Tol Listrik Nusantara diyakini dapat menjadi solusi dalam upaya mempercepat pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia.
Interkoneksi kelistrikan dalam bentuk jaringan listrik yang tersambung mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi kini menjadi program pemerintah yang diharapkan tuntas pada 2024.
Dengan adanya interkoneksi tersebut, kestabilan sistem kelistrikan bisa diharapkan dan terjaga. Melalui program interkoneksi kelistrikan itu yang juga berbasis supergrid, percepatan pembangunan energi terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Yenaga Surya (PLTS) maupun Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB) juga bisa didorong.
“Kami masih terus melakukan kajian terhadap rencana tersebut. Targetnya pada 2024, interkoneksi Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Sulawesi sebagai bagian program interkoneksi kelistrikan di tanah air bisa terealisasi,” ujar Sekjen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial, dalam satu webinar Kelistrikan Super Grid, Rabu (7/7/2021).
Selain melalui interkoneksi kelistrikan antarpulau, dia menambahkan, pemerintah juga tengah mendorong percepatan pembangunan energi baru terbarukan di tanah air, termasuk untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB).
Melalui program itu, pemerintah juga mendorong infrastruktur kelistrikan berbasis jaringan pintar atau Smart Grid. "Melalui Smart Grid dimungkinkan adanya komunikasi antara supply dan demand listrik," ujarnya.
Rencana pembangunan interkoneksi antarpulau atau juga disebut sebagai Tol Listrik Nusantara itu diyakini dapat menjadi solusi dalam upaya mempercepat pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia. Konsep itu pun terus dikaji pemerintah.
Ego Syahrial mengatakan, konsep tol listrik atau supergrid tersebut menghubungkan jaringan listrik antarpulau besar di Indonesia, seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara. Menurutnya, kehadiran supergrid memungkinkan setiap wilayah untuk mengimpor dan mengekspor pasokan listrik pada saat terjadi kekurangan atau kelebihan energi berbasis energi baru terbarukan (EBT).
“Wacana supergrid Nusantara merupakan solusi potensial untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan dengan menjaga sistem kelistrikan yang stabil dan aman,” ujar Ego.
Kajian Bersama
Saat ini, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (P3TKEBTKE) Kementerian ESDM sedang melakukan studi kajian bersama dengan State Grid untuk interkoneksi Pulau Sumba ke Pulau Jawa.
Menurut catatan Dewan Energi Nasional, pembangunan tol kelistrikan nusantara nantinya meliputi investasi transmisi senilai USD10,8 miliar dengan jumlah sebanyak 12 ruas a.l. Sumatra-Bangka 150 kV, Sumatra – Bengkalis 150 kV, karidor utara Jawa 500 kV.
Tak dipungkiri, pengembangan interkoneksi transmisi menjadi salah satu strategi jangka panjang sektor energi menuju karbon netral. Pemerintah pun telah menargetkan terbangunnya interkoneksi di Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi pada 2024.
Selain interkoneksi, modernisasi dan digitalisasi infrastruktur kelistrikan juga diperlukan untuk menjaga stabilitas sistem kelistrikan dan mengakomodasi peningkatan pemanfaatan variable EBT, seperti surya dan angin. “Upaya digitalisasi dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dilakukan melalui pendekatan internet of things, di mana dengan smartgrid dimungkinkan adanya komunikasi antara supply dan demand listrik,” kata Ego.
Beberapa lokasi pengembangan smart grid yang telah dilakukan di Sistem Jawa Bali, antara lain, Advance Metering Infrastructure (AMI) untuk pelanggan PLN di Jakarta; Digital Substation Sepatan II; Digital Substation Teluk Naga II; Reliability Effi ciency Optimization Center (REOC) pada sistem milik Indonesia Power; serta Remote Engineering, Monitoring, Diagnostic and Optimization Center (REMDOC) pada sistem milik PT Pembangkitan Jawa Bali.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan bahwa minimnya pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan telah menyebabkan banyak daerah di Indonesia mengalami krisis energi.
Menurutnya, kualitas dan kuantitas infrastruktur ketenagalistrikan memang belum merata di seluruh Indonesia. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN, pertumbuhan konsumsi listrik di luar Pulau Jawa meningkat menjadi 11 persen, sementara pertumbuhan infrastruktur ketenagalistrikan kurang dari 6 persen.
“Kita bisa melihat ketidakseimbangan antara konsumsi dan infrastruktur membuat Indonesia mengalami krisis energi,” ujarnya.
Menurutnya, pemanfaatan potensi sumber EBT lokal dapat didorong sebagai solusi jangka pendek untuk mempercepat kapasitas listrik di daerah yang membutuhkan. Namun memang tidak semua pembangkit listrik EBT menghasilkan listrik yang andal sehingga memerlukan media penyimpanan energi (energy storage).
Berkaitan dengan supergrid, Hammam Riza menilai, secara teknis sangat dimungkinkan. Keyakinan tersebut berkaca pada kemampuan membangun jaringan fiber optik di seluruh Indonesia melalui proyek Palapa Ring.
“Pastinya akan banyak kendala teknis untuk bangun nusantara supergrid. Tapi teknologinya sendiri sudah siap pakai. Banyak juga insinyur di Indonesia yang sudah berpengalaman memasang pipa bawah laut untuk komunikasi dan transportasi gas, misalnya,” imbuhnya.
Namun demikian, faktor keekonomian menjadi tantangan besar untuk membangun supergrid karena biaya yang dibutuhkan sangat mahal dan kemampuan keuangan negara terbatas.
Namun, salah satu solusinya bisa dilakukan melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha, seperti yang diterapkan pada proyek Palapa Ring.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari