Proyek gasifikasi dapat mengurangi ketergantungan pada impor LPG. Selain, menghemat cadangan devisa dan menyerap tenaga kerja.
Pemerintah Indonesia terus mendorong berkembangnya industri bernilai tambah, salah satunya melalui gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl ether (DME). Inisiasi proyek ini semakin jelas bentuknya setelah dua BUMN dan satu perusahaan asal Amerika Serikat bekerja sama.
Melalui produk DME, pemerintah menyakini, produk itu bisa menjadi produk alternatif pengganti liquefied petroleum gas (LPG) untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga. Melalui produk DME, pemerintah menilai, konversi merupakan langkah strategis untuk menekan impor LPG.
Produk DME merupakan bentuk produk bernilai tambah dari batu bara. Di masa mendatang, produk batu bara tidak lagi hanya berupa produk mentah, tanah, dan air, yang kemudian dijual, baik untuk kepentingan ekspor maupun dalam negeri (domestic market obligation).
Kebijakan serupa tidak bisa lagi dilakukan. Pasalnya di dunia, kelak penggunaan energi hijau sudah menjadi keniscayaan. Komoditas batu bara, misalnya, tidak lagi akan laku sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
Bahkan sejumlah negara sudah mulai mengurangi ketergantungan pembangkitan listrik berbasis tenaga uap atau batu bara tersebut. Beberapa negara itu antara lain Tiongkok dan Jepang, serta beberapa negara di Benua Biru.
Indonesia sebagai bagian negara dunia pun turut juga mendukung inisiatif tersebut. Oleh karena itulah, pemerintah telah menetapkan target 2025 terkait bauran energi dari renewable energy yang rendah emisi dan ramah lingkungan.
Persoalannya, Indonesia tercatat memiliki sumber daya alam yang melimpah. Bahkan, Indonesia disebut memiliki sumber daya batu bara terbesar keenam di dunia. Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan total keseluruhan sumber daya batu bara di Indonesia mencapai 143,73 miliar ton dengan cadangan 38,81 miliar ton.
Dari sumber daya dan cadangan batu bara sebanyak itu, realisasi produksi batu bara selalu di atas ratusan juta ton. Tahun 2020, produksinya mencapai 557,54 juta ton, seperti laporan yang disampaikan Ditjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dari total produksi itu, realisasi ekspor mencapai 305,77 juta ton atau 77,41% dari rencana ekspor yag berada di angka 395 juta ton. Sedangkan untuk DMO, realisasinya sebesar 108,45 juta ton atau 69,97 persen dari rencana yang ditetapkan 155 juta ton.
Produk Bernilai Tambah
Artinya, sumbangan komoditas batu bara bagi negara tentu sangat besar. Di sisi lain, tuntutan penggunaan energi yang ramah lingkungan dan rendah karbon telah menjadi tuntutan dunia. Salah satu kiatnya adalah menciptakan produk bernilai tambah dan ramah lingkungan, salah satunya adalah DME tersebut, selain sebagai produk konversi LPG impor.
Dari latar belakang itulah yang melahirkan inisiasi program itu digagas oleh dua BUMN—PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk. kedua BUMN tidak berjalan sendiri. Mereka menggandeng perusahaan asal Amerika Serikat, Air Product & Chemical Inc (APCI) untuk proyek gasifikasi batu bara menjadi DME.
Kerja sama tiga pihak itu telah dilakukan belum lama ini. Penandatangan Amandemen Perjanjian Pengolahan tiga perusahaan dari dua negara yang berbeda itu dilakukan secara virtual di dua lokasi yang berbeda, di Jakarta dan Los Angeles, AS.
Bagi masyarakat awam tentu bertanya-tanya, bagaimana produk batu bara bisa menjadi gas atau DME, bahkan menggantikan fungsi dari LPG? Pembentukan menjadi produk DME merupakan proses konversi batu bara menjadi produk gas.
Sebenarnya, proses gasifikasi batu bara itu tidak hanya membuatnya menjadi DME. Tapi bisa juga bisa menghasilkan bahan bakar lainnya dan bahan baku industri kimia.
Keuntungan lain dengan menjadi produk bernilai tambah itu, produk DME sebagai substitusi LPG diharapkan bisa mengurangi beban subsidi. Pasalnya, pasokan LPG selama ini kebanyakan berasal dari impor. Keuangan negara semakin terbebani karena ada kecenderungan harga minyak dunia fluktuatif bahkan cenderung naik.
Proyek PSN
Berkaitan dengan proyek DME tiga pihak berencana memproduksi di Tanjung Enim, Sumatra Selatan. Investasi yang ditanamkan cukup besar, yakni USD2,1 miliar atau setara dengan Rp30 triliun.
Menurut rencana, proyek gasifikasi batu bara itu akan mengkonsumsi 6 juta ton batu bara per tahun, proyek ini dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun serta mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, pemerintah mendukung penuh proyek gasifikasi karena dapat mengurangi ketergantungan pada impor, menghemat cadangan devisa, dan menyerap tenaga kerja.
"(Kerja sama) ini merupakan wujud dari eratnya hubungan ekonomi antara Indonesia dan Amerika Serikat. Gasifikasi batu bara memiliki nilai tambah langsung pada perekonomian nasional secara makro,” tutur Erick, Selasa (11/5/2021).
Erick mengingatkan, Presiden Joko Widodo telah berulangkali meminta adanya pengurangan ketergantungan atas produk impor. Selain itu, Kepala Negara juga terus mendorong transformasi ke green economy serta energi baru dan terbarukan.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, kini energi transisi, green energy, dan circular energy menjadi prioritas. Itu sejalan dengan grand strategi energi nasional, sesuai arahan Presiden Joko Widodo.
"Pertamina sebagai BUMN telah memformulasikan kembali strategi yang sejalan dengan arahan pemerintah dalam mencapai penurunan 41% carbon emission pada 2030," ujarnya.
Selain itu, Nicke menuturkan, Pertamina juga memahami bahwa pengembangan dan produksi DME ini berkaitan dengan isu lingkungan.
Oleh karenanya, sesuai arahan pemerintah, Pertamina akan menjalankan proyek DME secara paralel dengan proyek carbon capture utilization and storage (CCUS). Sehingga, isu mengenai emisi karbon dapat ditekan hingga mencapai 45 persen.
Pada kesempatan yang sama, kerja sama itu bagi PTBA itu merupakan lompatan signifikan portofolio bisnis mereka. Seperti disampaikan Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Suryo Eko Hadianto, pihaknya optimis proyek ini dapat dijalankan tepat waktu.
PTBA juga menegaskan kerja sama itu menjadi portofolio baru bagi perusahaan yang tidak lagi sekadar menjual batu bara, melainkan juga mulai masuk ke produk-produk hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari