Indonesia.go.id - Vaksinasi Memicu Pemulihan Ekonomi

Vaksinasi Memicu Pemulihan Ekonomi

  • Administrator
  • Kamis, 22 Juli 2021 | 13:05 WIB
EKONOMI
  Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin COVID-19 kepada pekerja di pabrik kawasan Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (24/7/2021). ANTARA FOTO/ Umarul Faruq
Seluruh kebijakan BI itu pro growth. Arahnya untuk mendukung pemulihan ekonomi.

Dampak wabah Covid-19 terhadap ekonomi nasional cukup mengganggu. Mengantisipasi tren wabah tersebut, Bank Indonesia melakukan sejumlah langkah kebijakan yang cukup ketat dan terus mewaspadai perkembangan ekonomi nasional

Mencermati lonjakan kasus pasien positif Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, bahkan cenderung meningkat, Bank Indonesia kembali mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi 2021 di kisaran 3,5 persen--4.3 persen, dari sebelumnya di kisaran 4,1 persen--5,1 persen.

Ya, meski melakukan revisi atas proyeksi pertumbuhan, bank sentral itu tetap menyakini ekonomi Indonesia tetap tumbuh positif. Hanya saja, Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut, akan terjadi pelambatan dari perkiraan awal.

Perry juga memberikan gambaran bahwa titik tengah proyeksi pertumbuhan ekonomi 3,9 persen ini lebih optimistis dibandingkan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi yang disampaikan BI kepada DPR RI beberapa waktu lalu, yakni 3,8 persen yoy.

Dasar pertimbangan proyeksi BI itu adalah melihat perkembangan kebijakan pemerintah, baik dari sisi fiskal, pelaksanaan program vaksinasi, pertumbuhan ekspor, dan lanjutan stimulus baik fiskal maupun moneter.

Perry saat jumpa pers Rapat Dewan Gubernur yang digelar Juli 2021 secara virtual, pada Kamis (22/7/2021), juga memberikan catatan bahwa ke depannya pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih tinggi dari 3,9 persen apabila upaya vaksinasi bisa lebih cepat sehingga herd immunity bisa dicapai sesegera mungkin.

Agar optimisme ini bisa tercapai, saat ini kebijakan moneter BI ke depan akan fokus pada upaya-upaya untuk mendorong pertumbuhan dan pemulihan ekonomi, salah satunya adalah mempertahankan kebijakan moneter yang longgar.

Oleh karena itulah, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia ketika itu memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan alias BI 7 days reverse repo rate di level 3,5 persen. BI juga mempertahankan suku bunga deposit facility sebesar di level 2,75 persen dan suku bunga lending facility di level 4,25 persen.

 

Suku Bunga Acuan

Menurut Perry, pertimbangan BI mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5 persen sebagai upaya bank sentral untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan sistem keuangan menghadapi ketidakpastian di pasar keuangan global.

Salah satu sumber ketidakpastian itu adalah kebijakan moneter Bank Sentral Amerika The Fed yang diprediksi mengetatkan kebijakan moneter sebagai respons pemulihan ekonomi di AS.

Pertimbangan lain dari dalam negeri adalah perkiraan inflasi yang rendah hingga akhir tahun, seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat akibat pembatasan mobilitas. "Kami tekankan untuk 2021, seluruh kebijakan BI itu pro growth. Kami arahkan untuk mendukung pemulihan ekonomi. Koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dilakukan dengan sangat erat untuk mempercepat stimulus fiskal dan mendorong permintaan di sektor riil," ujar Perry.

Senada dengan Bank Sentral, pernyataan optimistis juga diungkapkan oleh Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dalam acara jumpa pers berkaitan dengan APBN, Rabu (21/7/2021), Menkeu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global hingga semester I 2021 masih solid.

Alasan yang menjadi dasar proyeksi itu adalah berbagai faktor positif, antara lain, perbaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh World Bank dan OECD seiring pelaksanaan vaksinasi dan stimulus, stabilitas pasar keuangan yang terjaga, pertumbuhan perdagangan global didukung pemulihan permintaan, serta peningkatan harga komoditas didorong pemulihan produksi dan permintaan berbagai negara.

Meski demikian, Sri Mulyani mengingatkan beberapa faktor risiko yang perlu diwaspadai, seperti munculnya varian Delta yang mendorong dilakukannya pengetatan restriksi atau penundaan normalisasi aktivitas di banyak negara. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah akses dan kecepatan vaksinasi yang belum merata sehingga pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi menjadi tidak seragam, kenaikan inflasi Amerika Serikat yang memunculkan potensi normalisasi kebijakan moneter, serta gangguan suplai dan kenaikan inflasi di banyak negara (khususnya negara maju) yang memengaruhi kelancaran dan kenaikan biaya produksi.

Di sisi lain, tren pemulihan ekonomi domestik cukup kuat di kuartal II 2021, baik dari sisi konsumsi maupun produksi, namun laju pemulihan ekonomi pada kuartal III diperkirakan akan terpengaruh oleh tren kenaikan kasus Covid-19. Itulah sebabnya, Sri Mulyani pun menegaskan kembali bahwa APBN terus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan prioritas untuk penanganan kesehatan dan perlindungan kesejahteraan masyarakat.

Bila pendapatan negara meningkat, tentunya akan mendukung pertumbuhan belanja negara dan pembiayaan APBN pun terjaga. Walau harus diakui, pengendalian Covid-19 masih belum menggembirakan.

Indikator itu bisa terlihat dari kerja keras pemerintah untuk menahan laju wabah pandemi, salah satunya dengan pemberlakuan PPKM level 4 yang berlaku hingga 25 Juli mendatang. Untuk kemudian, akan dilakukan evaluasi kembali.

PPKM level 4 hanyalah sebuah istilah. Sebelumnya, pemerintah memberlakukan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat di Jawa dan Bali untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. PPKM darurat telah berakhir pada 20 Juli 2021.

Semua kebijakan itu tentunya bagian dari upaya pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat. Bila laju wabah semakin terkendali, melalui vaksinasi dan menjaga prokes, harapannya secara perlahan ekonomi nasional mulai menggeliat kembali.

Sebaliknya, bila tak terkendali tentu akan mengganggu upaya pemulihan ekonomi. Apalagi, sebelumnya aktivitas ekonomi cukup menjanjikan. Misalnya, konsumsi masih menunjukkan pertumbuhan hingga Juni 2021.

Begitu juga dengan Indeks Keyakinan Masyarakat pada Juni berada di level 107,4, jauh melampaui awal pandemi pada April 2020 yang hanya mencapai 84,8. Selanjutnya, indeks penjualan ritel tumbuh 4,5 persen (yoy) didukung peningkatan konsumsi pada seluruh kelompok, sedangkan penjualan mobil ritel Juni tumbuh 120,3 persen (yoy), mengindikasikan perbaikan tingkat konsumsi kelas menengah serta PMI Manufaktur melanjutkan tren positif di zona ekspansi sejak November 2020, yaitu tercatat di angka 53,5.

Di sisi lain, pemerintah juga mendorong realisasi belanja negara. Hingga Juni 2021, realisasi belanja telah mencapai 42,5 persen dari target APBN, tumbuh 9,4 persen (yoy), melanjutkan peran sentral APBN dalam menstimulasi pemulihan ekonomi.

Yang jelas, koordinasi kebijakan moneter (bank sentral) dan kebijakan fiskal, harapannya bisa mempercepat stimulus fiskal dan mendorong permintaan di sektor riil dan ujungnya pemulihan ekonomi segera terwujud.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari

Berita Populer