Terdapat potensi belanja barang dan belanja modal Rp609,3 triliun pada APBN yang dapat dioptimalkan sebagai peluang pasar produk dalam negeri.
Kementerian Perindustrian terus melakukan beragam upaya strategis untuk membantu memperluas akses pasar industri kecil dan menengah (IKM), terutama di tengah kondisi pandemi saat ini. Salah satu langkahnya adalah mengajak pelaku IKM rutin memantau kebutuhan belanja modal dan barang pemerintah sebagai peluang pasar baru. Sebab pasar yang saat ini paling menjanjikan adalah pasar pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian (Kemeperin) Gati Wibawaningsih mengatakan, peluang tersebut tercipta setelah pemerintah menggalakkan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) yang tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. “Perpres ini bertujuan untuk memprioritaskan produksi industri dalam negeri,” katanya.
Gati mengungkapkan, kini terdapat potensi belanja barang dan belanja modal Rp609,3 triliun pada APBN yang dapat dioptimalkan sebagai peluang pasar produk dalam negeri. Jika dirinci per sektor, potensi penggunaan produk dalam negeri bisa berasal dari anggaran bidang ekonomi Rp511,3 triliun.
Selanjutnya, perlindungan sosial Rp260 triliun, pendidikan Rp175,2 triliun, pelayanan umum Rp526,2 triliun, kesehatan Rp111,7 triliun, pertahanan dan keamanan Rp303,7 triliun, serta anggaran transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp795,5 triliun. “Oleh karenanya, saya meminta tolong kepada kepala dinas atau pemerintah daerah agar memberikan kesempatan bagi IKM binaan untuk dapat menyuplai kebutuhan APBD juga,” tuturnya.
Adapun cara yang dipakai untuk menyerap produksi dalam negeri untuk menggantikan penyerapan produk impor, di antaranya melalui e-Katalog, e-tendering, toko daring, dan program bela pengadaan di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Berdasarkan catatan LKPP dalam transaksi pengadaan barang/jasa tertinggi melalui e-Katalog periode Januari 2020-Mei 2021, penyerapan anggaran belanja untuk barang/jasa produksi dalam negeri baru mencapai Rp28,9 triliun. Sementara itu, penyerapan anggaran belanja untuk barang/jasa dari produk impor tampak lebih tinggi, yaitu Rp31,3 triliun.
Dengan demikian, Kemenperin terus mendorong agar IKM dapat ikut serta dalam program belanja kemeterian dan lembaga melalui belanja langsung secara elektronik dalam laman UMKM di e-Katalog LKPP. Sebab saat ini, tercatat baru 188 (39%) dari total 475 KM di katalog program e-Smart Ditjen IKMA, yang potensial dan dapat diikutsertakan dalam program bela pengadaan LKPP.
Gati menambahkan, program e-Smart IKM yang telah digelar Ditjen IKMA Kemenperin sejak empat tahun lalu, juga dapat meningkatkan literasi digital dan kemampuan penggunaan teknologi modern serta perluasan akses pasar IKM melalui marketplace. Ada pula program bela pengadaan yang khusus diperuntukkan bagi IKM sektor angkutan, makanan, kurir, alat tulis kantor, suvenir, dan furnitur, dan akan ditambah dengan sektor kesehatan.
Gati menyatakan, Kemenperin proaktif mendorong sinergi antarkementerian dan lembaga, agar akses pasar IKM dapat berkembang tanpa hambatan berarti. Kolaborasi ini dilakukan, baik dari sisi data potensi pasar dan regulasi, penguatan produktivitas, akses pasar, akses pembiayaan, dan logistik. Pihak-pihak yang terlibat, di antaranya, Kemenperin, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian BUMN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Lembaga Penjamin Ekspor Impor, Himpunan Bank Milik Negara, BUMN, pemerintah daerah, asosiasi industri, lembaga pendidikan, serta pihak swasta dan e-commerce.
Gati Wibawaningsih pernah mengungkapkan, kontribusi IKM terhadap perekonomian nasional dan daerah sangat besar. Sumbangan sektor ini ke seluruh industri bahkan mencapai 99,7%. Di sisi lain, kontribusi industri besar hanya 0,23 persen.
Adapun kontribusi IKM terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai 66,25% atau 10,3 juta tenaga kerja. Bandingkan dengan industri besar yang kontribusi serapan tenaga kerjanya hanya di angka 33,75% atau sekitar 5,2 juta orang.
Saat ini wilayah dengan perkembangan IKM yang cukup besar ada di Jawa Timur. Bahkan pada 2020, sebagai contoh industri makanan minuman tumbuh sebesar 3,82%, dan industri kimia farmasi juga tumbuh 21,71%. Distribusi PDRB Jawa Timur 2020 berasal dari industri pengolahan yakni makanan dan minuman sebesar 37,29%, sisanya 25,82% dari pengolahan tembakau, dan 8,16% berasal dari industri kimia, farmasi, dan obat tradisional.
Meski punya peluang yang besar, pengembangan industri makanan dan minuman di Jawa Timur bukan perkara mudah. Tetap ada hambatan yang dihadapi pelaku usaha dan butuh dipecahkan bersama agar industri ini bisa tancap gas. Saat berkunjung ke pabrik tenun di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat awal Juni lalu, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melakukan dialog dengan pelaku IKM Majalaya dan Jawa Barat. Airlangga menyerap aspirasi para pelaku IKM tersebut.
Dalam kesempatan itu Airlangga juga menegaskan komitmen pemerintah untuk mendukung IKM. Airlangga juga menyampaikan bahwa regulasi terkait barang impor tengah dikaji pemerintah dan draf regulasinya sudah diajukan oleh Kementerian Perindustrian dan kini tengah dikaji oleh Kementerian Keuangan. Selain regulasi tersebut, pemerintah juga memiliki program tambahan bantuan permodalan dalam rangka pemulihan ekonomi.
"Kalau kreditnya tidak sedang macet ada program dari pemerintah dalam rangka pandemi Covid-19 untuk memberikan tambahan modal kerja. Untuk itu bisa restrukturisasi utang dua tahun. Ditambah modal kerja apalagi kalau untuk ekspor," kata Airlangga.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari