Candi yang dibangun pada abad ke-9 Masehi itu telah dua kali berpindah lokasi sejak tahun 2011. Perpindahan itu agar candi terhindar dari banjir lahar dingin.
Gunung Merapi merupakan gunung api paling aktif di Indonesia pada saat ini lantaran mengalami erupsi tiap 2--5 tahun sekali. Letusan Merapi selalu diwaspadai karena memuntahkan jutaan ton material vulkanik dari perutnya dan acap menimbulkan banjir lahar dingin yang menerjang dan merusak desa-desa di sekitar alirannya. Banjir lahar dingin Merapi bukan saja menjadi ancaman bagi masyarakat karena dapat merusak bangunan, memutus akses jalan dan jembatan, dan menghancurkan lahan pertanian serta perkebunan warga.
Peristiwa alam tersebut juga berpotensi sebagai ancaman bagi benda-benda peninggalan masa lampau yang letaknya tak jauh dari aliran lahar dingin. Salah satunya adalah Candi Lumbung yang menjadi tempat peribadatan umat Hindu di sekitar Merapi. Mengutip website Pemerintah Kabupaten Magelang dijelaskan bahwa Candi Lumbung kemungkinan merupakan pendharmaan bagi Bathara di Salingsingan yang ditunjukkan dengan jenis persembahan khususnya berupa payung emas yang diberikan oleh Rakai Kayuwangi.
Lokasi candi yang telah berdiri sejak abad ke-9 Masehi tersebut ada di sebelah barat aliran Sungai Pabelan, tepatnya di Desa Sengi, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng). Dalam buku Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch Indie terbitan 1914, di candi ini tercatat ada tiga arca Ganesha dan dua buah lingga. Namun arca dan lingga itu kini sudah tidak ada di kompleks Candi Lumbung ini.
Candi Lumbung semula letaknya sekitar 3 meter dari bibir Sungai Pabelan. Akibat diterjang banjir lahar dingin hingga berulang kali pada 2010, mengancam keberadaan candi tersebut. Pasalnya, aktivitas banjir lahar dingin ini telah menggerus bibir Sungai Pabelan dan membuat posisi candi tinggal berjarak 50 sentimeter saja dari tebing aliran sungai. Kendati sempat diperkuat oleh talut untuk menahan tebing agar tidak longsor, sayangnya upaya itu kalah oleh kekuatan alam.
Sejatinya, di sekitar Candi Lumbung masih terdapat 2 bangunan serupa yakni Candi Asu dan Candi Pendem. Hanya saja, posisi kedua bangunan tadi masih lebih aman dibandingkan Candi Lumbung. Demi menyelamatkan situs bersejarah tersebut, pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCP) Provinsi Jawa Tengah pada September 2011 memindahkannya ke Dusun Tlatar, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan.
Pihak BPCB Provinsi Jateng sampai harus menyewa lahan milik warga dalam proses pemindahan candi supaya tetap aman dan tidak rusak atau hilang tergerus banjir lahar dingin. Candi Lumbung terdiri dari 32 lapisan batu dengan bagian tengah bangunan memiliki rongga berupa lubang selebar 120 sentimeter dan merupakan ruang dalam candi. Tepat di bagian bawah rongga terdapat fondasi berupa batu susun 8 setinggi 3,5 meter dengan lubang di tengahnya yang berfungsi sebagai resapan air.
Secara Manual
Proses pemindahan candi melibatkan ahli arkeologi dalam menyusun ulang bebatuannya yang seluruhnya dikerjakan secara manual. Saat proses pemindahan terjadi, para pekerja sempat menemukan tulang belulang makhluk herbivora berupa rahang atas, gigi, lengan, dan kaki belakang yang berada di bawah bangunan candi. Kegiatan pemindahan berakhir di awal 2012 dan sejak itu Candi Lumbung dapat kembali digunakan sebagai tempat peribadatan.
Agar terhindar dari terpaan abu vulkanik ketika Merapi erupsi untuk melindungi tubuh candi sebagai cagar budaya, pihak BPCB Provinsi Jateng telah menyiapkan plastik raksasa warna putih. Sehingga Ketika Merapi erupsi, plastik-platik raksasa tadi menjadi selimut superbesar bagi bangunan candi. Hanya butuh waktu 11 tahun bagi Candi Lumbung berada di "pengungsian" ketika pihak BPCB Provinsi Jateng pada 2023 memutuskan untuk mengembalikan lagi posisi Candi Lumbung ke Desa Sengi.
Ketua Tim Pemindahan Bangunan Candi Lumbung BPCB Provinsi Jateng Eri Budiarto seperti dikutip Antara menjelaskan, proses pemindahan bangunan Candi Lumbung ke lokasi semula telah dilakukan sejak 10 Juli 023 lalu. Ia menyampaikan pengembalian bangunan Candi Lumbung ke Desa Sengi, bukan ke tempat semula di pinggir Sungai Pabelan. Tetapi dipindah ke arah timur dekat Candi Asu. "Kami melakukan doa bersama, pemasangan perancah, persiapan lahan di lokasi baru," katanya.
Pengembalian bangunan candi tersebut, karena lahan yang ditempati di Tlatar milik warga dan harus sewa. Selain itu, katanya pemindahan candi itu atas permintaan masyarakat Desa Sengi. Lokasi baru menempati tanah kas desa dan tidak harus menyewa. Proses pemindahan dilakukan dalam 2 tahap melibatkan sekitar 30 pekerja di antaranya ahli arkeologi dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X dibantu warga sekitar.
Menurut Eri, sebanyak 75 persen bebatuan Candi Lumbung masih dipertahankan dan sisanya harus diganti dengan batu baru terutama pada bagian pondasi untuk keamanan pengunjung. Untuk bagian tubuh sampai atap, batu kulit candi masih banyak yang belum ditemukan sehingga tidak bisa dipasang. Batu kulit itu dikhawatirkan Eri hilang pada saat terjadi bencana, misalnya batu-batu tersebut terkena erupsi Merapi jatuh ke sungai dan hilang.
Prosesi pemindahan Candi Lumbung berukuran 8,5 meter x 8,5 meter dan ketinggian 7--8 meter ke Desa Sengi berlangsung cukup melelahkan karena dilakukan tanpa bantuan peralatan modern. Lokasi baru Candi Lumbung di Desa Sengi berada tak jauh dari Candi Asu dan Candi Pendem. Tepat pada 18 Oktober 2024, digelar upacara keagamaan secara Hindu yang dipimpin oleh pemuka agama setempat yakni Ida Pedanda Gede Dwaja Tembuku, Ida Pedanda Gede Karang Kerta Udyana, dan Ida Pedanda Gede Intaran Krama.
Eri selaku Koordinator Pemindahan Candi Lumbung menceritakan proses pemindahan cukup rumit. Dia menyebut, kalau dijalankan dengan berkelanjutan itu 1 tahun bisa selesai. Tapi karena program anggaran meminta agar kegiatan itu harus dilakukan secara dua tahap. Selain itu dengan ukuran dan beban berat setiap batuan dengan dimensi panjang dan lebar masing-masing 50--60 cm dan ketebalan bervariasi 30--40 cm, menimbulkan tantangan apalagi peralatan yang dipakai harus menggunakan material kayu.
Kini, masyarakat Desa Sengi sudah bisa menyaksikan Kembali Candi Lumbung yang sempat "berpindah" demi menyelamatkan diri gerusan banjir lahar dingin Merapi.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Taofiq Rauf