ingin menunjukkan bahwa Islam juga menghormati sapi.
Ketika berdakwah pun Sunan Kudus acap mengupas dan membacakan isi surat Al-Baqarah yang artinya Sapi Betina. Umat Hindu kemudian melihat Islam sebagai agama damai dan tidak mengedepankan kekerasan. Hal itu yang membuat simpati kepada Islam makin bertambah dan mudah diterima di antara umat beragam lain. Toleransi pun terjalin kuat selama berabad kemudian di Kudus. Demi menghormati saudara Hindu mereka, masyarakat Muslim rela tidak merasakan daging sapi.
Sebagai gantinya, mereka menggelar kurban dengan hewan kerbau. Seperti dilakukan pengurus Masjid Al Aqsha Menara Kudus yang masih memegang teguh fatwa wali. Panitia kurban masjid setempat hanya menerima hewan kurban berupa kambing, domba, dan kerbau saja dari jemaah dan masyarakat sekitar. Menurut Juru Bicara Yayasan Masjid Menara Kudus Deny Nur Hakim seperti diwartakan Antara, karena telah menjadi tradisi, maka tidak ada warga yang menyerahkan hewan kurban berupa sapi ke masjid ini.
Pada Hari Raya Kurban tahun 2024 ini, pihak Deny menyembelih 14 ekor kerbau kendati tahun sebelumnya ada 18 kerbau yang diterima mereka untuk dijadikan hewan kurban. Selain sebagai hewan kurban, dagingnya juga dikembangkan masyarakat menjadi aneka kuliner lezat seperti satai, pindang, dan soto. Kerbau juga melambangkan status sosial seseorang lantaran harga dagingnya sekitar Rp150.000 per kilogram atau lebih mahal dari daging sapi.
Kendati demikian, kerbau tetap menjadi primadona ketika kurban di daerah berjuluk Kota Jenang itu diadakan. Karena dari perkiraan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kudus, kerbau masih mendominasi sebagai hewan yang disembelih di Hari Raya Kurban 2024. Ada sekitar 2.242 ekor kerbau siap dipotong sebagai daging kurban, disusul 420 ekor sapi, 7.672 ekor kambing, dan 106 ekor domba.
Jika ditotal, pada 2024 ini ada sebanyak 10.440 ekor hewan kurban atau naik dari tahun lalu sebesar 9.497 ekor. Setidaknya, masyarakat di Kudus masih menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama dengan saling menghormati pilihannya masing-masing.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari